Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Maut Di Sumur Terbesar

Sumur panas bumi di Dieng membawa korban. Katup kran yang dibuka untuk memasang kepala sumur telah meledak. Uap panas dengan suhu 250 derajat celsius & tekanan 80 ATM, menyembur setinggi 80 meter.

21 Oktober 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HARI itu orang di Jakarta sedang asyik menonton perayaan Hari ABRI, 5 Oktober. Di dataran tinggi Dieng, yang terjadi lain lagi: tiga orang sedang melakukan pemeriksaan terakhir terhadap sumur panas bumi Dieng I di kawah Sikidang. Yang satu adalah J. Herman dari PT Geoservices, perusahaan alat-alat pengeboran panas bumi. Ia berusaha membuka katup keran panas bumi itu, dibantu oleh supirnya, Fattah. Di sampingnya berdiri ir Solia Wiryadiraja, ahli geologi Pertamina. Mereka bersiap-siap. Esok harinya agakan ada tamu penting dari Jakarta Menteri Pertambangan dan Enerji, Menteri Riset dan Teknologi, serta Dirut Pertamina. Pemasangan kepala sumur dijalankan dengan melepas tekanan uap panas melalui keran kecil Usaha ini cuma berjalan tujuh menit. sekonyong-konyong terjadi ledakan dahsyat yang amat membisingkan Uap panas dengan suhu sampai 250øC menyembur bebas dari perut bumi ke sisi utara sumur itu. Cuaca pun tiba-tiba jadi gelap, karena uap panas itu bercampur lumpur kelabu. Baru setelah udara kelabu itu agak cerah kembali Bayangkara Dua M. Haridarto dari Kosek Polri 914-32 Dieng yang segera melakukan pengamatan ke tempat kecelakaan mendapatkan ketiga petugas sumur panas bumi tadi dalam keadaan yang sangat menyedihkan. Uap panas yang bertekanan sekitar 80 atmosfir telah menendang ketiganya jauh dari tempat mereka berdiri semula. Solia dan Herman tewas seketika. Mereka ditemukan dalam keadaan tanpa pakaian lagi. Sedang Fattah meninggal dalam perjalanan ke Rumah Sakit Wonosobo. Tapi yang paling parah keadaannya adalah Herman. Tubuhnya hancur berkeping-keping -- kepala, tangan, dan kaki terpisah. Bahkan menurut Haridarto, masih ada kepingan-kepingan daging ketinggalan di batu-batu. Cemeng langitipun Penduduk di sekitar Dieng serta merta jadi panik. "Cemeng langitipun (hitam udaranya)," tutur seorang penjual sate di sana kepada Syahril Chili dari TEMPO. Selain suara yang nyaris memecahkan selaput gendang telinga, ada juga cerita-cerita tentang uap panas yang katanya beracun. Dan yang terasa sekali setelah kejadian itu dalam waktu dua hari matahari tak nongol di atas bumi Dieng. Dataran setinggi 1600 -- 2000 meter yang banyak ditaburi candi-candi mini itu terus diselimuti kabut, dan awan pun menangis. Hujan turun membasuhi bumi yang dibasahi darah ketiga orang itu. Setelah kejadian itu baik turis maupun penduduk setempat tak diperkenankan mendekati proyek itu. Seratus meter, itulah jarak yang masih dianggap aman. Dari jarak itulah semburan uap panas itu sampai minggu lalu masih tampak menjulang setinggi 80 meter. Sumur panas bumi itu sendiri mulai dibor 11 September 1977, dan selesai 27 April lalu. Dalamnya ada 1900 meter, dan potensi listriknya -- setelah tekanan uap panas dari perut bumi itu digunakan memutar turbin generator listrik - lebih kurang 16 Mega Watt. Menurut pihak Pertamina, "inilah sumur panas bumi terbesar yang pernah kami temukan."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus