SAYA bukan menentang kebijaksanaan Pemerintah membenahi kaki
lima," kata Bujang, pedagang obat liar yang lari dari pasar
"inpres" itu di Blok VI Pusat Perdagangan Senen. Orang awak yang
berusia 26 tahun ini terus terang menyerah. "Biarlah kami
berdagang kucing-kucingan," katanya lagi, "bukan bandel, di
pasar inpres kami tak sanggup, nggak ada pembelinya, yang ada
cuma nyamuk saja!"
Pasar inpres di Senen itu baru saja dibuka dengan kapasitas 1600
kapling kios. Tapi sampai cerita ini turun, baru 40 prosen
kapling itu terisi. Ruang kosong yang lain pernah diserbu oleh
para tuna wisma. Sementara yang sudah ada di dalam mulai
beterbangan ke luar karena tak tahan hidup tanpa pembeli.
"Bagaimana mereka mau dagang, uang tak pernah masuk, lebih baik
mereka kembali, karena anak isteri butuh makan," kata Empong
Yusuf, kepala pasar Inpres itu.
Tahun 2000
Pasar itu menelan biaya Rp 1038 juta. Setiap bulan biaya
pengurusannya tak kurang dari Rp 3,5 juta. Empong (38 tahun)
beranggapan bahwa pemerintah telah salah perhitungan. 'Kenapa
hanya pedagangnya saja yang dikejar-kejar, kenapa tidak
diusahakan supaya pengunjungnya banyak?" tanyanya. "Supaya bisa
ramai mestinya terminal yang akan dibangun di sebelah pasar ini
juga selesai berbarengan." Di samping itu Empong juga dibisikin
oleh para penghuni agar 200 buah kapling dikorbankan untuk
dihuni pedagang yang kuat. Katanya itu akan bisa menarik
pengunjung. Apa iya?
"Pemerintah sudah kasih pasar inpres, itu baik," kata Bujang,
"tapi modal saya cuma dengkul. Kalau ada yang memberi kredit sih
seneng tapi yang beri kredit juga berfikir minta jaminan. Saya
angka tangan saja!"
Sementara Kepala Direktorat V/Perekonomian DKI, Djoko
Brotosuryono menyatakan bahwa banyak di antara pedagang umumnya
tidak menyadari arti kredit yang sebenarnya. Kabarnya ada yang
mempergunakannya untuk memperbaiki dapur. "Itu tentu saja tidak
benar," kata Djoko. Tapi kemudian pantas diakui juga bahwa
penggusuran pedagang kaki lima dengan maksud agar mereka hijrah
ke pasar inpres oleh pemerintah DKI sering tidak sesuai.
Lebih parah dari pasar inpres Senen, pasar inpres Pulomas
sampai sekarang tak berpenghuni dan tetap dipagar seng.
Rupanya yang dipentingkan bukan tersedianya fasilitas agar
penjual dan pembeli saling membutuhkan, melainkan penggunaan
fasilitas tersebut.
Kaki lima yang hendak dijilat oleh pasar inpres sebenarnya
dihuni oleh 2 golongan pedagang. Kelompok musiman yang berdagang
menjelang Lebaran dan yang menetap. Yang pertama datang dari
Sumatera Barat, dengan membawa modal Rp 150 ribu, dalam tempo
sebulan mereka bisa pulang kampung dengan mengantongi satu
setengah juta rupiah. Mereka kebanyakan mahasiswa. Adapun yang
menetap, berdagang dengan alasan karena tidak ada kesempatan
lain atawa kurang modal. Inilah yang akan ditatar. "Kalau nanti
di tahun 2000 masih ada kaki lima tak akan mengganggu," kata
Djoko Brotosuryono.
Menurut survey yang diadakan oleh DKI tahun 1976, mereka yang
berasal dari Sumatera (31,50%), Jawa Barat (31,14%), Jawa Tengah
(13,4%). Tentang penghasilan perhari, ada yang menerima Rp 250
sampai Rp 500 (40%), ada yang Rp 500 sampai Rp 1000 (19 %) dan
ada juga yang lebih dari Rp 1000 (4%). Adapun pendidikannya
mulai dari tingkat SD ke bawah (56%) SMP ke bawah (35%) dan
hanya 8% yang lebih tinggi dari SMP.
Empong Yusuf, memandangi pasar inpres yang masih sepi di Senen
sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. Supaya pasar itu rame, ia
punya usul supaya di atas bangunan dibikin hiburan. "Tentu saja
yang sesuai dengan selera masyarakat kaki lima," katanya. Bicara
tentang kaki lima, sebenarnya memang bicara tentang pribumi,
boleh dikata seluruhnya pedagang pribumi. "Tak ada Cina yang
beli di sini. Pedagang babi yang sudah kita kasih tempatpun tak
ada yang muncul satupun," kata Empong.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini