Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Bukan menentang, tapi ya

Kapling pasar inpres di proyek senen baru terisi 40%. para pedagang lebih suka berjualan di kaki lima karena di pasar inpres tak ada pembeli. pasar inpres di pulomas masih belum berpenghuni.

21 Oktober 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SAYA bukan menentang kebijaksanaan Pemerintah membenahi kaki lima," kata Bujang, pedagang obat liar yang lari dari pasar "inpres" itu di Blok VI Pusat Perdagangan Senen. Orang awak yang berusia 26 tahun ini terus terang menyerah. "Biarlah kami berdagang kucing-kucingan," katanya lagi, "bukan bandel, di pasar inpres kami tak sanggup, nggak ada pembelinya, yang ada cuma nyamuk saja!" Pasar inpres di Senen itu baru saja dibuka dengan kapasitas 1600 kapling kios. Tapi sampai cerita ini turun, baru 40 prosen kapling itu terisi. Ruang kosong yang lain pernah diserbu oleh para tuna wisma. Sementara yang sudah ada di dalam mulai beterbangan ke luar karena tak tahan hidup tanpa pembeli. "Bagaimana mereka mau dagang, uang tak pernah masuk, lebih baik mereka kembali, karena anak isteri butuh makan," kata Empong Yusuf, kepala pasar Inpres itu. Tahun 2000 Pasar itu menelan biaya Rp 1038 juta. Setiap bulan biaya pengurusannya tak kurang dari Rp 3,5 juta. Empong (38 tahun) beranggapan bahwa pemerintah telah salah perhitungan. 'Kenapa hanya pedagangnya saja yang dikejar-kejar, kenapa tidak diusahakan supaya pengunjungnya banyak?" tanyanya. "Supaya bisa ramai mestinya terminal yang akan dibangun di sebelah pasar ini juga selesai berbarengan." Di samping itu Empong juga dibisikin oleh para penghuni agar 200 buah kapling dikorbankan untuk dihuni pedagang yang kuat. Katanya itu akan bisa menarik pengunjung. Apa iya? "Pemerintah sudah kasih pasar inpres, itu baik," kata Bujang, "tapi modal saya cuma dengkul. Kalau ada yang memberi kredit sih seneng tapi yang beri kredit juga berfikir minta jaminan. Saya angka tangan saja!" Sementara Kepala Direktorat V/Perekonomian DKI, Djoko Brotosuryono menyatakan bahwa banyak di antara pedagang umumnya tidak menyadari arti kredit yang sebenarnya. Kabarnya ada yang mempergunakannya untuk memperbaiki dapur. "Itu tentu saja tidak benar," kata Djoko. Tapi kemudian pantas diakui juga bahwa penggusuran pedagang kaki lima dengan maksud agar mereka hijrah ke pasar inpres oleh pemerintah DKI sering tidak sesuai. Lebih parah dari pasar inpres Senen, pasar inpres Pulomas sampai sekarang tak berpenghuni dan tetap dipagar seng. Rupanya yang dipentingkan bukan tersedianya fasilitas agar penjual dan pembeli saling membutuhkan, melainkan penggunaan fasilitas tersebut. Kaki lima yang hendak dijilat oleh pasar inpres sebenarnya dihuni oleh 2 golongan pedagang. Kelompok musiman yang berdagang menjelang Lebaran dan yang menetap. Yang pertama datang dari Sumatera Barat, dengan membawa modal Rp 150 ribu, dalam tempo sebulan mereka bisa pulang kampung dengan mengantongi satu setengah juta rupiah. Mereka kebanyakan mahasiswa. Adapun yang menetap, berdagang dengan alasan karena tidak ada kesempatan lain atawa kurang modal. Inilah yang akan ditatar. "Kalau nanti di tahun 2000 masih ada kaki lima tak akan mengganggu," kata Djoko Brotosuryono. Menurut survey yang diadakan oleh DKI tahun 1976, mereka yang berasal dari Sumatera (31,50%), Jawa Barat (31,14%), Jawa Tengah (13,4%). Tentang penghasilan perhari, ada yang menerima Rp 250 sampai Rp 500 (40%), ada yang Rp 500 sampai Rp 1000 (19 %) dan ada juga yang lebih dari Rp 1000 (4%). Adapun pendidikannya mulai dari tingkat SD ke bawah (56%) SMP ke bawah (35%) dan hanya 8% yang lebih tinggi dari SMP. Empong Yusuf, memandangi pasar inpres yang masih sepi di Senen sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. Supaya pasar itu rame, ia punya usul supaya di atas bangunan dibikin hiburan. "Tentu saja yang sesuai dengan selera masyarakat kaki lima," katanya. Bicara tentang kaki lima, sebenarnya memang bicara tentang pribumi, boleh dikata seluruhnya pedagang pribumi. "Tak ada Cina yang beli di sini. Pedagang babi yang sudah kita kasih tempatpun tak ada yang muncul satupun," kata Empong.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus