Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Hutan Yang Terkikis

Nasib 64 juta hektare kawasan moratorium dipertaruhkan. Dipertanyakan keberlanjutan dan penguatan instruksi presiden tentang penundaan izin baru yang masa berlakunya akan habis pekan ini.

11 Mei 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Siang itu, asap masih mengepul dari pohon-pohon tumbang yang gosong. Api masih menyala pada sepokok kayu akasia yang sudah jadi arang. Langit tak berawan, tapi warga Desa Sumber Jaya, Kecamatan Siak Kecil, Kabupaten Bengkalis, Riau, tidak peduli terhadap sisa-sisa kebakaran di hutan, lima kilometer dari permukiman mereka.

"Nanti juga bakal padam sendiri," ujar Yur Nelis, 50 tahun, pertengahan April lalu, kepada Tempo. Api menjalar begitu cepat, sedangkan jarak Sumber Jaya dengan lokasi kebakaran cukup jauh: sekitar 30 menit berjalan kaki. Tak banyak yang bisa dilakukan.

Praktis hanya hujan dan bom air yang dapat efektif memadamkan api. Sayangnya, hujan hanya turun sebulan sekali, sedangkan helikopter pembawa bom air, seingat Yur Nelis, tak selalu datang ketika kebakaran hutan melanda wilayah tempat tinggalnya.

Padahal hutan bertanah gambut seluas 20 hektare yang terbakar itu merupakan kawasan moratorium penerbitan izin baru konsesi hutan. Seharusnya tak ada lahan yang terbakar karena sudah dilindungi Instruksi Presiden Nomor 6 Tahun 2013. Sebaliknya, tanpa alasan yang jelas, kebakaran hutan malah terjadi setidaknya tiga bulan sekali di hutan yang berdekatan dengan Sumber Jaya.

Kebakaran besar terakhir terjadi tiga pekan sebelum Tempo datang ke lokasi itu. Api membakar 100 lebih pohon dan mengubah tanah gambut menjadi hitam legam seperti arang, serta menimbulkan kepulan asap pekat yang mengganggu pernapasan.

Nasib serupa dialami lahan seluas 130 hektare yang berjarak tiga kilometer dari Desa Tanjung Kuras, Kecamatan Sungai Apit, Kabupaten Siak, Riau. Lahan moratorium ini mengalami kebakaran besar tiga bulan sekali. "Terakhir hanya sepekan setelah kebakaran di Sumber Jaya," Marsudi, 37 tahun, warga setempat, bercerita. Saking seringnya hal itu terjadi, dia pun lupa sudah berapa kali hutan di situ terbakar dalam lima tahun terakhir.

Banyak yang khawatir terhadap masa depan moratorium hutan yang akan habis pada 13 Mei 2015. Gara-gara pengawasan yang longgar, para perambah berani mencaplok lahan taman nasional dan hutan konservasi seluas 2,5 juta hektare. "Kondisinya sudah begitu memprihatinkan," kata Direktur Eksekutif Perkumpulan Hijau Jambi, Feri Irawan, kepada Syaipul Bakhori dari Tempo.

Jambi memiliki setidaknya 60 ribu hektare lahan gambut dalam kawasan moratorium. Angka ini pun berpotensi dirambah oleh sektor perkebunan dan tambang. Padahal lahan gambut di provinsi ini masih memiliki kedalaman enam meter. "Lahan gambutnya masih bagus dan perlu ada pengawasan yang ketat," ujar Feri.

Lahan gambut seluas 195 hektare di Desa Tumang, Kecamatan Siak, Kabupaten Siak, Riau, yang masuk kawasan moratorium, telah disulap jadi lahan perkebunan sawit. Modusnya: bakar dan tanam. Ada indikasi lahan kebakaran di Sumber Jaya dan Tanjung Kuras pun akan dijadikan perkebunan sawit.

Meski belum memiliki bukti lengkap tentang siapa di balik pelanggaran moratorium tersebut, Teguh yakin tanaman sawit di Tumang baru ditanam sepanjang 2013. Itu terlihat dari tinggi pohon yang masih satu meter. Pohon ini baru bisa dipanen setelah lima-tujuh tahun.

Teguh menuding pemerintah, dalam hal ini periode kedua Susilo Bambang Yudhoyono dan pemerintah baru Joko Widodo, lemah dalam pengawasan di lapangan. Dia ragu terhadap kesanggupan Jokowi menjaga lahan hutan moratorium agar tetap seluas 63,8 juta hektare. Sedangkan upaya untuk memperkuat beleid itu belum terlihat. "Kami jelas menuntut perpanjangan dan penguatan moratorium."

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) melontarkan tuntutan yang sama: kebijakan moratorium dilanjutkan dalam bentuk peraturan presiden. "Bukan sekadar instruksi," kata Abetnego Tarigan, Direktur Eksekutif Nasional Walhi. Perlu ada penguatan basis hukum kebijakan moratorium. Setidaknya peraturan presiden dapat membayang-bayangi semua aparatur negara dengan sanksi.

Abetnego menuntut kepastian sanksi hukum yang dapat memperkuat moratorium. Selain melakukan perubahan aturan, dia minta pemerintah memperpanjang jeda penerbitan izin baru, yang selama ini hanya dua tahun.

****

MENTERI Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya berjanji memperpanjang moratorium. Bahkan ia mengatakan seharusnya tak ada lagi izin baru. "Tapi kami ingin mempertegas dulu bagaimana penguatan tata kelola lahan gambut," katanya di sela Tropical Landscapes Summit di Hotel Shangri-La, Jakarta Pusat, 27 April lalu.

Siti Nurbaya enggan mengatakan kapan moratorium hutan baru secara resmi diterbitkan. Dia berdalih harus menunggu screening dan tanda tangan dari Presiden Jokowi dulu. Menurut Hadi Daryanto, Sekretaris Jenderal Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, moratorium masih akan berbentuk instruksi presiden dan berjangka waktu dua tahun. Dia beralasan, bentuk inilah yang paling kompromistis di antara bentuk lainnya.

"Indonesia juga butuh pembangunan," ujarnya kepada Tempo di kantornya. Draf instruksi tersebut sudah berada di tangan Jokowi sejak 25 April lalu. Namun dia mengatakan tidak tertutup kemungkinan adanya perubahan beberapa hal.

Hadi menolak saat Tempo minta fotokopi draf tersebut diperlihatkan. Draf tidak jauh berbeda dengan Instruksi Presiden Nomor 6 Tahun 2013 tentang moratorium izin hutan. Pengecualian pada diktum kedua, kata dia, masih akan disertakan. Itu berarti kawasan hutan sekunder tidak masuk penundaan penerbitan izin baru.

Meski begitu, menurut Hadi, izin baru di luar kawasan moratorium akan mewajibkan pengusaha menyisakan 30-40 persen lahan sebagai kawasan high conservation value forest. Kawasan tersebut nantinya berfungsi untuk wilayah konservasi satwa dan tumbuhan di sekitar konsesi. Juga untuk menjaga jumlah karbon hutan.

Nantinya, selama instruksi berlaku, kawasan konservasi konsesi tersebut akan terus dievaluasi. Jika tidak sesuai dengan harapan, izin konsesi pemanfaatan hutan akan dicabut Kementerian. Sedangkan pelaku kegiatan konsesi yang melanggar aturan akan dikenai sanksi pidana sesuai dengan undang-undang.

Langkah kompromistis pemerintah itu dinilai tidak tepat. Teguh berpendapat diktum pengecualian hanya akan membuka celah baru penghancuran hutan dan lahan gambut. "Pembangunan nasional bisa jadi dalih perusakan hutan," ujarnya menekankan.

Moratorium izin pemanfaatan kawasan hutan pertama kali terbit pada 2011. Presiden Yudhoyono menunda pemberian izin baru penggunaan hutan dengan Instruksi Presiden Nomor 10 Tahun 2011 tertanggal 25 Mei 2011. Instruksi ini berlaku selama dua tahun. Yudhoyono berusaha menunjukkan komitmen Indonesia dalam menekan emisi karbon gas rumah kaca yang mencapai 41 persen. Satu-satunya jalan untuk mencapai target, kata Yudhoyono dalam pelbagai pernyataan resmi, adalah dengan membenahi tata kelola hutan Indonesia.

Heru Prasetyo, mantan Kepala Badan Pengelola Reduksi Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan, mengatakan tata kelola hutan Indonesia sepanjang 1960-2005 memang amat buruk. Jangankan untuk luasan hutan, Indonesia bahkan tidak punya satu peta rinci yang sebagai tanda lahan berizin dan kawasan yang harus dilindungi.

"Pada periode itu Indonesia memasuki 'abad kegelapan'," ujar Heru. Badan yang pernah ia pimpin itu merupakan badan resmi yang didirikan Yudhoyono untuk merancang skema penurunan deforestasi dan degradasi hutan serta bagian dari sistem pembenahan tata kelola hutan. Kini lembaga itu telah dilebur ke dalam Kementerian dan belum memiliki struktur serta tanggung jawab yang jelas.

Melalui instruksi pertama, Yudhoyono memerintahkan anak buahnya mengambil langkah yang diperlukan sesuai dengan kewenangan masing-masing guna mendukung pembenahan tata kelola hutan. Bawahan yang dimaksud adalah Menteri Kehutanan, Menteri Dalam Negeri, Menteri Lingkungan Hidup, Kepala Badan Pertanahan Nasional, serta gubernur dan wali kota atau bupati seluruh Indonesia.

Sayangnya, instruksi pertama itu selama dua tahun tak dapat memecahkan masalah tata kelola hutan. Sebaliknya, luas kawasan moratorium terus berkurang. Selama 2011-2012, ada tiga kali revisi yang dikeluarkan Zulkifli Hasan, Menteri Kehutanan saat itu, melalui surat keputusannya.

Tak tanggung-tanggung, dalam dua tahun, 4,2 juta hektare lahan moratorium dipangkas. Alasan Zulkifli, ada beberapa data yang belum masuk, yakni data dari Badan Pertanahan, dan penerbitan izin turun sebelum instruksi tentang moratorium keluar.

Yudhoyono pun memperpanjang moratorium dengan Instruksi Presiden Nomor 6 Tahun 2013 tertanggal 13 Mei 2013. Lebih parah dari sebelumnya, instruksi baru ini makin tak bertaji. Kebakaran hutan makin marak satu bulan setelah moratorium diperpanjang. Pada Juni 2013, Eyes on the Forest melansir data jumlah titik api di Sumatera yang mencapai 9.000 lebih.

"Setiap kali direvisi, terjadi penurunan luas area yang dimoratorium," ujar I Nengah Surati Jaya, anggota tim analisis Kemitraan. Luasan moratorium juga terus berkurang. Revisi ketujuh pada November 2014 mencatat luas hutan moratorium hanya 63,8 juta hektare-dari luas awal 69,1 juta hektare.

Menurut Hasbi Berliani, peneliti dari Kemitraan, kemungkinan besar penurunan lahan moratorium terus berlanjut dalam era Jokowi. Selama ini tak ada keselarasan kinerja antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.

Itu terlihat dari area penggunaan lain seluas 7,7 hektare yang diterbitkan 20 pemerintah provinsi tanpa ada pemberitahuan kepada pemerintah pusat. "Izin lainnya malah lebih tinggi dalam tiga tahun terakhir," ujar Hasbi. Instruksi moratorium seolah-olah tak diindahkan pemerintah daerah.

Hadi menyatakan ketidakselarasan hubungan vertikal ini memang menjadi momok pemerintah. Segala macam izin yang dikeluarkan pemerintah daerah baru diketahui belakangan, saat review kawasan dilakukan tiap enam bulan.

Pekan ini masa berlaku instruksi tentang moratorium akan habis. Nasib hutan Indonesia dan banyak desa yang bersebelahan langsung dengan hutan sedang di ujung tanduk. Sebab, nasib hutan juga pasti akan mempengaruhi desa-desa di sekitarnya. "Nasib kami berada di tangan Pak Presiden," kata Marsudi.

Amri Mahbub

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus