Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Dari Kacamata Mantan Diplomat

Kisah mantan diplomat yang mengindonesia. Juga hubungan Indonesia-Amerika setelah peristiwa 11 September.

11 Mei 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dua diplomat Amerika Serikat menyaksikan gemuruh perubahan yang terjadi di negeri ini. Mantan duta besar Marshall Green membahas masa peralihan Sukarno-Soeharto melalui bukunya, Indonesia: Crisis and Transformation, catatan menarik tentang Indonesia sepanjang 1965-1968. Sedangkan Stanley Harsha, seorang atase pers kedutaan, bercerita tentang transisi masa Orde Baru-Reformasi 1998 dan sesudahnya.

Buku Seperti Bulan dan Matahari tak hanya mencatat pengalaman pribadi Stanley sebagai diplomat yang mengalami masa-masa sulit menyusul peristiwa 11 September 2001 dan horor selanjutnya. Buku yang sama juga mencoba menggali proses seorang Stanley "mengindonesia". Secara resmi, Stanley Harsha hanya bertugas 12 tahun di negeri ini, seraya mengisi sejumlah jabatan dan posisi. Namun, kalau dihitung-hitung, sebenarnya ia bolak-balik Amerika-Indonesia sepanjang 28 tahun.

Ya, Indonesia adalah bagian dari tanah airnya sejak ia menikahi Hanny Mangoendipoero, perempuan berdarah putri Solo yang ditemuinya pertama kali dalam sebuah resepsi di Kedutaan Besar Amerika pada 1987.

Stanley Harsha sangat mencintai istrinya sekaligus menghormati keluarganya serta seluruh tradisi serta falsafah Jawa yang menjadikannya sebagai kosmos baru bagi dirinya. Dalam rangka memahami Jawa dan Indonesia itulah Stanley kemudian mencoba belajar dan memaknai tradisi Jawa sebagai bagian dari hidupnya. Jangan kaget kalau di buku ini Stanley bercerita tentang piwulang dan falsafah Jawa, tentang makna mikul dhuwur mendhem jero, kesopanan dan kebahagiaan, sampai kisah suka-duka pencarian keris untuk menjadikannya sebagai "lelaki Jawa" yang sejati.

Rangkaian teror peristiwa 11 September 2001, bom Bali, dan bom JW Marriott Jakarta (peristiwa bom Kuningan) bukan masa yang mudah dilalui seorang diplomat. Stanley mencatat bagaimana media di Indonesia ikut mengobarkan kebencian kepada Amerika dengan mewawancarai sejumlah tokoh garis keras atau membuat berita spekulatif yang tanpa dasar dan fakta.

Kepercayaan masyarakat Indonesia terhadap Amerika sangat buruk, dan hubungan dua negara ini seperti di ambang titik nadir. Sejumlah anggota ormas keagamaan di Solo melakukan sweeping terhadap turis dan warga negara Amerika; demonstrasi juga ditujukan ke Kedutaan Besar dan kantor-kantor perwakilan pemerintah Amerika. Apalagi kemudian muncul tudingan bahwa peristiwa 11 September 2001 dirancang intelijen Amerika sendiri untuk mendiskreditkan dunia Islam.

Setelah mendengar keluhan sejumlah pemimpin media tentang Amerika, ia pun meminta Kedutaan Besar memberi sponsor bagi beberapa wartawan berkunjung dan melihat kehidupan masyarakat Amerika secara langsung. Akibatnya, media yang semula memuat ulasan bernada negatif jadi lebih memahami Amerika, lebih netral, dan berimbang.

Stanley menaruh perhatian yang mendalam pada sejumlah persoalan pelanggaran hak asasi manusia berat di Aceh, Papua, dan Timor Timur (sekarang negara Timor Leste). Ia heran melihat tak satu pun pelaku yang diadili. Dalam buku ini, Stanley Harsha menyebutkan bahwa yang melakukan mungkin memang bukan tentara Indonesia, melainkan "tentara siluman". Sebagai diplomat Amerika, ia memiliki banyak informasi A-1 untuk bisa menulis secara detail dan tajam. Karena menjunjung etika sebagai mantan diplomat, ia hanya menulis hal-hal yang terkait dengan isu sensitif itu dari sumber media yang memang bisa diakses publik.

Dalam Seperti Bulan dan Matahari, Stanley menunjukkan kerisauannya tatkala mengamati tantangan politik yang harus dihadapi Presiden Joko Widodo, khususnya setelah menjalani tiga bulan pertama pemerintahannya. Kendati ia tak kehilangan optimisme.

"Semuanya belum pasti. Saya akan menonton pergelaran wayang yang mempesona, untuk menyaksikan bagaimana Yudhistira menghadapi semua tantangan yang dihadapinya." Sungguh sebuah simpati dari seorang Amerika yang mengindonesia, yang mengibaratkan hubungan Amerika-Indonesia itu seperti bulan dan matahari.

Stanley Adi Prasetyo, Anggota Dewan Pers

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus