Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Tim peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) akhirnya bisa mengidentifikasi seekor ular endemik yang hidup di sekitar Danau Towuti, Sulawesi Selatan. Prosesnya memakan waktu selama 16 tahun. “Karena jumlah spesimen masih terbatas,” kata Amir Hamidy, peneliti di Pusat Riset Biosistematika dan Evolusi, Organisasi Riset Hayati dan Lingkungan BRIN.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Spesies ular air yang baru diidentifikasi itu dinamakan Hypsiscopus indonesiensis. Temuan ini menambah ragam ular di Sulawesi menjadi 60 spesies. Dari siaran pers BRIN pada 24 Januari 2024, studi molekuler ular itu dilakukan tim peneliti BRIN bersama tim dari Institut Pertanian Bogor, Universitas Tanjungpura, dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ular Hypsiscopus indonesiensis itu bewarna abu-abu kecoklatan dengan bentuk ekor yang pipih. Masyarakat mengenalnya sebagai ular air ekor pipih. Reptil yang panjangnya kurang dari satu meter itu hidup di perairan tawar sambil memangsa ikan kecil, anak katak, dan kepiting.
Menurut Amir, spesimen ular ekor pipih sebanyak enam ekor pernah dikoleksi pada 2003. Baru setelah mendapat temuan spesimen baru yang segar dari Danau Towuti pada 2019, satwa melata itu diidentifikasi. Hasilnya kemudian dipublikasi lewat jurnal Treubia Volume 50 Nomor 1 Tahun 2023.
Sebanyak tiga daro empat jenis dari genus ular ini, kata dia, terdapat di Sulawesi. Sementara dua jenis di antaranya adalah endemik, yaitu Hypsiscopus indonesiensis di Danau Towuti dan Hypsiscopus matanensis di Danau Matano serta beberapa wilayah lain di Sulawesi. “Saat ini jumlah ular endemik di Sulawesi hampir mencapai 60 persen,” ujar Amir.
Perbandingannya di daerah lain, Sumatera memiliki 127 spesies ular, namun hanya 16 persen yang diketahui satwa endemik. Kalimantan punya 133 spesies ular dan yang tergolong endemik 23 persen. Adapun di Jawa dan Bali 110 spesies ular, hanya punya 6,4 yang endemik.
Amir yang juga Direktur Sekretariat Kewenangan Ilmiah Keanekaragaman Hayati (SKIKH) BRIN itu mengatakan, tingkat endemisitas yang tinggi dan kekayaan spesies yang relatif rendah kemungkinan besar terkait dengan periode isolasi Sulawesi yang lama dari Kepulauan Sunda Besar lainnya. Penelitian lanjutan diperlukan untuk mengevaluasi status taksonomi Hypsiscopus Sulawesi. “Karena keterbatasan spesimen berpotensi menyesatkan dalam studi morfologi,” ujarnya.
Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu.