Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Jatam dan Jaringan Masyarakat Geruduk Konferensi Industri Nikel dan Kobalt di Hotel Mulia

Perusahaan-perusahaan nikel dinilai telah menjadi aktor kunci terjadinya perluasan dan percepatan kerusakan lingkungan dan ruang hidup rakyat.

13 Juni 2024 | 15.25 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Aksi masyarakat sipil menolak konferensi nikel dan kobalt di Hotel Mulia, Jakarta, Kamis, 13 Juni 2024. Dok. Jatam

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) bersama perwakilan warga Kepulauan Sulawesi, Kepulauan Maluku, Papua, hingga Nusa Tenggara melakukan aksi geruduk Konferensi Nikel dan Kobalt Indonesia yang berlangsung di Hotel Mulia, Senayan, Jakarta, pada Kamis, 13 Juni 2024.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Koordinator Jatam Melky Nahar menyebut aksi geruduk ini dilakukan sebagai peringatan dan sekaligus memberikan pesan kepada investor, lembaga keuangan dan bank, serta para (calon) penikmat nikel Indonesia bahwa di balik seluruh ekstraksi nikel di Indonesia terdapat kejahatan lingkungan dan kemanusiaan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Saat ini, kata Melky, terdapat sekitar 380 izin tambang nikel dengan luas konsesi hampir mencapai satu juta hektare. "Dalam operasionalnya, terjadi pencaplokan lahan yang berdampak pada hilangnya ruang pangan dan konflik sosial, kekerasan dan intimidasi, hingga kriminalisasi, pencemaran air, udara, dan laut, serta perusakan kawasan hutan yang memicu hilangnya wilayah resapan air dan deforestasi," kata Melky kepada Tempo, Kamis, 13 Juni 2024.

Kebutuhan energi listrik untuk menopang operasi pertambangan nikel, menurut Melky, termasuk stasiun pengisian ulang baterai kendaraan listrik di Indonesia, juga telah memicu perluasan pembongkaran batubara di pulau Kalimantan dan Sumatera. Proses pembakaran batubara di PLTU industri nikel tersebut juga telah menyebabkan pencemaran udara, yang berdampak pada terganggunya kesehatan warga.

Melalui aksi ini, kata Melky, Jatam memberi peringatan keras kepada (calon) investor, lembaga keuangan dan bank, serta para (calon) penikmat nikel Indonesia, bahwa dari seluruh rantai kejahatan itu terdapat peran besar dari pelaku industri tambang dan keuangan, serta para penikmat nikel itu sendiri. Klaim seluruh perusahaan mematuhi aspek ESG (Enviromental, Social and Governance) dinilai omong kosong. Seluruh perusahaan-perusahaan nikel tersebut, tambahnya, telah menjadi aktor kunci terjadinya perluasan dan percepatan kerusakan lingkungan dan ruang hidup rakyat.

Jatam, menurut Melky, mendesak calon investor untuk menghentikan rencana investasi di sektor pertambangan nikel dan EV di Indonesia. Jatam juga mengingatkan bahwa di balik kemudahan regulasi yang diberikan pemerintah kepada (calon) investor, terdapat dugaan korupsi yang merugikan keuangan negara dan ekonomi rakyat. 

"Jatam menuntut seluruh pihak agar menghentikan investasi (hulu-hilir) nikel di Indonesia, sebaliknya sama-sama menuntut pertanggungjawaban hukum bagi para pelaku kejahatan," ucapnya.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus