Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Kala Owa Mencari Cinta

Musim kawin owa jawa tiba. Satwa langka yang setia pada pasangannya ini sangat sulit mencari jodoh.

24 Mei 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TERIAKAN khas itu sesekali menyeruak di kawasan sejuk Kampung Bodogol, sekitar satu setengah jam perjalanan bermobil dari Jakarta. Jalanan berbatu di ketinggian sekitar satu kilometer di atas permukaan laut, diapit perbukitan, lalu diganti dengan kebun milik masyarakat setempat. Ternyata teriakan itu berasal dari sebuah pusat konservasi satwa langka asli asal Pulau Jawa, seluas dua hektare, di area Taman Nasional Gunung Gede-Pangrango, Jawa Barat. Di sanalah tempat Javan Gibbon Center (JGC), satu-satunya tempat penyelamatan owa jawa di dunia, tepatnya di Desa Benda, Kecamatan Cicurug, Kabupaten Sukabumi.

Owa jawa atau javan gibbon (Hylobates moloch) masuk famili Hybotidae, yang keberadaannya dilindungi. Bila ditinjau dari segi kemiripan dengan anatomi manusia, kolompok owa ini menempati urutan kedua setelah orangutan asli Kalimantan, gorila, dan simpanse yang hanya ada di Afrika. Primata ini tergolong pintar dengan ciri utama tak berekor.

Pekan lalu Tempo menyaksikan dari dekat musim kawin owa jawa yang dimulai akhir Mei hingga Agustus mendatang. Sebuah momen langka dan unik lantaran owa dikenal sebagai makhluk setia. "Owa jawa sangat selektif memilih jodoh," kata Anton Ario dari Conservation International Indonesia sekaligus ahli perjodohan owa jawa. Sekali menemukan jodoh, kata mak comblang owa ini, javan gibbon pantang berpindah ke lain hati dan setia sampai mati.

Kisah cinta seperti ini bukan hanya fiksi. Tengok saja betapa sulitnya menjodohkan Simon, satu dari 27 owa jawa yang direhabilitasi di JGC. Owa jawa jantan berusia sepuluh tahun ini sudah duda-Simon ditinggal mati betinanya. Namun Simon yang disita dari pedagang liar ini belum juga menemukan pasangan hidupnya. Padahal sudah enam betina silih berganti dijodohkan dalam setiap musim kawin.

Kali ini Simon dijodohkan dengan Uu, owa jawa betina berusia sembilan tahun. Keduanya disatukan dalam kandang perkenalan (introduction) bersekat kawat seukuran bus sedang. "Mereka hanya bisa bertatapan dulu," kata Anton. "Butuh feeling yang kuat dalam menjodohkan owa," katanya.

Selama di kandang perkenalan, Tempo menyaksikan Simon tetap kalem, tak tampak bergairah. Berbeda dengan Uu yang lebih agresif. Sesekali Uu bergelayutan menggapai gantungan yang terbuat dari karet. Menurut Anton, ada yang unik dari owa betina saat menyukai pejantan. Betina akan mengungkapkannya dengan cara menunggingkan bagian genital di hadapan si jantan. Proses perjodohan ini memakan waktu tak pasti, bisa kilat, lama, atau bahkan gagal total.

Masalahnya itu: "cinta". Tanpa cinta, Simon tak akan memilih betina. Alih-alih kemesraan, yang terjadi di antara dua owa jawa malah pertarungan yang bisa menyebabkan salah satu cedera. Bentuk penolakan owa jantan yang tidak menyukai pasangannya adalah menyerang owa betina manakala disatukan. Nah, itu terbukti ketika Simon dijodohkan dengan beberapa ekor betina sebelumnya.

Berbeda dengan Simon, pasangan Jimbo dan Sasa-keduanya enam tahun-hanya butuh waktu sekitar seminggu untuk saling jatuh cinta. "Setiap individu owa berbeda-beda," kata Anton. Bagi owa jawa yang sudah "klik" dan berpasangan, mereka akan dipindah ke kandang perjodohan berukuran 10 x 8 x 6 meter.

Aktivitas di kandang perjodohan lebih ramai ketimbang di kandang perkenalan. Di kandang perjodohan mereka lebih aktif bergerak. Owa betina lebih sering bersuara. Suaranya terdengar lebih panjang daripada suara owa jantan. Bahkan suara itu bisa terdengar hingga radius satu kilometer.

Memasuki masa kawin ini kera yang sudah berjodoh seperti Jimbo dan Sasa akan banyak menghabiskan waktu bergelantungan, saling mencari kutu (gruming), saling menggaruk, berpe-lukan, dan berpegangan tangan. "Sangat mesra," kata Ayung, salah seorang penjaga owa jawa di JGC.

Owa jawa biasanya siap kawin ketika memasuki umur enam tahun. Tapi cinta pada satwa owa tak mengenal umur. Laiknya manusia, umur bukanlah masalah. Kisah cinta pasangan owa beda usia cukup jauh pun jamak terjadi. Misalnya Yuki dan Kiskis. Di usianya yang tergolong tua, 16 tahun, Yuki mendapatkan pasangan betina 8 tahun.

Kini Javan Gibbon Center telah menjodohkan sedikitnya tujuh pasang owa. Menurut Anton, proses perjodohan ini ditujukan agar owa jawa bisa dilepasliarkan kembali ke habitat asli. Langkah ini penting mengingat owa jawa tidak bisa hidup tanpa keluarga. Di habitat asli, owa jawa hidup dalam sebuah keluarga yang terdiri atas sepasang induk atau minimal ditambah satu anak yang tinggal dalam teritori tertentu.

Sejak JGC berdiri pada 2003, baru satu pasangan owa jawa yang dapat dikembalikan ke habitat liarnya. Pasangan dengan pejantan Septa dan betina Echi, yang keduanya 10 tahun, dipertemukan di JGC pada 2008. Setahun berselang, tepatnya 16 Oktober 2009, pasangan ini resmi menghuni blok hutan Patiwel seluas lima hektare di kawasan Taman Nasional Gunung Gede-Pangrango.

Tepat pada Hari Bumi 22 April lalu, Septa dan Echi menampakkan diri dalam acara penanaman pohon di area seluas lima hektare di samping hutan Patiwel. Tempo menyaksikan, pasangan itu tampak bahagia. Mereka bergelayutan gembira di pepohonan.

Sayang, hingga kini pasangan Septa-Echi belum beranak. "Sempat bunting tapi keguguran," kata Anton. Owa jawa memang bukan termasuk satwa yang mudah berbiak. Di sepanjang hidup hewan yang mencapai usia 25-30 tahun ini, owa betina hanya 3-4 kali beranak. Itu pun hanya satu bayi pada setiap kelahiran.

Lebih-lebih hutan hujan tropis di Jawa yang menjadi tempat hidup alami owa kian berkurang. Perburuan owa jawa pun tergolong tinggi karena anak owa jawa digemari masyarakat sebagai satwa peliharaan. "Sampai-sampai ada yang memelihara anak owa sebagai pancingan agar punya anak," kata Anton sambil tertawa.

Wajar saja jika owa jawa sejak 1931 sudah dikelompokkan sebagai satwa langka yang dilindungi. Gangguan sekecil apa pun terhadap habitat asli owa jawa bisa meningkatkan risiko kepunahannya. "Tingkat stres owa sangat tinggi," kata Anton.

Anton mencontohkan, para pemburu biasa mengambil anak owa jawa dari gendongan owa betina dengan cara menembak. Nah, masyarakat banyak yang tidak mengetahui, membunuh satu owa sama dengan membunuh seluruh keluarga. Setelah ditinggal owa betina, owa jantan biasa tertimpa stres. Perlahan satu per satu anggota keluarga owa akan mati. Padahal keberadaan owa jawa bisa membantu pelestarian hutan. Owa dikenal sebagai salah satu penebar biji yang baik dari hasil pencernaan makanannya.

Kepala Balai Besar Taman Nasional Gunung Gede-Pangrango Sumarto Suharno mengatakan bahwa owa jawa sering dianalogikan sebagai satwa yang melambangkan kesetiaan. "Owa sangat sensitif," katanya. Gangguan kecil terhadap satu individu owa, kata Sumarto, akan berdampak pada seluruh keluarga owa. Di kawasan taman nasional seluas 22.581 hektare itu, Sumarto mencatat ada 300 owa jawa yang hidup di habitat aslinya. Data Conservation International Indonesia menunjukkan, di dunia hanya tersisa 1.000 keluarga atau maksimal 4.000 individu owa yang tersebar di Jawa.

Rudy Prasetyo, Diki Sudrajat (Sukabumi)


Karakteristik Owa Jawa
Nama ilmiah: Hylobates moloch

  • Panjang tubuh jantan dan betina dewasa 75- 80 sentimeter.
  • Berat 4-8 kilogram.
  • Panjang lengan hampir dua kali panjang tubuh.
  • Seluruh tubuh ditumbuhi rambut kecuali muka dan keempat ujung tungkainnya
  • Bulu lebat abu-abu keperakan
  • Makanan utama buah
  • Usia 25-30 tahun
  • Hidup berkeluarga minimal dua induk
  • Habitat asli di hutan tropis Jawa

Tahap Perjodohan
- Owa jawa dipilih dan dikarantina.
- Sepasang owa disatukan secara terpisah dalam kandang perkenalan.
- Kandang perjodohan
- Percobaan pelepasliaran
- Dilepas ke habitat aslinya (paling cepat memakan waktu satu tahun).

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus