Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Sihir Alat Musik dari Surga

Harpis Lavinia Meijer tampil menawan dalam konser di Jakarta. Membuktikan harpa mampu menjadi instrumen tunggal.

24 Mei 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

IA seperti bidadari berwajah oriental. Sipit matanya, tapi bercahaya dan hidup. Bibirnya tipis dengan dua lesung pipi tak lelah menemani senyum. Gaun merah marun yang menampilkan lengan dan sebagian punggung putih membuat keanggunan Lavinia Meijer tak terbantahkan.

Perempuan kelahiran Korea 27 tahun lalu yang diadopsi keluarga Belanda itu begitu menarik hati 200-an pengunjung Gedung Usmar Ismail, Jakarta, Sabtu dua pekan lalu. Bukan hanya kekaguman terhadap parasnya, tapi terutama karena keterampilannya dalam menguasai alat musik dengan 47 dawai bernama harpa.

Di tangan Lavinia, harpa setinggi 170 sentimeter itu menjadi bernyawa, mengalirkan nada-nada nan sejuk. Lagu roman Impromptu-Caprice for Solo Harp diawalinya dengan petikan bas yang disertai rhythm perlahan dari nada rendah ke tinggi. Diselingi keheningan sesaat, rangkaian nada mayor berubah menjadi rentetan not minor. Berulang kali pergantian itu disajikannya melalui akor yang kaya warna: kadang bermodulasi, sedikit miring, khas Asia timur, dan dalam tempo yang berubah-ubah.

Permainan Lavinia begitu lepas. Terkadang matanya terpejam, seolah menyerahkan kendali pada jari-jari yang telah terlatih sejak usianya sembilan tahun. Terkadang pula kepalanya mendekat ke arah senar, seperti menikmati melodi dari petikan jari-jari kanan dan akor buah kelincahan jari kiri. Pijakan kakinya pada pedal harpa membantunya mengalirkan nada-nada dengan jarak dekat. Tak ada kekosongan dalam permainannya.

Suasana ceria maupun getir pada karya Gabriel Pierné itu tak hanya memukau, tapi juga mampu membawa penonton masuk ke jeratan sihir yang diciptakan melalui dentingan tiap senar. Seolah tiap penonton dipisahkan dan dibawa dalam kesendirian untuk menikmati alat musik yang disebut guru spiritual Cing Hai berasal dari surga itu.

Peraih Dutch Music Prize—penghargaan tertinggi pemusik klasik di Belanda—tahun lalu itu membuktikan harpa tak lagi alat musik pelengkap. Harpa bisa menjadi instrumen tunggal. Lebih dari dua menit penonton bertepuk tangan atas penampilan Lavinia. Musisi yang telah mengeluarkan dua album ini sampai dua kali naik-turun panggung menyambut tepukan panjang itu.

Dua lagu lain yang dibawakan Lavinia bersama Jakarta Chamber Orchestra tak kalah menawan. Harp Concerto op.4 no. 6 karya komposer era Barok, George Frideric Handel, menjadi begitu meriah. Permainan Lavinia yang mengambil lead melody kian hidup dengan iringan 12 biola, empat viola, empat cello, dua bas, dan dua flute. Terutama pada bagian ketiga lagu, saat petikannya bersahutan dengan gesekan biola. Selama 10 menit, harmonisasi Lavinia bersama orkes yang dipimpin konduktor muda Avip Priatna sangat terasa.

Begitu pula dengan Danse Sacreé et Danse Profane for Harp and Orchestra karya Claude Debussy. Warna Asia Timur di awal dan nada-nada miring di tengah lagu dari harpa semakin dimantapkan oleh kekuatan orkes yang mampu mengatur keras-lembut alat musik gesek dengan tepat. Permainan harmoni Lavinia pun terdengar sangat apik dengan iringan staccato yang rapat dari biola. ”Mengagumkan,” kata Lavinia tentang permainannya bersama Jakarta Chamber Orchestra.

Penampilan Jakarta Chamber Orchestra pun tak kalah menakjubkan. Holberg Suite for String Orchestra karya Edvard Gried ditampilkan dengan megah. Begitu juga dengan karya Karl Jenkins, Palladio Concerto Grosso for String Orchestra. Gesekan biola 1 pimpinan Michelle Siswanto pada nada tinggi begitu menyayat. Lagu yang memiliki beberapa notasi pengulangan ini sama sekali tak terdengar membosankan.

Avip Priatna mampu mengatur tempo dan volume permainan. Kadang sangat lembut dan hampir tak terdengar. Nada-nada yang dimainkan datar dan monoton bisa tiba-tiba menjadi sangat keras dan dinamis. Lagu penutup Jazz Pizzicato karya Leroy Anderson selama tiga menit ditampilkan tanpa gesekan. Biola, viola, cello, dan bas dipetik dengan tangan (pizzicato), melahirkan nada-nada berjingkatan. Kecuali bas, tiga alat musik lain dimainkan dalam posisi seperti gitar. Meski tetap terdengar ada nada disonan, Avip membuktikan konser klasik bisa dibuat tak formal dan menghibur.

Panggung malam itu juga diisi penampilan empat saksofonis asal Belanda yang tergabung dalam Aurelia Saxophone Quartet. Tiga lagu, yaitu The Battle of the Saxes, Cantilène, dan Four for Tango, disajikan beruntun, hampir tanpa jeda. Tampil menakjubkan selama 12 menit, alat musik woodwind mereka begitu padu dan memunculkan nada-nada yang tak umum, bahkan menyerupai jeritan burung kematian. Sayang, penampilan mereka terkesan seperti tempelan saja dalam konser ini.

Pramono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus