SUASANA kelabu merayapi kaki Gunung Galunggung, menjangkau
desa-desa di daerah bahaya I sekelilingnya. Semua kehidupan
seperti dibalut debu, sunyi, bahkan mati. Seekor anjing kurus
tampak meniti pematang sawah yang tertimbun lahar. Ada rumah,
atap gentengnya sebagian besar bolong, tak lagi dihuni orang.
Daun pohon kelapa yang biasanya bangga tegak, kini merunduk,
pelepahnya patah, tak tahan beban debu yang terlalu banyak
melekat. Dan Tasikmalaya kembali jadi keusik ngalayah (pasir di
mana-mana), julukan yang dalam dongeng orang tua merupakan nama
asli wilayah itu.
Memang hampir 90% wilayah Kabupaten Tasikmalaya tertutup debu
dan pasir. Tak ayal pertanian, perikanan, perkebunan dan
kehutanan merupakan sektor ekonomi yang paling parah menderita.
Kerugian akibat musibah Galunggung ditaksir melebihi Rp 20
milyar sejak letusan pertama awal April lalu. Menurut Apang
Sofyan BA, pejabat Humas Pemda Tasikmalaya, angka kerugian ini
cenderung bertambah terus setiap kali Galunggung batuk.
Gunung yang kini tersohor itu tampak tak mereda kegiatannya.
Seperti pekan lalu kembali letusannya dahsyat menggelegar.
Nasib di daerah bencana itu bisa berubah dalam sekejap. Seperti
pengalaman Haji Adang dari Desa Sukaratu, Kecamatan Cigayong,
akhir Juni. Ikan emas di kolamnya yang seluas 0,6 ha, ditawar
calon pembeli Rp 750.000 saja -- jatuh dan lazimnya yang bisa
mencapai Rp 2 juta -- karena tempat itu terancam lahar. "Terlalu
murah," kata Haji Adang, hingga transaksi tidak jadi. Malam
harinya hujan turun, mengalirkan lahar dari lereng gunung dan
seluruh kolam Haji Adang tertimbun.
Daerah seitar Galunggung itu dulu kaya akan sumber ikan air
tawar. Produksi Kabupaten itu dulu bisa mencapai 2000 ton
sebulan tapi kini anjlok sampai 40%. Kerugian di sektor ikan ini
saja ditaksir mencapai Rp 2,8 milyar. Hampir 150 ha kolam
musnah, sementara Sungai Cikunir dan Sungai Cibanjaran, sumber
ikan lainnya, sekarang praktis tutup buku.
Nasib puluhan ribu orang lainnya di daerah itu bahkan lebih
parah lagi daripada yang dialami Haji Adang. Masa depan mereka
seakan-akan musnah bersama puluhan ribu hektar sawah dan sumber
penghasilan lain yang tertimbun lahar Galunggung.
Mungkin sekitar 22.000 pengungsi di Tasikmalaya masih menyimpan
harapan. Mungkin? Mereka siang hari menjenguk harta mereka yang
musnah di desa, dan kembali lagi ke tempat penampungan di bedeng
pada malam hari.
"Berbahaya tentu, tapi mereka mencuri-curi," ujar seorang
petugas Kodim setempat. "Malah ada yang menerobos sawah untuk
menghindari petugas." Tak hanya penghuni bedeng yang sulit
dibendung. Sekitar Lebaran (Idulfitri) ribuan turis lokal
berdatangan hendak melihat lahar atau perkampungan yang hancur.
"Malah ada yang datang dari Bandung dan Jakarta," ujar Apang
Sofyan.
Melihat beberapa tempat di tepi Sungai Cibanjaran dan Cikunir
ramai dikunjungi orang yang ingin melihat lahar, penduduk
membuka kedau kopi. "Lumayan, tiap hari bisa dapat Rp 1.000,"
ujar Hajjah Romlah, 45 tahun, seorang penghuni bedeng. Ia
bersama suaminya, Haji Mahmud, 70 tahun, setiap hari kembali ke
desa mereka yang dilanda bencana, dan perempuan itu sempat
berjualan kue dan kopi. Menjelang senja mereka bersama tetangga
lainnya meninggalkan tempat itu. "Malam hari, kami semua pulang
ke bedeng," ujar Hajjah Romlah yang dulu punya sawah subur
seluas 350 bata (« ha) di belakang rumahnya. "Semua sawah kami
sudah hancur," ujarnya.
ARUS turis lokal agaknya belum A akan berhenti. Menurut Ali
Ramli, petugas SBAJR di terminal Singaparna, bis antara
Tasikmalaya dan Jakarta atau Bandung, tak kekurangan penumpang.
Sedikitnya 100 bis melayani trayek itu. Ada pula 50 buah kolt
yang melayani rute Singaparna dengan desa-desa sekitar
Galunggung itu. "Mereka tetap dapat penumpang," ujar Ramli.
Rupanya dibalik bencana ada saja rezeki. Misalnya bagi Udin,
42 tahun, penarik becak dan puluhan rekannya, hampir 15 juta
ton debu yang menyelimuti Kota Tasikmalaya dan sekitarnya cukup
menggairahkan. Udin sendiri bisa berpenghasilan Rp 2.000 sehari
dari pekerjaan membersihkan debu dan pasir dari genteng rumah
penduduk. Biaya melicin genteng rumah berkisar Rp 15.000 dan Rp
40.000. "Wah, asal kita punya tenaga, ada saja kerja begini,"
ujar Udin bersemangat. "Mana bisa dapat Rp 2.000 dari menarik
becak," ujar lelaki beranak tujuh itu.
Emang Engkot, 39 tahun, bersama 50-an bandar pasir lainnya,
punya izin Pemda untuk menambang pasir dan kerikil di Sungai
Cikunir dan Cibanjaran. Sebelum Galunggung meletus, di kedua
sungai kecil itu "asal dikeruk, jumpa lumpur," ujar Engkot.
Akhir-akhir ini Galunggung memuntahkan lagi pasir dan kerikil.
Kini dasar kedua sungai itu sudah tertimbun pasir Galunggung
sampai dua meter dalamnya --"tinggal ambil saja," ujar Engkot.
Tapi harga pasir di situ yang dulu sampai Rp 2.000 sekarang
anjlok menjadi Rp 1.750 per m3.
Engkot sempat mengirim 20 truk pasir ke Jakarta, pesanan
kontraktor bangunan di Cengkareng dan Sunter. "Orang Bandung
juga mulai mencari pasir ke sini," ujar Engkot ang sudah 15
tahun berusaha di bidang ini: Tapi, menurut Apang Sofyan, pasir
yang dimuntahkan Galunggung belum pasti baik sebagai bahan
bangunan karena banyak campuran debunya.
Debu ini cukup memusingkan Pemda. Berkali-kali diadakan kerja
gotong royong, tapi debu tetap saja menebal dijalan-jalan Kota
Tasikmalaya. Sarana angkutnya juga sangat kurang, hanya tersedia
50 truk. Menteri PU baru saja mengirim tambahan 10 truk dan
sebuah loader. "Jumlah itu pun belum cukup," ujar Sofyan.
Penduduk yang mampu bisa membuang debu dari depan rumah ke
lembah di pinggiran kota dengan membayar Rp 2.000 per truk.
Sementara setiap kali Galunggung batuk di tiap rumah bisa
terkumpul 5 truk debu.
Orang kampung seperti Yeyen, 40 tahun, di Sukalaya Barat mulai
bikin masker pengelak debu. Masker itu yang dibuatnya dari kain
kaus yang mulur dan bertali cukup untuk menutup mulut dan
hidung. Ia menjualnya kepada para pedagang kakilima dengan harga
Rp 125, dan beruntung Rp 25. Lumayan juga pendapatannya karena
satu hari ia bisa menjual sampai 50 masker.
Manfaat masker itu bagi warga Tasik memang besar. Saat ini tak
ada tempat yang terhindar dari kepulan debu halus, walaupun di
dalam rumah.
Satu waktu ada pasien, anak kecil sumbing hidungnya. "Ketika
hendak diobati, anak itu muntah," cerita dr. Mohamad Sodik,
Kepala Dinas Kesehatan Tasikmalaya. "Muntahnya debu campur
pasir." Rupanya hidungllya selama ini tak pakai masker.
Secara umum dr. Sodik itu tak khawatir akan peningkatan
"penyakit yang berarti karena Galunggung." Ada kenaikan kasus
penyakit saluran pernapasan saja sebesar 5%.
Penyakit kulit? "Rupanya debu itu tak berbahaya untuk kulit,
apalagi biasanya orang terus mandi," kata dr. Sodik.
Nyonya A Yung, pemilik salon kecantikan di Jl. Mustofa,
Tasikmalaya, membenarkan pendapat ini. Tak ada pengunjung
salonnya yang mengeluh karena kelainan pada kulit. Mereka yang
hendak mencuci rambut memang bertambah banyak. Juga penjualan
shampoo meningkat sekitar 20%, menurut A Yun.
Tentu tak semua wiraswasta mengenyam keuntungan akibat debu
Galunggung. Para pedagang makanan dan pedagang minuman seperti
cendol dan sejenisnya cukup merana. Haji Islawan, pengusaha
rumah makan di tengah Kota Tasikmalaya mengeluh karena omset
penjualannya anjlok dari Rp 60.000 menjadi Rp 17.000 sehari.
"Kalau ada hujan debu, kami terpaksa tutup," katanya.
Juga Darto, pengurus rumah makan di Garut -- sekitar 40-an km
dari Galunggung -- menyatakan omsetnya sangat menurun. Dari Rp
75.000 menjadi belasan ribu saja sehari. "Dan kami lebih sering
tutup," kata Darto.
Tapi nasib mereka masih lumayan dibanding dengan penderitaan
puluhan ribu pengungsi yang terpaksa bermukim di bedeng dan
mengharapkan budi baik dari masyarakat. Entah kapan mereka bisa
lagi berladang. Tanah pertanian mereka, dengan debu sebanyak
itu, tak mungkin bisa segera dipakai kembali. Seperti yang
dialami penduduk Bali akibat letusan Gunung Agung tahun 1963.
SEPERTIGA permukaan Pulau Bali terselimutkan lapisan debu dan
lebih 1000 orang meninggal akibat bencana itu. Puluhan ribu
hektar tanah pertanian, sawah dan hutan rusak, kering atau
terganggu pengairannya. Sekarang, 19 tahun berselang, belum
sampai 50% keadaannya pulih, menurut pimpinan Proyek
Penanggulangan Akibat Bencana Gunung Agung, Ir. Wirya.
Tidak semua areal yang tergolong produktif dulu di Bali akan
bisa pulih, karena tertimbun batu-batu besar. Juga minat
penduduk banyak beralih. Di Subak Sampalan, Kab. Klungkung
misalnya, lebih 800 hektar sawah tak pulih, meski sudah tersedia
sumber pengairan dari Sungai Unde. Penduduk di situ lebih suka
berdagang pasir dan batu ketimbang mengolah kembali sawah
mereka. Sebaliknya di Tangkas, daerah yang tergolong paling
parah, kini penduduk kembali bertani dan membuat pemukiman,
demikian juga di Karang Kubu, dan Subagan, keduanya di
Karangasam.
Bagi warga di daerah bencana Galunggung, jelas pemulihan tanah
pertanian mereka akan harus menunggu lama. Bupati Tasikmalaya,
H. Hudly Bangbang Aruman menganjurkan mereka supaya bersedia
ditransmigrasikan. Apalagi Dinas Vulkanologi meramalkan bahwa
bahaya Galunggung masih terus mengancam, nanti di musim hujan.
Bagi para pengungsi, transmigrasi satu-satunya jalan keluar.
Tapi sampai pekan ini dari puluhan ribu warga yang menderita
akibat bencana Galunggung belum sampai 3.500 jiwa
ditransmigrasikan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini