Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Karena galunggung batuk terus

Akibat-akibat yang ditimbulkan oleh letusan gunung galunggung: pertanian, perikanan dan perkebunan yang merupakan sektor ekonomi paling menderita. bahayanya masih mengancam. (ling)

7 Agustus 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SUASANA kelabu merayapi kaki Gunung Galunggung, menjangkau desa-desa di daerah bahaya I sekelilingnya. Semua kehidupan seperti dibalut debu, sunyi, bahkan mati. Seekor anjing kurus tampak meniti pematang sawah yang tertimbun lahar. Ada rumah, atap gentengnya sebagian besar bolong, tak lagi dihuni orang. Daun pohon kelapa yang biasanya bangga tegak, kini merunduk, pelepahnya patah, tak tahan beban debu yang terlalu banyak melekat. Dan Tasikmalaya kembali jadi keusik ngalayah (pasir di mana-mana), julukan yang dalam dongeng orang tua merupakan nama asli wilayah itu. Memang hampir 90% wilayah Kabupaten Tasikmalaya tertutup debu dan pasir. Tak ayal pertanian, perikanan, perkebunan dan kehutanan merupakan sektor ekonomi yang paling parah menderita. Kerugian akibat musibah Galunggung ditaksir melebihi Rp 20 milyar sejak letusan pertama awal April lalu. Menurut Apang Sofyan BA, pejabat Humas Pemda Tasikmalaya, angka kerugian ini cenderung bertambah terus setiap kali Galunggung batuk. Gunung yang kini tersohor itu tampak tak mereda kegiatannya. Seperti pekan lalu kembali letusannya dahsyat menggelegar. Nasib di daerah bencana itu bisa berubah dalam sekejap. Seperti pengalaman Haji Adang dari Desa Sukaratu, Kecamatan Cigayong, akhir Juni. Ikan emas di kolamnya yang seluas 0,6 ha, ditawar calon pembeli Rp 750.000 saja -- jatuh dan lazimnya yang bisa mencapai Rp 2 juta -- karena tempat itu terancam lahar. "Terlalu murah," kata Haji Adang, hingga transaksi tidak jadi. Malam harinya hujan turun, mengalirkan lahar dari lereng gunung dan seluruh kolam Haji Adang tertimbun. Daerah seitar Galunggung itu dulu kaya akan sumber ikan air tawar. Produksi Kabupaten itu dulu bisa mencapai 2000 ton sebulan tapi kini anjlok sampai 40%. Kerugian di sektor ikan ini saja ditaksir mencapai Rp 2,8 milyar. Hampir 150 ha kolam musnah, sementara Sungai Cikunir dan Sungai Cibanjaran, sumber ikan lainnya, sekarang praktis tutup buku. Nasib puluhan ribu orang lainnya di daerah itu bahkan lebih parah lagi daripada yang dialami Haji Adang. Masa depan mereka seakan-akan musnah bersama puluhan ribu hektar sawah dan sumber penghasilan lain yang tertimbun lahar Galunggung. Mungkin sekitar 22.000 pengungsi di Tasikmalaya masih menyimpan harapan. Mungkin? Mereka siang hari menjenguk harta mereka yang musnah di desa, dan kembali lagi ke tempat penampungan di bedeng pada malam hari. "Berbahaya tentu, tapi mereka mencuri-curi," ujar seorang petugas Kodim setempat. "Malah ada yang menerobos sawah untuk menghindari petugas." Tak hanya penghuni bedeng yang sulit dibendung. Sekitar Lebaran (Idulfitri) ribuan turis lokal berdatangan hendak melihat lahar atau perkampungan yang hancur. "Malah ada yang datang dari Bandung dan Jakarta," ujar Apang Sofyan. Melihat beberapa tempat di tepi Sungai Cibanjaran dan Cikunir ramai dikunjungi orang yang ingin melihat lahar, penduduk membuka kedau kopi. "Lumayan, tiap hari bisa dapat Rp 1.000," ujar Hajjah Romlah, 45 tahun, seorang penghuni bedeng. Ia bersama suaminya, Haji Mahmud, 70 tahun, setiap hari kembali ke desa mereka yang dilanda bencana, dan perempuan itu sempat berjualan kue dan kopi. Menjelang senja mereka bersama tetangga lainnya meninggalkan tempat itu. "Malam hari, kami semua pulang ke bedeng," ujar Hajjah Romlah yang dulu punya sawah subur seluas 350 bata (« ha) di belakang rumahnya. "Semua sawah kami sudah hancur," ujarnya. ARUS turis lokal agaknya belum A akan berhenti. Menurut Ali Ramli, petugas SBAJR di terminal Singaparna, bis antara Tasikmalaya dan Jakarta atau Bandung, tak kekurangan penumpang. Sedikitnya 100 bis melayani trayek itu. Ada pula 50 buah kolt yang melayani rute Singaparna dengan desa-desa sekitar Galunggung itu. "Mereka tetap dapat penumpang," ujar Ramli. Rupanya dibalik bencana ada saja rezeki. Misalnya bagi Udin, 42 tahun, penarik becak dan puluhan rekannya, hampir 15 juta ton debu yang menyelimuti Kota Tasikmalaya dan sekitarnya cukup menggairahkan. Udin sendiri bisa berpenghasilan Rp 2.000 sehari dari pekerjaan membersihkan debu dan pasir dari genteng rumah penduduk. Biaya melicin genteng rumah berkisar Rp 15.000 dan Rp 40.000. "Wah, asal kita punya tenaga, ada saja kerja begini," ujar Udin bersemangat. "Mana bisa dapat Rp 2.000 dari menarik becak," ujar lelaki beranak tujuh itu. Emang Engkot, 39 tahun, bersama 50-an bandar pasir lainnya, punya izin Pemda untuk menambang pasir dan kerikil di Sungai Cikunir dan Cibanjaran. Sebelum Galunggung meletus, di kedua sungai kecil itu "asal dikeruk, jumpa lumpur," ujar Engkot. Akhir-akhir ini Galunggung memuntahkan lagi pasir dan kerikil. Kini dasar kedua sungai itu sudah tertimbun pasir Galunggung sampai dua meter dalamnya --"tinggal ambil saja," ujar Engkot. Tapi harga pasir di situ yang dulu sampai Rp 2.000 sekarang anjlok menjadi Rp 1.750 per m3. Engkot sempat mengirim 20 truk pasir ke Jakarta, pesanan kontraktor bangunan di Cengkareng dan Sunter. "Orang Bandung juga mulai mencari pasir ke sini," ujar Engkot ang sudah 15 tahun berusaha di bidang ini: Tapi, menurut Apang Sofyan, pasir yang dimuntahkan Galunggung belum pasti baik sebagai bahan bangunan karena banyak campuran debunya. Debu ini cukup memusingkan Pemda. Berkali-kali diadakan kerja gotong royong, tapi debu tetap saja menebal dijalan-jalan Kota Tasikmalaya. Sarana angkutnya juga sangat kurang, hanya tersedia 50 truk. Menteri PU baru saja mengirim tambahan 10 truk dan sebuah loader. "Jumlah itu pun belum cukup," ujar Sofyan. Penduduk yang mampu bisa membuang debu dari depan rumah ke lembah di pinggiran kota dengan membayar Rp 2.000 per truk. Sementara setiap kali Galunggung batuk di tiap rumah bisa terkumpul 5 truk debu. Orang kampung seperti Yeyen, 40 tahun, di Sukalaya Barat mulai bikin masker pengelak debu. Masker itu yang dibuatnya dari kain kaus yang mulur dan bertali cukup untuk menutup mulut dan hidung. Ia menjualnya kepada para pedagang kakilima dengan harga Rp 125, dan beruntung Rp 25. Lumayan juga pendapatannya karena satu hari ia bisa menjual sampai 50 masker. Manfaat masker itu bagi warga Tasik memang besar. Saat ini tak ada tempat yang terhindar dari kepulan debu halus, walaupun di dalam rumah. Satu waktu ada pasien, anak kecil sumbing hidungnya. "Ketika hendak diobati, anak itu muntah," cerita dr. Mohamad Sodik, Kepala Dinas Kesehatan Tasikmalaya. "Muntahnya debu campur pasir." Rupanya hidungllya selama ini tak pakai masker. Secara umum dr. Sodik itu tak khawatir akan peningkatan "penyakit yang berarti karena Galunggung." Ada kenaikan kasus penyakit saluran pernapasan saja sebesar 5%. Penyakit kulit? "Rupanya debu itu tak berbahaya untuk kulit, apalagi biasanya orang terus mandi," kata dr. Sodik. Nyonya A Yung, pemilik salon kecantikan di Jl. Mustofa, Tasikmalaya, membenarkan pendapat ini. Tak ada pengunjung salonnya yang mengeluh karena kelainan pada kulit. Mereka yang hendak mencuci rambut memang bertambah banyak. Juga penjualan shampoo meningkat sekitar 20%, menurut A Yun. Tentu tak semua wiraswasta mengenyam keuntungan akibat debu Galunggung. Para pedagang makanan dan pedagang minuman seperti cendol dan sejenisnya cukup merana. Haji Islawan, pengusaha rumah makan di tengah Kota Tasikmalaya mengeluh karena omset penjualannya anjlok dari Rp 60.000 menjadi Rp 17.000 sehari. "Kalau ada hujan debu, kami terpaksa tutup," katanya. Juga Darto, pengurus rumah makan di Garut -- sekitar 40-an km dari Galunggung -- menyatakan omsetnya sangat menurun. Dari Rp 75.000 menjadi belasan ribu saja sehari. "Dan kami lebih sering tutup," kata Darto. Tapi nasib mereka masih lumayan dibanding dengan penderitaan puluhan ribu pengungsi yang terpaksa bermukim di bedeng dan mengharapkan budi baik dari masyarakat. Entah kapan mereka bisa lagi berladang. Tanah pertanian mereka, dengan debu sebanyak itu, tak mungkin bisa segera dipakai kembali. Seperti yang dialami penduduk Bali akibat letusan Gunung Agung tahun 1963. SEPERTIGA permukaan Pulau Bali terselimutkan lapisan debu dan lebih 1000 orang meninggal akibat bencana itu. Puluhan ribu hektar tanah pertanian, sawah dan hutan rusak, kering atau terganggu pengairannya. Sekarang, 19 tahun berselang, belum sampai 50% keadaannya pulih, menurut pimpinan Proyek Penanggulangan Akibat Bencana Gunung Agung, Ir. Wirya. Tidak semua areal yang tergolong produktif dulu di Bali akan bisa pulih, karena tertimbun batu-batu besar. Juga minat penduduk banyak beralih. Di Subak Sampalan, Kab. Klungkung misalnya, lebih 800 hektar sawah tak pulih, meski sudah tersedia sumber pengairan dari Sungai Unde. Penduduk di situ lebih suka berdagang pasir dan batu ketimbang mengolah kembali sawah mereka. Sebaliknya di Tangkas, daerah yang tergolong paling parah, kini penduduk kembali bertani dan membuat pemukiman, demikian juga di Karang Kubu, dan Subagan, keduanya di Karangasam. Bagi warga di daerah bencana Galunggung, jelas pemulihan tanah pertanian mereka akan harus menunggu lama. Bupati Tasikmalaya, H. Hudly Bangbang Aruman menganjurkan mereka supaya bersedia ditransmigrasikan. Apalagi Dinas Vulkanologi meramalkan bahwa bahaya Galunggung masih terus mengancam, nanti di musim hujan. Bagi para pengungsi, transmigrasi satu-satunya jalan keluar. Tapi sampai pekan ini dari puluhan ribu warga yang menderita akibat bencana Galunggung belum sampai 3.500 jiwa ditransmigrasikan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus