Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosial

Bila tiba awalokiteshwara

Pemimpin agama budha, dalai lama, kunjungan ke indonesia sebagai tamu perwalian umat budha indonesia dan dep. agama.(ag)

7 Agustus 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
material-symbols:fullscreenPerbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEKITAR empat tahun setelah Dalai Lama XIII meninggal, ditemukanlah sudah titisan ke-14 Sang Awalokiteshwara, Wujudnya: seorang anak yang waktu itu (1937) belum genap dua tahun (lihat box). Nah. Anak itulah Dalai Lama XIV, yang pekan ini menjadi tamu Walubi (Perwalian Umat Budha Indonesia) dan Dep. Agama RI. Meski resminya ia pemimpin keagamaan dan sekaligus pemerintahan Tibet, "kunjungan beliau ke Indonesia semata-mata bersifat keagamaan," tutur Gde Pudja, 46 tahun, Dirjen Bimas Hindu & Budha. Tentu saja Dalai Lama tak langsung datang dari Tibet. Sejak 1959, ketika Cina menduduki negerinya, ia beserta para pembantu dan sejumlah umat lari ke India. Di sana mereka bermukim di Dharmasala, di kaki Himalaya, hingga sekarang. Dari sana pula Dalai Lama berangkat -- ke Malaysia, Singapura, dan berlabuh di Jakarta 1 Agustus ini: seorang 'kepala pemerintahan' yang (kini) tanpa kuasa, yang mendapat jabatannya dengan sendirinya justru karena ia pemimpin keagamaan. Kedudukan yang unik itu memang menunjukkan ciri Budhisme Tibet. Dalai Lama sendiri (nama ini berarti: Samudera Lama, dan lama adalah pendeta Tibet) muncul dari salah satu aliran besar yang kemudian dominan, Gelukpa namanya. Budhisme Tibet sendiri dikenal bermazhab Tantrayana (dari induk besar Mahayana) yang dinilai sudah bercampur dengan 'kebatinan' Tibet, disebut bon. Memang, kebesaran seorang Dalai Lama pertama kali disebabkan oleh kepercayaan bahwa ia penjelmaan Awalokiteshwara, bodhisatwa yang ditunggu-tunggu. Tapi segi kekuasaan politiknya sebenarnya menjelas dari sejarah bermulanya Dalai Lama sendiri di abad XIV. Bahkan kekuasaan itu pula yang bisa meneguhkan kepercayaan itu. Aliran Gelukpa, yang juga dikenal dengan sebutan Topi Kuning (karena begitulah kostum resmi keagamaan mereka), dalam perebutan pengaruh dahulu ternyata dekat dengan kekuasaan Mongol. Bahkan dengan bantuan Mongol sekte ini berhasil mendominasi Tibet: selain menang dalam segi keagamaan, juga bisa menggeser dinasti raja-raja Tibet. Dan pada 1391 dinobatkanlah Dge-dun-grub-pa. Dialah Dalai Lama pertama -- di bawah pengaruh Mongol. Bahkan Dalai Lama IV adalah cucu Altan Khan, salah seorang kaisar Mongol -- meski hanya dia satu-satunya Dala Lama yang bukan orang Tibet. Toh Dalai Lama VI, yang suka menulis puisi dan berpikiran bebas, dicurigai penguasa Mongol ingin membebaskan Tibet. Maka ia pun didepak dari tahta, dikirim ke Cina dengan pengawalan ketat, dan meninggal di jalan. Dinasti Manchu yang jaya, begitulah sejarahnya, lantas menggantikan pengaruh Mongol di negeri itu -- dan ini terjadi semasa pemerintahan Dalai Lama VII. Sampai masa pemerintahan Dalai Lama XIII, saat Dinasti Manchu jatuh dan memberi kesempatan bagi Tibet menyatakan kemerdekaannya (1911), meski di belakangnya berdiri Inggris. Terjadilah kemudian pengusiran orang Cina secara besar-besaran. Dan itulah alasan bagi Cina untuk menyerbu masuk -- 1950. Tahun berikutnya diteken "perjanjian perdamaian bersyarat". Lhasa, ibukota Tibet, kini di bawah kendali Beijing. Entah karena titisan Bodhisatwa Awalokiteshwara, Dalai Lama XIV tetap bersabar. Malah mencoba hubungan baik dengan para pemimpin Cina. Tapi Kampanye Seratus Bunga yang dilancarkan Mao, 1956, ketika para pemimpin Cina saling menjatuhkan, membuka peluang sekali lagi bagi Tibet. Meletuslah rasa tertekan rakyat selama ini. Perkelahian orang Cina dan Tibet tak terhindarkan. Maka pada 1959 sekali lagi tentara Cina masuk Tibet, dan secara total memukul hancur gerakan gerilyawan Tibet. Dalai Lama pun mengungsi ke India, sampai kini. Negeri 'atap dunia' itu dilumpuhkan. Wihara-wihara dihancurkan. Hanya beberapa yang diizinkan tetap menyelenggarakan kegiatan yang juga dibatasi. "Kebudayaan Tibet yang unik telah hancur. Ini membuat semua aspek kehidupan -- sosial, ekonomi, politik, dan pendidikan, ikut rubuh." Itu kata-kata Thubten Jigme Norbu, kakak Dalai Lama IV yang kini mengajar di Universitas Iniana, AS. Tapi adakah kedatargan Dalai Lama ke Indonesia berada dalam rangka menegakkan kembali yang 'rubuh'? Di sini, pemimpin agama yang hanya disertai delapan orang staf itu antara lain bertemu dengan para pemimpin organisasi (bukan pemimpin agama) Budhis. Juga memberi ceramah khusus kepada mereka, di samping kepada umum. Mengadakan pemberkatan, mengunjungi candi-candi, terutama candi Budha Borobudur, di samping bertemu dengan Menteri Agama dan Wakil Presiden untuk sekedar ramah-tamah. Kebetulan pula Budhisme di Tibet dikatakan mirip Budhisme kita -- sama-sama beraliran Tantrayana. Ini bisa dilihat, misalnya, pada patung-patung Majapahit yang ditemukan di Jawa Timur. Di Bali, pertunjukan Cupak, juga tari Barong, mengingatkan orang akan paham itu. Juga bangunan Borobudur sendiri, pada bagian mandala yang dianggap suci. Bangunan seperti itu memang banyak terdapat di wihara-wihara di Tibet. Hanya saja, semua itu tidak berarti 'kesatuan' Budhisme di Tibet dan Indonesia, tentu saja. Sebab Tantrayana juga berkembang di Nepal, Cina, Jepang. Dan struktur bangunan bermandala juga bisa dilihat di negeri terakhir itu. Faktor warna keagamaan memang bukan alasan kunjungan sang pemimpin. Tanggal 7 Agustus Dalai Lama bahkan akan terbang ke Australia -- yang bukan negeri candi atau mazhab Budhis. Abang Dalai Lama yang telah disebut malahan sempat mengunjungi RRC -- atas undangan pemerintah Cina yang telah berubah. Dalam iklim politik yang aktual kini, memang cukup bermanfaat agaknya mengingatkan dunia akan Tibet, sebuah negeri di pegunungan tertinggi di dunia, kecil, dengan penduduk 1,3 juta, dan berkabut, dengan budayanya yang tersimpan di bawah kekerasan kekuasaan. Seperti dikatakan Dalai Lama sendiri, kebudayaan Tibet "sama pentingnya dengan sektor ekonominya. Dan warisan budaya itu bersumber pada religi." Memang ada yang dikandung sang Awalokiteshawara, baru itu ketika ia melangkahkan kaki sampai jauh ke negeri-negeri tetangga. Sebuah harapan masa depan, entah di mana.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus