SEKITAR empat tahun setelah Dalai Lama XIII meninggal,
ditemukanlah sudah titisan ke-14 Sang Awalokiteshwara,
Wujudnya: seorang anak yang waktu itu (1937) belum genap dua
tahun (lihat box). Nah. Anak itulah Dalai Lama XIV, yang pekan
ini menjadi tamu Walubi (Perwalian Umat Budha Indonesia) dan
Dep. Agama RI.
Meski resminya ia pemimpin keagamaan dan sekaligus pemerintahan
Tibet, "kunjungan beliau ke Indonesia semata-mata bersifat
keagamaan," tutur Gde Pudja, 46 tahun, Dirjen Bimas Hindu &
Budha.
Tentu saja Dalai Lama tak langsung datang dari Tibet. Sejak
1959, ketika Cina menduduki negerinya, ia beserta para pembantu
dan sejumlah umat lari ke India. Di sana mereka bermukim di
Dharmasala, di kaki Himalaya, hingga sekarang. Dari sana pula
Dalai Lama berangkat -- ke Malaysia, Singapura, dan berlabuh di
Jakarta 1 Agustus ini: seorang 'kepala pemerintahan' yang (kini)
tanpa kuasa, yang mendapat jabatannya dengan sendirinya justru
karena ia pemimpin keagamaan.
Kedudukan yang unik itu memang menunjukkan ciri Budhisme Tibet.
Dalai Lama sendiri (nama ini berarti: Samudera Lama, dan lama
adalah pendeta Tibet) muncul dari salah satu aliran besar yang
kemudian dominan, Gelukpa namanya. Budhisme Tibet sendiri
dikenal bermazhab Tantrayana (dari induk besar Mahayana) yang
dinilai sudah bercampur dengan 'kebatinan' Tibet, disebut bon.
Memang, kebesaran seorang Dalai Lama pertama kali disebabkan
oleh kepercayaan bahwa ia penjelmaan Awalokiteshwara, bodhisatwa
yang ditunggu-tunggu. Tapi segi kekuasaan politiknya sebenarnya
menjelas dari sejarah bermulanya Dalai Lama sendiri di abad XIV.
Bahkan kekuasaan itu pula yang bisa meneguhkan kepercayaan itu.
Aliran Gelukpa, yang juga dikenal dengan sebutan Topi Kuning
(karena begitulah kostum resmi keagamaan mereka), dalam
perebutan pengaruh dahulu ternyata dekat dengan kekuasaan
Mongol. Bahkan dengan bantuan Mongol sekte ini berhasil
mendominasi Tibet: selain menang dalam segi keagamaan, juga bisa
menggeser dinasti raja-raja Tibet. Dan pada 1391 dinobatkanlah
Dge-dun-grub-pa. Dialah Dalai Lama pertama -- di bawah pengaruh
Mongol. Bahkan Dalai Lama IV adalah cucu Altan Khan, salah
seorang kaisar Mongol -- meski hanya dia satu-satunya Dala Lama
yang bukan orang Tibet.
Toh Dalai Lama VI, yang suka menulis puisi dan berpikiran bebas,
dicurigai penguasa Mongol ingin membebaskan Tibet. Maka ia pun
didepak dari tahta, dikirim ke Cina dengan pengawalan ketat, dan
meninggal di jalan.
Dinasti Manchu yang jaya, begitulah sejarahnya, lantas
menggantikan pengaruh Mongol di negeri itu -- dan ini terjadi
semasa pemerintahan Dalai Lama VII.
Sampai masa pemerintahan Dalai Lama XIII, saat Dinasti Manchu
jatuh dan memberi kesempatan bagi Tibet menyatakan
kemerdekaannya (1911), meski di belakangnya berdiri Inggris.
Terjadilah kemudian pengusiran orang Cina secara besar-besaran.
Dan itulah alasan bagi Cina untuk menyerbu masuk -- 1950. Tahun
berikutnya diteken "perjanjian perdamaian bersyarat". Lhasa,
ibukota Tibet, kini di bawah kendali Beijing.
Entah karena titisan Bodhisatwa Awalokiteshwara, Dalai Lama
XIV tetap bersabar. Malah mencoba hubungan baik dengan para
pemimpin Cina. Tapi Kampanye Seratus Bunga yang dilancarkan Mao,
1956, ketika para pemimpin Cina saling menjatuhkan, membuka
peluang sekali lagi bagi Tibet. Meletuslah rasa tertekan rakyat
selama ini. Perkelahian orang Cina dan Tibet tak terhindarkan.
Maka pada 1959 sekali lagi tentara Cina masuk Tibet, dan secara
total memukul hancur gerakan gerilyawan Tibet. Dalai Lama pun
mengungsi ke India, sampai kini.
Negeri 'atap dunia' itu dilumpuhkan. Wihara-wihara dihancurkan.
Hanya beberapa yang diizinkan tetap menyelenggarakan kegiatan
yang juga dibatasi. "Kebudayaan Tibet yang unik telah hancur.
Ini membuat semua aspek kehidupan -- sosial, ekonomi, politik,
dan pendidikan, ikut rubuh." Itu kata-kata Thubten Jigme Norbu,
kakak Dalai Lama IV yang kini mengajar di Universitas Iniana,
AS. Tapi adakah kedatargan Dalai Lama ke Indonesia berada dalam
rangka menegakkan kembali yang 'rubuh'?
Di sini, pemimpin agama yang hanya disertai delapan orang staf
itu antara lain bertemu dengan para pemimpin organisasi (bukan
pemimpin agama) Budhis. Juga memberi ceramah khusus kepada
mereka, di samping kepada umum. Mengadakan pemberkatan,
mengunjungi candi-candi, terutama candi Budha Borobudur, di
samping bertemu dengan Menteri Agama dan Wakil Presiden untuk
sekedar ramah-tamah.
Kebetulan pula Budhisme di Tibet dikatakan mirip Budhisme kita
-- sama-sama beraliran Tantrayana. Ini bisa dilihat, misalnya,
pada patung-patung Majapahit yang ditemukan di Jawa Timur.
Di Bali, pertunjukan Cupak, juga tari Barong, mengingatkan orang
akan paham itu. Juga bangunan Borobudur sendiri, pada bagian
mandala yang dianggap suci. Bangunan seperti itu memang banyak
terdapat di wihara-wihara di Tibet.
Hanya saja, semua itu tidak berarti 'kesatuan' Budhisme di Tibet
dan Indonesia, tentu saja. Sebab Tantrayana juga berkembang di
Nepal, Cina, Jepang. Dan struktur bangunan bermandala juga bisa
dilihat di negeri terakhir itu.
Faktor warna keagamaan memang bukan alasan kunjungan sang
pemimpin. Tanggal 7 Agustus Dalai Lama bahkan akan terbang ke
Australia -- yang bukan negeri candi atau mazhab Budhis. Abang
Dalai Lama yang telah disebut malahan sempat mengunjungi RRC --
atas undangan pemerintah Cina yang telah berubah.
Dalam iklim politik yang aktual kini, memang cukup bermanfaat
agaknya mengingatkan dunia akan Tibet, sebuah negeri di
pegunungan tertinggi di dunia, kecil, dengan penduduk 1,3 juta,
dan berkabut, dengan budayanya yang tersimpan di bawah kekerasan
kekuasaan. Seperti dikatakan Dalai Lama sendiri, kebudayaan
Tibet "sama pentingnya dengan sektor ekonominya. Dan warisan
budaya itu bersumber pada religi." Memang ada yang dikandung
sang Awalokiteshawara, baru itu ketika ia melangkahkan kaki
sampai jauh ke negeri-negeri tetangga. Sebuah harapan masa
depan, entah di mana.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini