Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Karena mereka lengah di morvi

Bendungan machu yang rengat di gujarat, india, jebol dan air bah menyapu kota morvi, 6 km di hilirnya. ketika air danau mencapai 1/2 m di atas tingkat maksimum & karena kelengahan pejabat setempat. (ling)

8 September 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SAMPAI belum lama ini Morvi, bekas ibukota suatu kerajaan, 500 km di sebelah barat-laut Bombay, membanggakan banyak patung dan kuil berukir. Kerajinan keramiknya tersohor di seluruh India. Demikian pula lonceng buatan dan tenunan sutranya. Tapi semua kebanggaan masa lampau itu sudah tidak bersisa lagi. Suatu petang, 11 Agustus, bendungan Machu no. 2 jebol. Dalam waktu singkat air bah menyapu kota Morvi yang terletak 6 km di hilir bendungan itu. Kota di negara-bagian Gujarat itu yang tadinya berpenduduk sekitar 60.000 orang kini hancur. Para pejabat pekan lalu masih meneliti kenapa bencana besar itu bisa terjadi. Sementara itu kaum politisi tak ketinggalan mencari kambing hitam. Namun ada konsensus rupanya bahwa para pejabat setempat agak lengah tadinya, sedang penduduk umumnya bersikap acuh tak acuh--sama sekali tidak dalam Keadaan siaga ketika semula diketahui bendungan itu retak. Krisis Politik Karena hujan deras selama 24 jam, air danau buatan di balik bendungan itu mencapai setengah meter di atas tingkat maksimum. Bendungan yang memang sudah retak itu tidak dapat menahan lagi. Dan air bah terlepas dengan dahsyat. Bahkan truk 5 ton dihanyutkannya dari ujung timur ke ujung barat kota. "Ribuan mayat hanyut terbawa gelombang itu ke dalam Teluk Kutch," kata Mayor A.R. Khan yang memimpin kegiatan tentara dalam mengatasi bencana itu. Bau mayat tercium di mana-mana. Ratusan burung hering--pemakan bangkai -- senantiasa melayang di atas bekas kota Morvi. Ketika penduduk yang selamat telah kembali, mereka bahkan kehabisan kayu untuk membakar mayat, sesuai dengan tradisi penganut Hindu. Taksiran orang mengenai jumlah korban berkisar antara 1000 dan 25.000--tergantung pihak resmi atau bukan yang bercerita. Koran Hindustan Times menyiarkan angka tertinggi itu. Di New Delhi, ketika itu kalangan partai- umumnya sedang terlibat daam krisis politik. Bencana bendungan itu seperti disebut oleh tokoh partai Kongres, Jashvant Mehta, "tak ada taranya dalam sejarah India" tampak tenggelam dalam kehebohan krisis politik tadi. Namun di Gujarat sendiri, para tokoh partai Janata yang kebetulan berkuasa di negara-bagian itu saling menuduh adanya korupsi tingkat atas dalam proyek bendungan itu. Disinyalir pembangunan dan penanganannya tak beres. Pokoknya Walikota Morvi, Rathibai Desai, pada pagi hari yang naas itu pergi ke bendungan Machu. Ia menjumpai insinyur kepala di sana sedang bingung. Sedikitnya 3 dari 18 saluran pembuangan air tak dapat dibuka. Maka air yang meluap akibat hujan terus-menerus tak dapat disalurkan sebagaimana mustinya. Desai kemudian menghubungi polisi melalui telepon. Ternyata saluran telepon pun macet. Juga saluran telegram tidak bekerja. Peralatan sirene yang biasanya pada kipas angin di plafon kamar. Bekas PM India, Ny. Indira Gandhi, kemudian memerlukan datang meninjau Morvi. Ia mengelilingi bekas kota itu sambil menutup hidungnya dengan sapu tangan. Kesimpulannya, seperti diberitakan pers, ialah semustinya banyak korban bisa dihindari jika para pcjabat dan petugas memberi peringatan dan petunjuk pada penduduk pada waktunya. Koran Indian Express memberi contoh tentang betapa kelengahan para pejabat. Umpamanya seorang guru sekolah dari Morvi berjalan kaki sejauh 65 km untuk menyampaikan laporan pertama ke Rajkot, ibukota distrik, di mana ternyata para pejabat tidak memperdulikan. Lama kemudian baru dikirim sepasukan polisi. Tapi itu pun tidak dilengkapi dengan alat bantuan dan komunikasi, tulis Indian Express. Kejadian itu kemudian diakui terburuk dalam sejarah bendungan dunia. Sebelum di Morvi, bencana dengan jumlah korban terbesar terjadi abad lalu di Johnstown, Pennsylvania (AS). Yaitu bendungan di South Fork Reservoir jebol dalam tahun 1889 yang menelan korban hampir 2500 orang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus