Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nusa

Mengapa Muhadi mengadu ke DPRD?

Muhadi, 26, penjual bakso, mengadu ke dprd klaten karena dikeroyok & dipukuli oleh lurahnya sendiri karena masalah tanah istrinya. laporannya ke kantor polisi tidak ditanggapi.(ds)

8 September 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MUHADI (26 tahun) hanya penjual bakso. Kadang-kadang juga rujak. Ia lulusan SMP Negeri Klaten. Seharihari ia berdagang di sekitar kampus IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Langganannya kebanyakan mahasiswa. Dan selama jam-jam tugasnya kebanyakan juga ia habiskan untuk mendengar diskusi di antara para mahasiswa tadi. Tentang berbagai hal: mulai soal politik, negara, hukum bahkan juga cinta. Walaupun ia hanya bertindak sebagai pendengar, rupanya di antara perbincangan itu ada juga yang tersirat di hatinya. Karena itu ketika awal bulan lalu ia mengalami musibah, rasa keadilan dengan segera mengganggu Muhadi. Ia telah dipukuli dengan sewenang-wenang. Maka ia segera mengadu. Tapi tidak ke polisi. Ia bersama isterinya langsung mengungkapkan kejadian itu kepada Ketua DPRD Klaten. Dan mendapat tanggapan sewajarnya. Sebagaimana biasa dilakukannya setiap minggu, 7 Agustus itu, Muhadi menjenguk keluarganya di Desa Cucukan, Kelurahan Wonoboyo, Kecamatan Jogonalan Klaten Jawa Tengah. Di sini selalu menunggu dengan setia Daliyem, isterinya, eorang anak mereka yang masih kecil dan ibunya. Sore harinya ia hendak mengunjungi rumah pamannya, di Desa Talun, Kelurahan Prawatan. Tapi di tengah jalan ia dicegat Tukijo, warga Desa Talun. Orang ini serta merta menanyakan di mana Daliyem, isteri Muhadi. Si penjual bakso tentu menjawab apa adanya, di rumah. Tapi Tukijo tak percaya, meskipun Muhadi selalu memberi jawaban serupa. Barangkali karena tetap.tak percaya dan merasa dipermainkan Tukijo naik pitam. Ia segera memanggil sanak kerabatnya. Mereka beramai-ramai mengeroyok Muhadi. Orang ini tak melawan dan mencoba menanyakan duduk soal lebih lanjut. Tapi si pengeroyok terus saja menyiksanya. Bahkan kemudian mereka menyeretnya ke rumah Lurah Prawatan, beberapa ratus meter dari tempat kejadian semula. Di sini pengeroyokan dilanjutkan. Bahkan, "pak lurah Soeharto langsung memimpin pengeroyokan itu," ungkap Muhadi kepada TEMPO di rumahnya, "dan seingat saya pak lurah paling banyak memukul." Muhadi si penjual rujak dan bakso ingat benar pengeroyokan terhadap dirinya berlangsung dari jam 4 sore hingga pukul 8 malam. Tubuhnya babak belur. Dan sementara pukulan-pukulan menimpa dirinya, tuduhan terus dilemparkan bahwa ia menyembunyikan isterinya Daliyem. Ia tak ingat apakah dirinya sempat pingsan. Tapi ketika ia merasa mampu berdiri, ia mendengar lurah membentak: "Sekarang pulang, cari isterimu." Sebelum Muhadi meninggalkan rumah lurah, ia sempat melihat 8 orang penyiksanya Lurah Prau atan Soeharto, Arjo Sidul, Santareja, Adisurip, Prapto, Sarijan, Lamino Bagong dan Tukijo. Semua warga Desa Talun, kecuali Prapto dari Desa Ngemplak. Naik Pitam Dengan luka-luka dan berjalan sempoyongan, Iluhadi sampai juga di rumahnya sejauh 6 km dari tempat kejadian. Ia tak berniat mengobati luka-lukanya, karena merasa tak punya uang cukup. Tapi keluarganya malam itu menyimpulkan: besok pagi-pagi harus mengadukan kejadian itu ke DPRD Kabupaten Klaten, di Kota Klaten. Dan benar juga. Besok paginya, Muhadi bersama isterinya Daliyem sambil menggendong anak mereka, sudah berada di kantor DPRD yang masih sepi. Tapi seorang staf lembaga itu segera menghubungi Ramelan Yitnowardoyo, Ketua DPRD Klaten. Sambil menunggu, Muhadi yang menahan sakit," kata lantai. Karena jika duduk di kursi, "terasa lebih sakit," katanya. Begitu sang ketua muncul, Muhadi segera mengungkapkan kisah. "Tapi saya segera memerintahkan staf untuk membawanya ke rumah sakit," kata Ramelan kepada TEMPO, "biaya semua ditanggung DPRD." Selama 6 hari Muhadi berada di RS Umum Klaten. Atas saran Ramelan, kemudian ia mengadukan kejadian ke pihak kepolisian. Muhadi mengungkapkan latar belakang kejadian itu seperti yang diceritakannya kepada Ramelan dan polisi. Begini. Sebelum kawin dengan Muhadi, Daliyem adalah warga Desa Talun. Begitu berkeluarga ia ikut suaminya di Desa Cucukan. Tapi di Talun Daliyem memiliki sebidang tanah seluas 700 meter. Tanah ini sudah beberapa tahun disewa Tukijo dengan harga "tak sampai Rp 20.000". Tapi belakangan Tukijo membuat semacam surat yang berisi seolaholah tanah itu telah dibelinya dari Daliyem dengan lunas. Berkali-kali Daliyem dipaksa untuk membubuhkan cap jempolnya. Tapi wanita ini menolak. Daliyem memang sering tak ada di desa: ke Yogya menyusul suaminya, atau kadan-kadang ke Semarang menengok TEMPO, 8 SEPTEMBER 1979 adik iparnya (adik Muhadi) yang bekerja sebagai buruh. Tukijo mengartikan ini sebagai tindakan untuk menghindar. Karena itu ketika bertemu Muhadi, Tukijo naik pitam. Tapi mengapa Muhadi mengadukan ikhwalnya ke DPRD dan tidak langsung ke pihak kepolisian? Begini pula kisahnya. Ia Kecewa Januari lalu, Soeharto, Lurah Prawatan, juga telah memukul Muhadi. "Sampai anak yang saya gendong ini terpelanting," tutur Muhadi. Ia buru-buru mengadukan pemukulan itu ke kantor polisi terdekat. Tapi kepolisian tak memberi tanggapan sebagaimana mustinya. Muhadi kecewa. Karena itu ketika mendengar celah-celah pembicaraan para mahasiswa langganannya, ia menganggap lembaga DPRD dapat menampung berbagai keluhan. Ke sanalah ia mengadu. Adapun soal pemukulan oleh Lurah Soeharto juga berpangkal pada soal tanah. Juga tanah milik isterinya di Desa Talun yang diterimanya sebagai warisan. Suatu hari Muhadi mengurus sertifikat tanah itu ke kantor kelurahan. Kepada Lurah Soeharto ia menyerahkan uang Rp 170.000 untuk biaya surat itu. Tapi ketika sertifikat muncul, tanah sawah itu bukan atas nama isterinya. Tapi atas nama Tarno, seorang yang selama ini menyewanya. Dengan sctengah memaksa, Muhadi bersama isterinya mengambil-alih tanah itu. Lurah Soeharto turun tangan dan memukul Muhadi. Karena pihak kepolisian dianggap Muhadi mengabaikan pengaduannya, maka ia langsung ke Pengadilan Negeri Klaten. Sidang perkara itu cepat berlangsung. Tapi Daliyem dikalahkan. Wanita ini bersama suaminya tak putus asa. Mereka naik banding ke pengadilan tinggi. Dan sekarang mereka masih menunggu hasil banding itu. Peristiwa pengeroyokan itu sendiri sekarang sedang diusut pihak kepolisian. Ramelan sebagai ketua DPRD Klaten juga cepat-cepat melaporkannya kepada Bupati Klaten. Meskipun kesialan Muhadi terjadi awal Agustus, berita mengenai hal itu baru tersebar akhir bulan lalu. "Ya, karena wartawan jarang datang ke Klaten," kata Ramelan. Tapi tak lama setelah beberapa koran memuat kejadian itu, suasana di tempat kejadian maupun Klaten berubah. Lurah Soeharto tak dapat ditemui. Pejabat-pejabat desa lainnya mengelak memberi keterangan lebih lanjut mengenai kejadian itu. Begitu pula pejabat-pejabat kabupaten di Klaten. Lurah Soeharto adalah anggota ABRI yang dikaryakan. Dia berpangkat sersan mayor. Sejak menjelang Pemilu 1977 ia diangkat sebagai pejabat sementara Lurah Prawatan sampai sekarang. Beberapa penduduk desa itu mengeluh karena begitu lama tak juga dilakukan pemilihan lurah untuk desa ini. Apalagi karena Soeharto terkenal oleh kebiasaannya main pukul terhadap warga desa.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus