MUHADI (26 tahun) hanya penjual bakso. Kadang-kadang juga rujak.
Ia lulusan SMP Negeri Klaten. Seharihari ia berdagang di sekitar
kampus IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Langganannya kebanyakan
mahasiswa. Dan selama jam-jam tugasnya kebanyakan juga ia
habiskan untuk mendengar diskusi di antara para mahasiswa tadi.
Tentang berbagai hal: mulai soal politik, negara, hukum bahkan
juga cinta. Walaupun ia hanya bertindak sebagai pendengar,
rupanya di antara perbincangan itu ada juga yang tersirat di
hatinya.
Karena itu ketika awal bulan lalu ia mengalami musibah, rasa
keadilan dengan segera mengganggu Muhadi. Ia telah dipukuli
dengan sewenang-wenang. Maka ia segera mengadu. Tapi tidak ke
polisi. Ia bersama isterinya langsung mengungkapkan kejadian itu
kepada Ketua DPRD Klaten. Dan mendapat tanggapan sewajarnya.
Sebagaimana biasa dilakukannya setiap minggu, 7 Agustus itu,
Muhadi menjenguk keluarganya di Desa Cucukan, Kelurahan
Wonoboyo, Kecamatan Jogonalan Klaten Jawa Tengah.
Di sini selalu menunggu dengan setia Daliyem, isterinya, eorang
anak mereka yang masih kecil dan ibunya. Sore harinya ia hendak
mengunjungi rumah pamannya, di Desa Talun, Kelurahan Prawatan.
Tapi di tengah jalan ia dicegat Tukijo, warga Desa Talun. Orang
ini serta merta menanyakan di mana Daliyem, isteri Muhadi. Si
penjual bakso tentu menjawab apa adanya, di rumah. Tapi Tukijo
tak percaya, meskipun Muhadi selalu memberi jawaban serupa.
Barangkali karena tetap.tak percaya dan merasa dipermainkan
Tukijo naik pitam. Ia segera memanggil sanak kerabatnya. Mereka
beramai-ramai mengeroyok Muhadi. Orang ini tak melawan dan
mencoba menanyakan duduk soal lebih lanjut. Tapi si pengeroyok
terus saja menyiksanya. Bahkan kemudian mereka menyeretnya ke
rumah Lurah Prawatan, beberapa ratus meter dari tempat kejadian
semula. Di sini pengeroyokan dilanjutkan. Bahkan, "pak lurah
Soeharto langsung memimpin pengeroyokan itu," ungkap Muhadi
kepada TEMPO di rumahnya, "dan seingat saya pak lurah paling
banyak memukul."
Muhadi si penjual rujak dan bakso ingat benar pengeroyokan
terhadap dirinya berlangsung dari jam 4 sore hingga pukul 8
malam. Tubuhnya babak belur. Dan sementara pukulan-pukulan
menimpa dirinya, tuduhan terus dilemparkan bahwa ia
menyembunyikan isterinya Daliyem. Ia tak ingat apakah dirinya
sempat pingsan. Tapi ketika ia merasa mampu berdiri, ia
mendengar lurah membentak: "Sekarang pulang, cari isterimu."
Sebelum Muhadi meninggalkan rumah lurah, ia sempat melihat 8
orang penyiksanya Lurah Prau atan Soeharto, Arjo Sidul,
Santareja, Adisurip, Prapto, Sarijan, Lamino Bagong dan Tukijo.
Semua warga Desa Talun, kecuali Prapto dari Desa Ngemplak.
Naik Pitam
Dengan luka-luka dan berjalan sempoyongan, Iluhadi sampai juga
di rumahnya sejauh 6 km dari tempat kejadian. Ia tak berniat
mengobati luka-lukanya, karena merasa tak punya uang cukup. Tapi
keluarganya malam itu menyimpulkan: besok pagi-pagi harus
mengadukan kejadian itu ke DPRD Kabupaten Klaten, di Kota
Klaten. Dan benar juga. Besok paginya, Muhadi bersama isterinya
Daliyem sambil menggendong anak mereka, sudah berada di kantor
DPRD yang masih sepi. Tapi seorang staf lembaga itu segera
menghubungi Ramelan Yitnowardoyo, Ketua DPRD Klaten. Sambil
menunggu, Muhadi yang menahan sakit," kata lantai. Karena
jika duduk di kursi, "terasa lebih sakit," katanya. Begitu sang
ketua muncul, Muhadi segera mengungkapkan kisah. "Tapi saya
segera memerintahkan staf untuk membawanya ke rumah sakit," kata
Ramelan kepada TEMPO, "biaya semua ditanggung DPRD."
Selama 6 hari Muhadi berada di RS Umum Klaten. Atas saran
Ramelan, kemudian ia mengadukan kejadian ke pihak kepolisian.
Muhadi mengungkapkan latar belakang kejadian itu seperti yang
diceritakannya kepada Ramelan dan polisi. Begini.
Sebelum kawin dengan Muhadi, Daliyem adalah warga Desa Talun.
Begitu berkeluarga ia ikut suaminya di Desa Cucukan. Tapi di
Talun Daliyem memiliki sebidang tanah seluas 700 meter. Tanah
ini sudah beberapa tahun disewa Tukijo dengan harga "tak sampai
Rp 20.000". Tapi belakangan Tukijo membuat semacam surat yang
berisi seolaholah tanah itu telah dibelinya dari Daliyem dengan
lunas. Berkali-kali Daliyem dipaksa untuk membubuhkan cap
jempolnya. Tapi wanita ini menolak. Daliyem memang sering tak
ada di desa: ke Yogya menyusul suaminya, atau kadan-kadang ke
Semarang menengok TEMPO, 8 SEPTEMBER 1979 adik iparnya (adik
Muhadi) yang bekerja sebagai buruh. Tukijo mengartikan ini
sebagai tindakan untuk menghindar. Karena itu ketika bertemu
Muhadi, Tukijo naik pitam.
Tapi mengapa Muhadi mengadukan ikhwalnya ke DPRD dan tidak
langsung ke pihak kepolisian? Begini pula kisahnya.
Ia Kecewa
Januari lalu, Soeharto, Lurah Prawatan, juga telah memukul
Muhadi. "Sampai anak yang saya gendong ini terpelanting," tutur
Muhadi. Ia buru-buru mengadukan pemukulan itu ke kantor polisi
terdekat. Tapi kepolisian tak memberi tanggapan sebagaimana
mustinya. Muhadi kecewa. Karena itu ketika mendengar celah-celah
pembicaraan para mahasiswa langganannya, ia menganggap lembaga
DPRD dapat menampung berbagai keluhan. Ke sanalah ia mengadu.
Adapun soal pemukulan oleh Lurah Soeharto juga berpangkal pada
soal tanah. Juga tanah milik isterinya di Desa Talun yang
diterimanya sebagai warisan. Suatu hari Muhadi mengurus
sertifikat tanah itu ke kantor kelurahan. Kepada Lurah Soeharto
ia menyerahkan uang Rp 170.000 untuk biaya surat itu. Tapi
ketika sertifikat muncul, tanah sawah itu bukan atas nama
isterinya. Tapi atas nama Tarno, seorang yang selama ini
menyewanya. Dengan sctengah memaksa, Muhadi bersama isterinya
mengambil-alih tanah itu. Lurah Soeharto turun tangan dan
memukul Muhadi.
Karena pihak kepolisian dianggap Muhadi mengabaikan
pengaduannya, maka ia langsung ke Pengadilan Negeri Klaten.
Sidang perkara itu cepat berlangsung. Tapi Daliyem dikalahkan.
Wanita ini bersama suaminya tak putus asa. Mereka naik banding
ke pengadilan tinggi. Dan sekarang mereka masih menunggu hasil
banding itu.
Peristiwa pengeroyokan itu sendiri sekarang sedang diusut pihak
kepolisian. Ramelan sebagai ketua DPRD Klaten juga cepat-cepat
melaporkannya kepada Bupati Klaten. Meskipun kesialan Muhadi
terjadi awal Agustus, berita mengenai hal itu baru tersebar
akhir bulan lalu. "Ya, karena wartawan jarang datang ke Klaten,"
kata Ramelan. Tapi tak lama setelah beberapa koran memuat
kejadian itu, suasana di tempat kejadian maupun Klaten berubah.
Lurah Soeharto tak dapat ditemui. Pejabat-pejabat desa lainnya
mengelak memberi keterangan lebih lanjut mengenai kejadian itu.
Begitu pula pejabat-pejabat kabupaten di Klaten.
Lurah Soeharto adalah anggota ABRI yang dikaryakan. Dia
berpangkat sersan mayor. Sejak menjelang Pemilu 1977 ia diangkat
sebagai pejabat sementara Lurah Prawatan sampai sekarang.
Beberapa penduduk desa itu mengeluh karena begitu lama tak juga
dilakukan pemilihan lurah untuk desa ini. Apalagi karena
Soeharto terkenal oleh kebiasaannya main pukul terhadap warga
desa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini