Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BAGI Hendrikus Woro, tak ada yang lebih penting sekarang ini selain mempertahankan tanah ulayat suku Awyu. Pada Senin, 27 Mei 2024, dua anaknya mulai demam tinggi. Tapi Hendrikus tetap pergi ke Jakarta, berdiri bersama rombongannya di depan gedung Mahkamah Agung untuk menyuarakan penolakan terhadap ekspansi perkebunan sawit yang mengancam hutan di Papua.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Saya hanya berpikir, ketika hutan habis digusur, mereka hidup seperti apa nanti?” kata Hendrikus menjawab pertanyaan apakah ia tidak waswas atas kondisi dua anaknya yang terserang malaria.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hendrikus adalah ketua marga Woro, yang memimpin perjuangan suku Awyu, masyarakat adat di Kabupaten Boven Digoel, Papua Selatan. Agoeng Wijaya dan Irsyan Hasyim dari Tempo berbincang dengan Hendrikus melalui sambungan telepon, Kamis malam, 6 Juni lalu.
Perjuangan suku Awyu menolak izin usaha perkebunan sawit, yang berderet menduduki wilayah adat mereka di antara Sungai Mappi dan Sungai Digul, menarik perhatian publik. Slogan “All Eyes on Papua”, yang Kamis lalu telah dibagikan sebanyak lebih dari tiga juta kali di media sosial, merujuk pada perlawanan mereka.
Franky—begitu Hendrikus biasa dipanggil—tidak punya media sosial. Dia baru tahu konten viral "All Eyes on Papua" beberapa hari terakhir melalui YouTube. Telepon selulernya, yang sejak akhir tahun lalu rusak, baru saja "sembuh"—karena ini pula, wawancara yang semula direncanakan melalui panggilan video batal.
Dari balik telepon, Hendrikus hanya bisa mengucapkan terima kasih atas dukungan publik terhadap suku Awyu melalui gerakan solidaritas "All Eyes on Papua". Tapi dia lebih berharap pemerintahlah yang menjalankan kewajibannya. "Mendengarkan kami, anak ayam yang selama ini seperti kehilangan induknya," ujarnya.
Aksi masyarakat Adat Suku Awyu Hendrikus Frangky Woro (tengah) menyerukan penyelamatan Hutan Adat Papua di Gedung Mahkamah Agung, Jakarta Pusat, 27 Mei 2024. TEMPO/Martin Yogi Pardamean
Aksi damai di Jakarta pada akhir Mei lalu memang bukan upaya perlawanan pertama Hendrikus dan suku Awyu terhadap pemberian izin perkebunan sawit di wilayah adat mereka. Tahun ini tepat satu dekade mereka berjuang melalui Komunitas Paralegal Cinta Tanah Adat.
Hendrikus, yang menginisiasi komunitas di sejumlah kampung tersebut, tak bisa lagi menghitung berapa kali dia bolak-balik ke Tanah Merah untuk mengetuk pintu kantor pemerintah daerah. Pria 40 tahun itu tinggal di Kampung Yare, Distrik Fofi. Perlu satu malam berjalan kaki ke arah timur dari rumahnya untuk sampai ke ibu kota Boven Digoel.
Dua tahun terakhir, perlawanan suku Awyu “naik kelas”, sampai ke Jayapura hingga Jakarta. Hendrikus menggugat keputusan pemerintah menerbitkan izin kelayakan lingkungan kepada PT Indo Asiana Lestari, satu dari tujuh perusahaan yang mencaplok wilayah adat suku Awyu, ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Untuk sementara, gugatan itu mental di pengadilan tingkat pertama dan kedua. Mahkamah Agung, yang menangani perkara ini di tingkat kasasi, kini menjadi harapan terakhir mereka.
Selama dua jam percakapan telepon, Kamis malam lalu, dia menjelaskan awal perjuangan suku Awyu dan mengapa pemerintah seharusnya mendengarkan mereka.
Sebenarnya ada berapa konsesi perkebunan sawit yang menduduki tanah ulayat suku Awyu?
Awalnya Menara Group, ada tujuh perusahaan di dalamnya. Tanpa sepengetahuan kami, izin itu keluar. Tapi nanti izin itu tidak berjalan, lalu beberapa berganti perusahaan. PT Indo Asiana Lestari menggantikan salah satu perusahaan.
Konsesi PT Indo Asiana Lestari luasnya 36.094 hektare, lebih dari separuh Jakarta. Lalu berapa total luas izin tujuh perusahaan di wilayah suku Awyu itu?
Dari peta area perusahaan yang akan mengelola tanah ulayat seluruh keluarga besar kami, khususnya di antara Sungai Mappi dan Sungai Digul, itu jumlah semuanya lebih dari 260 ribu hektare.
Jadi di pengadilan suku Awyu hanya berurusan dengan PT Indo Asiana Lestari?
Kami juga mengajukan sebagai pihak tergugat intervensi di gugatan PT Megakarya Jaya Raya dan PT Kartika Cipta Pratama. Mereka menggugat Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Kami dengar soal gugatan itu, sehingga kami sebagai perangkat dan pemilik hak ulayah tanah adat berpikir, kami harus masuk sebagai tergugat intervensi untuk mendukung KLHK.
Catatan Redaksi:
Pada Maret 2023, PT Megakarya Jaya Raya dan PT Kartika Cipta Pratama menggugat ke PTUN Jakarta atas kebijakan KLHK mengevaluasi pelepasan kawasan hutan sekaligus menertibkan izin perkebunan di Boven Digoel. Bagi kedua perseroan, kebijakan itu merugikan mereka sebagai pemegang konsesi. Namun, bagi suku Awyu, penertiban izin untuk sementara menyelamatkan hutan seluas 68 ribu hektare—setara dengan luas DKI Jakarta—di wilayah adat mereka yang selama ini dikuasai perusahaan.
PTUN Jakarta mulanya menolak gugatan PT MJR dan PT KCP. Namun belakangan Pengadilan Tinggi TUN Jakarta mengabulkan upaya banding perseroan. Hendrikus dan suku Awyu mengajukan sebagai pihak tergugat intervensi dalam proses kasasi yang tengah ditangani MA.
Sejak kapan Anda menyuarakan penolakan atas kehadiran perusahaan-perusahaan itu?
Sekitar 2013, ketika perusahaan mulai masuk di kampung lain. Dalam sosialisasi awal perusahaan saat itu, saya pernah sampaikan kepada mereka bahwa saya punya (tanah), saya tidak akan kasih izin. Pada saat itu mereka sampaikan kepada saya, “Bapak punya marga, kami akan kasih lewat. Kami tidak akan ambil Bapak punya dusun.” Tapi, ketika izin keluar, saya punya tanah masuk ke dalam area perusahaan.
Kapan Anda mengetahuinya?
2017. Saat itu mereka (perusahaan) survei. Tapi saya baku bertengkar dengan mereka dan suruh mereka pulang.
Jadi marga Woro itu seperti apa dalam struktur suku Awyu?
Untuk struktur adat, yang pertama mulai dari suku, turun ke rumpun wilayah. Dari rumpun wilayah itu turun klan. Dari klan ke marga. Nanti dari marga ke sub-marga. Woro itu marga dari klan Kofih.
Masyarakat Adat Suku Awyu Hendrikus Frangky Woro (ketiga kiri) bersama sejumlah aktivis dari Greenpeace dan Suara Pusaka membentangkan spanduk dan poster usai mengikuti sidang kasus pencabutan izin kawasan hutan di Pengadilan Tinggi Usaha Negara (PTUN), Jakarta, 11 Juli 2023. ANTARA/Muhammad Adimaja
Apakah hanya marga Woro yang menolak tanah ulayat mereka diambil perusahaan?
Ada banyak marga lain yang menolak. Hanya sedikit orang yang menerima.
Di wilayah lain, konflik lahan dengan perusahaan biasanya akan menyebabkan konflik antarwarga...
Benar. Jadi, ada pihak tertentu yang dipakai oleh perusahaan, mengatasnamakan marga-marga lain. Di situ dulu kami satu keluarga hidup aman dan damai. Tapi kehadiran perusahaan itu memecah belah kami.
Seberapa jauh lokasi area PT Indo Asiana Lestari dari kampung Anda?
Dari tempat saya itu ada sekitar 1 kilometer.
Apakah mereka sudah membuka lahan dan menanam sawit di Yare?
Untuk sementara mereka belum buka lahan. Tapi mereka (perusahaan lain) ada melakukan pembukaan lahan di Kampung Ampera. Tapi waktu itu kami melakukan pemalangan, sehingga mereka tidak melanjutkan aktivitas.
Yang mereka telah tanam itu di Kampung Anggai (Distrik Jair), sisi timur Yare, sekitar dua hari berjalan kaki ke sana. Sebelumnya juga sudah buka di sekitar Getentiri, Distrik Jair. Seputar itu sudah habis lahan. Itu dulu hutan, sekarang sawit berhektare-hektare. Dan sekarang ada konflik juga di sana. Nanti saya juga akan bantu karena mereka itu keluarga saya. Saya masih pantau informasinya karena baru dengar kemarin.
Anda bergerak melawan perusahaan, juga pemerintah yang memberikan izin kepada mereka. Sebenarnya siapa Anda sebelum ini?
Kalau saya sebenarnya tamat SD. Saya tinggal di kampung. Orang tua saya jadi Kepala Kampung Yare. Tapi, karena waktu itu bapak sedang sakit-sakitan, bapak suruh saya bantu isi formulir untuk pendataan KTP (berbasis) elektronik. Karena pada saat itu saya isi formulir tidak salah, dari Dinas Pencatatan Sipil itu minta saya bantu-bantu di kantor.
Lalu mengapa Anda mau menginisiasi gerakan menyelamatkan tanah ulayat suku Awyu?
Kami, di wilayah suku Awyu, sekolah saja tidak berjalan sampai hari ini. Banyak generasi kami yang tidak sekolah. Ketika dusun dan hutan itu digusur, pasti orang-orang yang bersekolah yang menduduki perkantoran. Lalu bagaimana dengan mereka yang tidak bersekolah? Sehingga saya berpikir-pikir, aduh, kami harus bergerak untuk menyelamatkan tanah ini.
Selain itu, bagi kami, haram melepas tanah ini. Kenapa? Manusia diciptakan dari tanah. Asal-usul leluhur yang diwariskan kepada tete dan nene, yang selanjutnya disampaikan kepada kami, bahwa kami semua berasal dari tanah. Jadi, tanah itu tidak boleh diperjualbelikan.
Tapi pemerintah bilang investasi itu justru bertujuan agar pembangunan ekonomi merata, termasuk di wilayah suku Awyu...
Ada beberapa pengalaman yang kami lihat. Seperti di lahan yang sudah dibuka untuk sawit di daerah lain tadi. Pemilik tanah ulayatnya sampai hari ini saja tidak ada rumah memadai. Air bersih pun tidak ada. Mereka tidak mendapat apa-apa. Padahal tanah ribuan hektare itu.
Artinya, kondisi masyarakat suku Awyu sebelum hadirnya izin perusahaan sudah cukup baik?
Kami dengan pendidikan yang terbatas beraktivitas setiap hari, hanya hidup berburu, mencari makan di alam. Walaupun kami tidak punya apa pun, kalau di alam, itu semua sudah tersedia. Mau ambil ikan gratis. Mau ambil babi juga gratis. Semua binatang sudah ada. Mau makanan pokok sagu juga sudah ada. Semua gratis, tidak dibeli pakai uang. Itu semua sudah cukup. Sebenarnya, kalau orang tua, tete, dan nenek moyang kami itu hidup bergantung pada uang, mereka mungkin sudah mati karena tidak ada uang. Tapi nyatanya mereka tetap bisa hidup sejak dunia dijadikan.
Uang untuk bergerak menyelamatkan hutan suku Awyu ini dari mana?
Sejak perusahaan masuk pada 2013, kami mulai mengambil langkah untuk memetakan wilayah antara marga satu dan marga lainnya. Kami jalan dengan swadaya murni. Saya mulai bangun komunitas pada 2014-2015 dengan nama Komunitas Gerakan Cinta Tanah Adat Awyu Bersatu. Kemudian kami ada tambah juga tim paralegal.
Kami sudah membentuk tim perwakilan di setiap kampung. Namun, karena tim yang kami bentuk tidak disertai dengan gaji dan upah, relawan saja, jadi ada yang aktif, ada juga yang tidak. Tidak apa-apa. Sekarang ada teman-teman yang juga membantu kami.
Poster digital All Eyes on Papua di salah satu media sosial. TEMPO/Ijar Karim
Apakah pemerintah sudah ada yang mengajak berbicara?
Pada 2020, tanggal 28 Agustus, saya pernah demo damai ke DPRD Boven Digoel untuk meminta mediasi persoalan ini. Tapi sampai saat ini belum ada respons. Saya juga pernah melakukan demo di kantor Bupati Boven Digoel, tapi sampai hari ini belum ada tanggapan.
Sebenarnya apa yang ingin Anda sampaikan kepada pemerintah?
Saya hanya mau bilang begini, pemerintah menciptakan undang-undang, terus pemerintah sendiri yang melanggar aturan itu. Contohnya itu di Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan. Pasal 12 itu jelas, bahwa dalam hal tanah yang diperuntukkan bagi perkebunan merupakan wilayah hukum adat, pelaku pembukaan harus musyawarah untuk mendapatkan persetujuan tentang penyerahan tanah. Namun yang kita lihat, itu tidak terjadi. Saya hanya minta itu dibenahi. Biar konflik tidak terjadi di mana-mana, sehingga kami bisa aman. Jadi, kami ini juga ingin membantu negara.
Banyak orang sekarang tahu perjuangan suku Awyu karena viralnya slogan “All Eyes on Papua”. Apa yang ada di pikiran Anda?
Saya hanya berpikir, kembali meminta kepada pemerintah sebagai orang tua kami agar melihat persoalan ini dengan baik, memutuskan dengan seadil-adilnya. Kami datang untuk memohon dan kami datang secara terhormat. Kami ini merasa seperti anak ayam kehilangan induk. Kami datang ke pemerintah sebagai induk, maka induk seharusnya memperhatikan anak-anaknya.
Sampai kapan Anda akan bertahan? Apakah tidak lelah tidak didengarkan?
Saya sudah bergerak sejak 2014. Saya tidak punya rasa capek karena ini buat anak-cucu saya. Kalau persoalannya selesai, mungkin saya baru berhenti. Saya tidak mau ketika nanti generasi saya melihat tanah sudah tidak ada, mereka memaki saya, “Bapak kenapa tidak berjuang demi saya dan saya harus hidup seperti ini?” Karena itu, kami akan tetap mempertahankan hutan adat kami.
Tadi Anda cerita anak masih demam tinggi. Anda tidak khawatir?
Sudah saya kasih obat-obatan dari alam. Persoalan seperti anak sakit dan lain-lain, makan dan minum, itu hal biasa. Saya hanya berpikir, ketika hutan habis digusur, mereka hidup seperti apa nanti?
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo