Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Lumpur Penambangan Nikel Mencemari Laut Obi

Lumpur penambangan dan pengolahan nikel mencemari laut di Kawasi, Pulau Obi, Maluku Utara. Limbah tailing dibuang ke laut.

5 Februari 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Keberadaan tambang nikel dan smelter mengimpit kehidupan nelayan.

  • Perairan di Kawasi diduga terkontaminasi logam berat dalam kadar sangat tinggi dan dikategorikan tercemar berat.

  • Masih dihinggapi persoalan rencana pembuangan limbah tailing bawah laut.

RAUT muka Samsudin, 48 tahun, tampak mengerut. Sesekali dia menghela napas sambil mengambili sampah plastik yang menempel di lambung perahunya yang ia tambatkan di pantai Kawasi, Kecamatan Obi, Kabupaten Halmahera Selatan, Maluku Utara. Nelayan Kawasi itu terpaksa membatalkan niatnya menjaring ikan meski telah seminggu libur melaut akibat gelombang tinggi. "Pencemaran air dan pesisir Kawasi terjadi sejak ada pertambangan nikel. Kami cuma bisa sabar," kata Samsudin, 28 November 2021.

Tak hanya kotor oleh sampah, air laut yang dulu bening pun telah berubah menjadi keruh, berwarna cokelat kehitaman. Samsudin, yang melaut sejak berusia belasan tahun, mengingat, berpuluh tahun sebelumnya, ketika tanah Kawasi belum dikeduk tambang, laut yang membentang di hadapannya selalu jernih. Ia tak pernah melaut jauh untuk memanen ikan-ikan karang. Sekarang situasi berubah menjadi kutukan bagi mereka yang masih berprofesi nelayan.

Lumpur itu sangat mematikan bagi terumbu karang yang menjadi rumah ikan. Sanusi, nelayan lain yang merasakan dampak tambang nikel yang mengepung Kawasi, mengatakan sebelum ada pertambangan mereka bisa menjaring 30-50 kilogram ikan karang seperti kakap merah dan bubara sekali melaut. "Kawasi ini daerah tangkapan ikan pelagis juga," tuturnya. Pelagis adalah kelompok ikan yang hidup dekat permukaan laut, seperti tuna, cakalang, dan tenggiri.

Nelayan juga kerap menangkap teripang atau timun laut. Teripang-teripang itu bermukim di terumbu karang yang masih hidup sehat beberapa tahun lalu. "Tapi sekarang ikan-ikan karang, ikan pelagis, dan teripang sudah tidak ada lagi," ujarnya. Bahkan gugusan terumbu karang yang tersebar di banyak titik pun sudah tak tampak, berganti dengan endapan lumpur yang menurut Sanusi terus bertambah tebal.

Berdasarkan amatan Tempo yang berkunjung ke Kawasi, lumpur itu datang dari aktivitas penambangan yang ada di semua penjuru Kawasi. Tambang-tambang nikel yang berlokasi di sebelah timur Kawasi adalah tambang terbuka. Bukit-bukit berhutan yang berada sekitar 3 kilometer dari Kawasi dikupas menggunakan alat berat. Berton-ton tanah yang masih mengandung bijih nikel tersebut lalu ditimbun di suatu tempat. Saat musim hujan tiba, timbunan tanah itu meluber terkena air menjadi lumpur yang mengalir ke anak-anak sungai.

Sedimentasi lumpur juga dapat dilihat di kawasan bakau yang dekat dengan kampung nelayan Kawasi. Endapan lumpur bisa ditemukan pula di area air terjun yang berada 500 meter sebelah timur laut Kawasi. Air terjun itu menjadi sumber air untuk memenuhi kebutuhan masyarakat Kawasi sehari-hari.

Lumpur tambang tak hanya merusak terumbu karang. Kandungan unsur logam berat lumpur juga menggerogoti tubuh dan organ biota laut. Penelitian Pusat Kajian Akuakultur Universitas Khairun, Ternate, yang bertajuk “Status Kualitas Air dan Kesehatan Biota Laut di Perairan Pulau Obi, Kabupaten Halmahera Selatan, Maluku Utara” pada 2019 menemukan setidaknya 12 spesies ikan dan kerang terpapar logam berat.

Menurut Muhammad Aris, kepala pusat kajian itu, konsentrasi unsur logam berat di perairan Desa Kawasi hingga Desa Soligi di Kecamatan Obi Selatan yang terletak di sebelah selatannya sudah melampaui baku mutu yang disyaratkan pemerintah. “Dalam penelitian terhadap sel ikan bahkan ditemukan sudah mengalami kerusakan. Kami menduga ini akibat tercemar logam berat,” kata Aris, yang juga pengajar Program Studi Budidaya Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Khairun, saat dihubungi pada Sabtu, 5 Februari lalu.

Lokasi pengelolahan limbah kering di wilayah PT Halmahera Persada Lygend salah satu anak perusahaan Harita, di Desa Kawasi, ecamatan Obi, Halmahera Selatan, Maluku Utara, 2 Februari 2022/Dok Pribadi



Setidaknya ada 12 spesies ikan dan kerang yang tercemar logam berat menurut kajian Aris. Biota laut itu kerap dikonsumsi warga desa, seperti kima (Tridacna), kerapu sunu (Plectropomus leopardus), kakap batu (Lutjanus griseus), kakap kalur (Lutjanus sp.), dan kakap merah (Lutjanus campechanus). Juga lencam (Lethrinidae), kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus), bulan-bulan (Megalops cyprinoides), tongkol (Euthynnus affinis), selar (Selaroides leptolepis), rejung (Sillago sihama), dan kuwe (Caranx ignobilis).

Aris mengirimkan sampel ikan untuk uji laboratorium di Institut Pertanian Bogor atau IPB University, Jawa Barat. Semua jenis ikan dibedah dan ditemukan kerusakan berat pada jaringan ikan serta flek hitam. Pada beberapa jenis ikan, Aris menjelaskan, didapati jaringan yang telah rusak karena kanker kronis atau nekrosis sehingga sulit diperiksa. “Saya berharap temuan ini bisa menjadi perhatian dan bahan bagi pemangku kebijakan. Ada persoalan (pencemaran air) yang serius di Obi,” ujarnya.


•••

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SELUAS 13.379 hektare atau 133,79 kilometer persegi, Desa Kawasi berhadapan langsung dengan Laut Maluku. Desa berpenduduk sekitar 1.082 jiwa itu bisa disebut “ibu kota” penambangan nikel di Pulau Obi—pulau terbesar di gugusan Kepulauan Obi. Di desa itu bercokol tujuh perusahaan tambang nikel. Tiga di antaranya adalah anak usaha Harita Group milik Lim Hariyanto Wijaya Sarwono.

Kehadiran penambang nikel bermula pada 2008, ketika Bupati Halmahera Selatan kala itu, Muhammad Kasuba, mengeluarkan izin kuasa pertambangan penyelidikan umum untuk bahan galian nikel. Izin untuk lahan seluas 7.462 hektare itu dikeluarkan bagi anak usaha Harita Group, PT Trimegah Bangun Persada. Setelah itu, Harita memasukkan dua anak perusahaan lain: PT Halmahera Persada Lygend dan PT Gane Permai Sentosa. Kawasi kian riuh oleh kehadiran perusahaan tambang nikel lain.

Smelter terbesar dikelola oleh Harita Group dengan menggandeng badan usaha milik negara Cina, Xinxing Ductile Iron Pipes Co Ltd. Pabrik pengolahan bijih nikel yang dijalankan PT Halmahera Persada Lygend ini menggunakan teknologi high pressure acid leaching yang diklaim memiliki kapasitas produksi mixed hydroxide precipitate (MHP) sebesar 365 ribu ton per tahun. MHP adalah produk turunan dari bijih nikel, dengan kandungan nikel 34-55 persen dan 1-4,5 persen kobalt, yang menjadi bahan baku baterai kendaraan listrik.

•••

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BELUM selesai persoalan sedimentasi lumpur tambang, warga Kawasi masih harus berhadapan dengan rencana pembuangan limbah ke laut atau deep sea tailing placement. Persoalan ini bermula saat Gubernur Maluku Utara Abdul Gani Kasuba mengeluarkan surat persetujuan izin lokasi perairan untuk pembuangan limbah yang diberikan kepada PT Trimegah Bangun Persada pada 2 Juli 2019.

Belakangan, izin itu diketahui bertentangan dengan Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2018 tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Provinsi Maluku Utara. Dalam peraturan daerah itu tidak dikenal zona pembuangan limbah. Sebaliknya, perairan di Kepulauan Obi dimasukkan ke zona perikanan tangkap.

Fahrudin Tokoboya, Kepala Dinas Lingkungan Hidup Maluku Utara, mengatakan pemerintah daerah baru menyetujui izin lokasi penempatan tailing laut untuk PT Trimegah Bangun Persada. Namun, menurut dia, hingga saat ini perusahaan masih menampung limbahnya di darat. "Kami belum menerima rencana pembuangan limbah ke laut. Setahu saya belum ada izinnya," kata Fahrudin.

Adapun Kepala Badan Perencanaan Pembangunan dan Penelitian Pengembangan Daerah Halmahera Selatan Muhammad Thamrin menjelaskan, Kawasi akan menjadi kawasan untuk kepentingan industri, termasuk sebagai area pengolahan limbah nikel. "Secara spesifik saya tidak tahu persis, tapi kami sudah membahas penataan kawasan," tuturnya.

Keberadaan pipa tailing yang berpangkal dari PT Trimegah Bangun Persada dan berujung di laut itu membuat ruang tangkap nelayan makin sempit. Nelayan dilarang memasuki area tempat pipa ditanam. Ahmad, nelayan Kawasi yang Tempo temui saat menelusuri keberadaan pipa itu, mengatakan jalur pipa berada 300 meter arah timur perkampungan. Pipa berwarna hitam itu bisa dilihat di bibir pantai.

Menurut Nurhayati, salah satu tokoh perempuan Kawasi, perusahaan tidak berkoordinasi dengan masyarakat dalam pembangunan pipa tailing. “Masyarakat mendengar pipa itu untuk pembuangan limbah, tapi kami tidak pernah diajak bicara,” ucapnya.

Direktur Eksekutif Daerah Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Maluku Utara Ahmad Rusyadi Rasjid menyebut rencana membuang limbah pengolahan nikel ke laut sebagai bentuk pengabaian hak kenyamanan dan kesehatan masyarakat. Rencana ini bahkan cenderung mengabaikan prinsip keseimbangan ekologi. “Walhi tegas menolak rencana membuang limbah ke laut,” ujarnya.

PT Trimegah Bangun Persada melalui Corporate Communications Manager Anie Rahmi menyebutkan tidak ada sisa produksi yang dibuang ke laut. Ia mengatakan perusahaannya selalu mengolah dan memanfaatkan kembali limbah industri. Ia mencontohkan abu pembakaran batu bara di pembangkit listrik tenaga uap dijadikan bahan bangunan pengeras jalan dan pengisi lubang bekas tambang.

Adapun perairan Kawasi yang berwarna keruh disebut tidak disebabkan oleh pencemaran air. Anie membantah kondisi itu adalah akibat kegiatan perusahaannya. Menurut dia, kondisi itu lazim terjadi di daerah muara yang tanahnya berwarna merah. “Seperti di Jakarta atau utara Pulau Jawa, setiap kali musim hujan perairan akan berwarna keruh karena membawa air limpasan yang mengandung tanah merah dari daratan,” katanya.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Budhy Nurgianto berkontribusi dalam penulisan artikel ini. Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judu "Kawasi Terjebak Lumpur Nikel". Liputan ini bagian seri deforestasi yang didukung Rainforest Investigations Network Pulitzer Center

Dini Pramita

Dini Pramita

Dini Pramita saat ini adalah reporter investigasi. Fokus pada isu sosial, kemanusiaan, dan lingkungan.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus