Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Kelalaian di sungai padang

Air pdam di tebingtinggi belakangan ini tercemar limbah pabrik kertas. teguran dari pemerintah setempat dan tim prokasih tidak digubris.

12 Juni 1993 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KRISIS air bersih melanda Kota Madya Tebingtinggi, Sumatera Utara. Bagi penduduknya, air bersih tiba-tiba menjadi barang langka. Dan juga mahal. Puncak krisis terjadi akhir Mei lalu, ketika warga Tebingtinggi sama sekali tak mendapat pasokan air ledeng selama dua hari. Air bersih dari Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Tirta Bulian tiba-tiba kering. Tak ada air setetes pun. Penduduk kalang-kabut. Rumah-rumah yang mempunyai sumur, termasuk pancuran milik PDAM, segera diserbu. Yang tak mau repot menimba air terpaksa membeli air bersih, yang harganya kontan meroket. ''Wah, gawatlah. Harga air sampai Rp 400 sejeriken,'' ujar Alwi, pemilik toko di kawasan Jalan Jenderal Sudirman. Katanya, satu jeriken air ukuran 20 liter biasanya cuma Rp 150, dan lagi diantarkan langsung ke rumah. Kini mahal dan jadi rebutan. Tak heran bila penduduk menyemprotkan caci maki ke alamat PDAM. Direktur PDAM, Nelson Parapat, pun merasa geram. Bukan karena warga kota tak henti-hentinya menelepon, tapi kesal terhadap pemilik pabrik kertas PT Martua Donny (MD). Pabrik ini dituduh sembarangan membuang limbahnya hingga mencemari Sungai Kelembah, yang mengalir ke Sungai Padang. Dan Sungai Padang adalah sumber air bagi PDAM. Tanda-tanda pencemaran terlihat oleh petugas PDAM Tirta Bulian, Rabu pekan lalu. Waktu itu, air Sungai Padang berubah warna menjadi hitam pekat. Meski dicoba dijernihkan berkali-kali, bahkan dengan melipatgandakan bahan penjernih, air tetap saja kotor. Langsung hari itu juga PDAM menyetop pemasokan air ke pelanggannya. ''Daripada konsumen menerima air yang tak layak minum,'' kata Nelson Parapat keesokan harinya, saat melapor ke Wali Kota. Kuat dugaan, pencemaran itu berasal dari MD, yang sudah berkali-kali ditegur Pemda karena tak memiliki unit pengendalian limbah (UPL). Februari lalu, untuk kesekian kalinya Wali Kota Tebingtinggi kembali mengingatkan. Dalam teguran itu dicantumkan juga hasil penelitian Tim Prokasih (Program Kali Bersih) Sumatera Utara, yang jelas menyebutkan bahwa MD termasuk salah satu pabrik yang mencemari Sungai Padang. Karakter limbah pabrik kertas itu memang jauh melampaui baku mutu yang ditetapkan. Keasaman limbah MD memang 9,95 berarti masih pada batas normal. Tapi angka BOD-nya 551 miligram/liter, di atas baku mutu yang 125 mg/liter. Begitupun COD (854 mg/liter) yang melampau batas 250 mg/liter. Selain itu, kadar padatan terlarut benar-benar terlalu tinggi. Menurut ketentuan, padatan terlarut yang boleh dibuang hanya 125 miligram per liter. Nyatanya, MD membuang limbah dengan padatan terlarut sebesar 3.522 miligram/liter. ''Dari penelitian itu, jelas limbahnya berbahaya. Ditambah lagi perusahaan itu tak punya UPL,'' kata Kepala Humas Tebingtinggi, Bambang Irianto. Anehnya, MD menolak tudingan, bahkan merasa tidak bersalah. ''Nol besar kami mencemari air PDAM. Mereka itu cuma mencari kambing hitam karena ketidakmampuan mereka mengolah air. Sejak dua tahun lalu, air PDAM juga sudah jorok dan tak layak minum,'' kata Demak Tobing, Direktur MD. Bahwa air minum PDAM tak jernih, ini pun sudah lama dikeluhkan penduduk. ''Airnya kalau pagi seperti air got,'' ujar penduduk. PDM bukan tutup mata atas jeleknya mutu air mereka. Tahun lalu PDAM telah merehabilitasi dan merombak instalasi pengolahan airnya. ''Bagaimana bisa membuat air yang baik jika bahan bakunya saja sudah tercemar,'' kata Nelson. Sementara itu, pihak pabrik yakin betul bahwa limbahnya tak sampai mengalir ke sungai. Limbah hasil pengolahan kertas berbahan baku bambu itu bentuknya seperti lumpur dialirkan ke sebidang tanah kosong bekas sawah seluas 4 hektare. ''Itu kan tidak masuk ke sungai. Bila ada yang masuk ke sungai, ya, paling-paling kalau hujan dan terbawa banjir,'' kata Demak. Dari pengamatan sepintas TEMPO, memang tak tampak limbah padat yang jatuh ke sungai. Celakanya, limbah itu menumpuk tak jauh dari sebuah sungai kecil yang airnya mengalir ke Sungai Kelembah juga. Pembuangan limbah sekali seminggu dengan debit satu ton per menit tentu saja tidak tanpa risiko. Meski dialirkan ke tanah kosong berjarak 150 meter dari Sungai Kelembah air yang meresap ke tanah tentu akhirnya akan mengalir ke sungai. Semua ini memang masih perlu dibuktikan. Untuk itu, Pemda setempat telah menurunkan tim khusus. Namun, masyarakat tampaknya masih harus diuji lagi kesabarannya. Sebab, sementara PDAM kesulitan mengolah air bersih, pihak pabrik pun masih menunda-nunda membuat UPL serta Semdal (Studi Evaluasi Dampak Lingkungan). Pabrik beraset Rp 3 miliar dan setiap minggu mengekspor kertas ke Taiwan senilai US$ 30.000 itu tampaknya masih merasa berat mengeluarkan biaya untuk membangun UPL dan membuat Semdal. Padahal, biaya Semdal hanya Rp 30 juta. ''Menurut peraturan, batas waktunya sampai Desember 1993. Jadi, saya baru salah jika sampai batas waktu itu belum membuat UPL dan Semdal,'' kilah Demak. Kalau itu alasannya, mungkin pikiran pengusaha tersebut harus ''dicuci'' dulu, barulah ia bisa mengerti kepentingan lingkungan dan masyarakat sekitarnya. G. Sugrahetty Dyan K. dan Mukhlizardi Mukhtar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus