DI hari-hari sekarang ini, para orang tua sedang sibuk mencarikan sekolah untuk anaknya yang baru lulus ujian sekolah lanjutan tingkat atas (SLTA). Perasaan harap-harap cemas tadi hilang ketika mereka tahu anaknya sudah diterima menjadi mahasiswa di sebuah perguruan tinggi. Tapi kecemasan orang tua tadi tidak selesai di situ. Setelah anaknya diterima pun bisa muncul kecemasan baru. Orang tua mana yang tidak risau, misalnya, ketika Rendi sebut saja demikian yang berusia 18 tahun itu, yang begitu dibanggakan keluarganya, setelah setahun kuliah di sebuah perguruan tinggi negeri di Yogyakarta, tiba-tiba perangainya berubah. Rendi, yang dulu dikenal periang dan banyak sahabat, kini senang menyendiri. Jika ia diajak berbicara, jawaban yang muncul tidak berhubungan dengan pertanyaan. Anak dari keluarga mampu ini seakan merasa tidak disukai teman- temannya dan merasa menjadi bahan pembicaraan mereka. Lebih gawat lagi, kecurigaannya terhadap lingkungannya makin lama makin menjadi-jadi. ''Ada orang yang sengaja merusak wajah saya sehingga kelihatan jelek,'' katanya. Tentu omongannya ini tidak benar, sebab memang tidak ada satu pun bekas goresan benda tajam di wajahnya. Apa yang dialami Rendi, dalam dunia kedokteran jiwa, disebut sebagai gangguan schizophrenia. Skizofrenia adalah gangguan psikotik berat. Biasanya si penderita akan mengalami autistik hidup di alamnya sendiri yakni muncul waham, pikiran aneh- aneh, perasaan bahwa dirinya berubah, halusinasi, depersonalisasi, ambivalensi sikap dan tingkah laku, serta bicara yang kacau. Rendi tidak sendiri. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Dokter Soewadi, psikiater dari Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 27% responden yang ditelitinya mengalami gangguan mental dari tingkat yang berat sampai yang ringan. Responden yang diteliti Soewadi adalah 829 mahasiswa tingkat pertama yang kuliah di perguruan tinggi favorit di Yogyakarta. Dalam penelitiannya yang selesai awal Juni ini, Soewadi menemukan 27% respondennya mengalami gejala gangguan mental, 2,5% mengalami gangguan skizofrenia, 2,5% gangguan depresi, 27,5% gangguan kecemasan, dan 67,5% belum menunjukkan gangguan mental. Penelitian ini menarik mengingat respondennya adalah mahasiswa tahun pertama. Lebih-lebih, dari angka yang didapat, jumlah responden yang mengalami gangguan skizofrenia, sebesar 2,5%, merupakan angka yang jauh di atas angka populasi umum yang berkisar antara 0,9% dan 1,8%. Angka yang didapat untuk penderita depresi (2,5%) relatif kecil dibandingkan dengan angka pada populasi umum sebesar 5%. Gangguan depresi muncul dengan gejala sedih terus-menerus, gerakan fisik lamban, dan bicara pelan. Penderita depresi berat bisa mendorong tindakan bunuh diri karena merasa tidak berguna lagi. Mengapa angka yang muncul kecil, menurut Soewadi, ini bisa dimengerti. ''Karena, mahasiswa tahun pertama biasanya mengalami mobilitas vertikal yang menimbulkan rasa bangga dan senang setelah berhasil masuk perguruan tinggi negeri favorit,'' katanya. Dengan sendirinya, suasana hati yang senang itu mengurangi tekanan kejiwaan, atau tekanan yang dialami menjadi tidak berarti. Yang menghawatirkan adalah angka pada gejala kecemasan. Angka 27,5% dari respondennya yang mengalami gejala gangguan mental ini cukup besar jika dibandingkan dengan angka pada populasi umum, yang hanya 520%. Apa penyebab semua ini? ''Gangguan mental pada mahasiswa tahun pertama itu terjadi karena mereka mengalami perubahan yang mengejutkan,'' kata Soewadi, yang juga konsultan Badan Penasihat Perkawinan, Perselisihan, dan Perceraian Kantor Wilayah Departemen Agama di Yogya. Misalnya perubahan pola belajar: di SLTA murid menerima bahan dari guru, sedangkan di perguruan tinggi mereka sering mencari sendiri bahan kuliahnya. Mahasiswa tadi juga mengalami kejutan dalam hubungan antara dosen dan mahasiswa, yang kurang akrab dibadingkan dengan antara murid dan guru. Sebagai mahasiswa, mereka juga dituntut berpikiran matang dan dewasa. ''Padahal, belum tentu demikian,'' kata Soewadi. Adanya perubahan yang menuntut penyesuaian tadi, jika penyesuaiannya tidak bisa dilakukan, akan menjadi stresor yang menimbulkan konflik batin, ketidakseimbangan jiwa, dan akhirnya muncul kecemasan. Yang juga menarik, penelitian ini juga mengungkapkan kenyataan bahwa mahasiswa yang diterima lewat Penelusuran Bibit Unggul Daerah (PBUD) lebih besar kemungkinan terkena gangguan mental (37%) dibandingkan dengan mahasiswa yang masuk lewat Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN), yang hanya 25%. Mahasiswa yang masuk lewat PBUD, yang awalnya dianggap sebagai orang pilihan, runtuh kebanggaannya ketika harus mengikuti kuliah tambahan matrikulasi yang artinya mereka merasa berbeda dengan mahasiswa lain: masih dianggap belum memenuhi syarat untuk masuk perguruan tinggi negeri. Karena itu, Soewadi menyarankan, terhadap calon mahasiswa sebaiknya tidak hanya dilakukan tes fisik, tapi juga perlu tes kesehatan jiwa. ''Agar mereka yang diketahui memiliki gejala gangguan jiwa tadi sejak dini bisa ditangani,'' katanya. Rustam F. Mandayun dan R. Fadjri (Yogyakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini