Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Kebijaksanaan stabilitas

Anggaran tidak perlu harus berimbang setiap tahun, tapi berimbang selama satu siklus bisnis, yaitu selama 3-4 tahun.

12 Juni 1993 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PENGERTIAN anggaran berimbang yang dipakai di Indonesia bukanlah pengertian yang lazim. Pinjaman luar negeri Pemerintah dengan syarat konsesional dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) kita anggap sebagai penerimaan dan bukan sebagai cara pembiayaan menutup defisit. Dengan demikian, total penerimaan sama dengan total pengeluaran sehingga anggaran jadi berimbang. Indonesia boleh-boleh saja menentukan sendiri definisi anggaran berimbang yang dianutnya. Kita pun mengetahui bahwa asas anggaran berimbang dulu kita anut dengan tujuan utama mengembalikan disiplin anggaran. Hanya saja, jika kita mau mengadakan perbandingan dengan negara-negara lain, perbedaan definisi itu harus diperhatikan. Misalnya, dalam laporan badan internasional seperti Bank Dunia, Dana Moneter Internasional, atau Bank Pembangunan Asia, dicantumkan bahwa anggaran belanja pemerintah Indonesia selalu defisit, jadi tidak seimbang seperti yang kita anggap. Dalam World Development Report tahun 1992, misalnya, tercantum bahwa defisit APBN Indonesia tahun 1990 adalah 2,1% dari GNP, defisit Malaysia 2,8%, defisit Thailand 4,9%, surplus Singapura 10,5%, dan defisit Filipina 3,5%. Permasalahannya bukan sekadar konsistensi dengan definisi yang lazim, melainkan lebih dari itu. Meskipun kita menggunakan difinisi yang lain, anggaran berimbang tetap berarti bahwa pada waktu penerimaan negara naik, pengeluaran juga harus naik, dan waktu penerimaan menurun, pengeluaran juga harus menurun. Ini dapat mengganggu kestabilan apabila penerimaan negara sering turun-naik secara tajam, misalnya karena pengaruh lonjakan harga minyak di pasaran dunia. Dalam keadaan seperti itu, anggaran pemerintah menjadi salah satu penyebab ketidakstabilan ekonomi, padahal seyogianya anggaran pemerintah merupakan salah satu instrumen untuk menjaga kestabilan ekonomi. Jika diterapkan secara konsisten, anggaran berimbang tidak dapat dipakai sebagai instrumen stabilisasi. Dalam keadaan itu, alat utama yang tersedia untuk stabilisasi ialah kebijaksanaan moneter, khususnya melalui kebijaksanaan perbankan. Otoritas moneter kita tahu betul mengenai persoalan ini. Dalam tahun anggaran 1990/1991 realisasi penerimaan negara meningkat jauh melampaui angka yang dianggarkan. Sebab utama kenaikan itu ialah harga minyak yang melonjak akibat Perang Teluk. Kenaikan penerimaan itu diikuti oleh kenaikan pengeluaran negara, tapi perekonomian mulai menunjukkan gejala memanas, sehingga Pemerintah kemudian sengaja menahan sebagian penerimaan sebagai cadangan, dengan nama Cadangan Anggaran Pembangunan (CAP), sebesar Rp 2 triliun. Cadangan ini dapat dipergunakan tahun berikutnya apabila diperlukan. Dengan itu, prinsip anggaran berimbang sebenarnya sudah tidak lagi diterapkan secara murni. Suatu surplus sengaja diciptakan karena penerimaan meningkat dan perekonomian memanas. Dalam tahun anggaran 1992/1993 juga terdapat surplus seperti itu (Rp 2,2 triliun) tapi kali ini tidak dinamakan CAP melainkan Sisa Anggaran Lebih (SAL). Pertanyaan yang timbul ialah apakah pemerintah bersedia menciptakan defisit apabila perekonomian lesu. Pertanyaan ini bisa menjadi relevan tahun 1993 ini. Dalam Nota Keuangan diharapkan bahwa kegiatan ekonomi tahun ini meningkat didukung oleh ekspansi kredit perbankan sebesar 17%. Banyak orang kalangan perbankan berpendapat bahwa sasaran ekspansi kredit perbankan sebesar itu sulit dicapai. Alasannya, karena banyak bank yang belum berhasil mengatasi kemelut yang bermuara ke banyak sekali kredit macet, sehingga mereka belum mampu atau belum bersedia memberi kredit dalam jumlah yang memadai. Untuk mengatasi masalah itu, Pemerintah telah mengambil langkah deregulasi perbankan pada tanggal 29 Mei yang baru lalu, yang maksudnya ialah mendorong bank untuk meningkatkan kreditnya. Jika paket deregulasi ini tidak cukup mendorong ekspansi kredit, untuk mencapai sasaran investasi tahun ini, dan mencapai laju pertumbuhan ekonomi yang diinginkan, harus diusahakan peningkatan penanaman modal dari luar. Jika ini juga sulit dicapai, investasi Pemerintah harus ditingkatkan. Di sinilah mungkin diperlukan peningkatan pengeluaran yang melebihi peningkatan penerimaan Pemerintah, atau dengan kata lain mentolerir adanya defisit dalam anggaran Pemerintah, yang dibiayai dengan cadangan atau sisa anggaran tahun-tahun lalu. Prinsip anggaran berimbang dengan itu harus mengalami reinterpretasi. Anggaran tidak perlu harus berimbang setiap tahun, tapi berimbang selama satu siklus bisnis (business cycle), yaitu selama 3 sampai 4 tahun. Jadi, ada tahun-tahun defisit dan ada tahun-tahun surplus, tapi seimbang sepanjang satu siklus. Pemerintah belum banyak berpengalaman dalam kebijaksanaan antisiklikal. Selama ini usaha stabilisasi ekonomi dilakukan hanya dengan mengandalkan kebijaksanaan moneter. Tapi, belum semua instrumen moneter telah berfungsi penuh, seperti SBI, SBPU, dan bond di pasar uang dan modal. Pemerintah harus berani melakukan perubahan karena pengalaman menunjukkan bahwa usaha stabilisasi ekonomi sulit dilakukan hanya dengan instrumen moneter, tapi harus ditunjang dengan instrumen fiskal. Memerangi inflasi dan resesi dengan kebijaksanaan moneter saja ibarat orang bertinju dengan satu tangan diikat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus