Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Kelelawar itu tidak mengganggu

Langit2 sd negeri ditotrunan i, lumajang, dijadikan sarang kelelawar. para siswa sudah akrab dengan satwa tersebut. prestasi siswa cukup baik. sempat jadi juara cerdas-cermat tvri surabaya.

18 Juli 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SD Negeri Ditotrunan I, Lumajang, Ja-Tim, dikenal sebagai salah satu sekolah favorit. Banyak anak pejabat bersekolah di sana. Tapi, anehnya, sekolah itu dijuluki "SD Lawa". Soalnya, ratusan ribu kelelawar menghuni gedung sekolah yang terletak di tengah kota itu."'Plafon gedung ini terpaksa dilapis dua, agar kotoran kelelawar tak merembes ke bawah," kata Wito guru yang tinggal di belakang kompleks sekolah . Pagi sekali, ketika matahari mulai terbit, sebelum murid-murid berdatangan, rombongan demi rombongan kelelawar memasuki sekolah. Binatang itu menjadikan ruangan di atas langit-langit sekolah sebagai sarang. Menurut cerita orang-orang tua, sejak gedung sekolah berdiri, 1927, binatang itu sudah bersarang di sana. Gedung ini menggunakan arsitektur Belanda, berlangit-langit tinggi. Jarak antara langit-langit dan atap yang tinggl menciptakan sebuah ruangan yang luas, tapi gelap, yang ideal untuk jadi sarang kelelawar. Pernah pada 1973, bupati memerintahkan menggusur penghuni liar itu. Maka, atap sekolah dibongkar, disemprot DDT. Selama beberapa hari, sengaja atap itu tak dipasang. Kelelawar menyerah dan terpaksa pindah. Celakanya, yang masih hidup berbondong-bondong pindah ke pendopo kabupaten, letaknya cuma 100 m dari situ, yang juga memiliki konstruksi yang mirip: berlangit-langit tinggi. "Bupati malah tambah repot. Akhirnya, terpaksa kelelawar itu dikembalikan ke tempat semula," kata H. Widji Moelja, Kepala Dinas PU Lumajang. Apa boleh buat, kompromi SD Ditotrunan dengan binatang malam itu harus berlanjut. Setiap tamu yang datang ke sekolah itu akan segera mencium bau pesing yang menyengat hidung, dan terkadang terdengar suara cicit binatang itu dari atas plafon. "Kami sudah terbiasa dan akrab dengan bau dan suara itu. Tidak lagi mengganggu," kata Pak Guru Wito. Memang belum pernah ada yang meneliti pengaruh penghunian kelelawar itu bagi kesehatan siswa atau guru setempat. Tapi kalau ditilik dari tingkat absensi murid yang tak berbeda dengan sekolah lain di sekitarnya, tak ada penyakit khusus yang diakibatkannya. "Anak saya semua sekolah di sana mereka normal-normal saja," kata dr. Djumadi, ketua BP3 sekolah itu, yang kebetulan kepala dinas kcsehatan kabupaten. Tak pula pernah ada yang berminat meneliti kemungkinan gangguan kelelawar itu bagi proses belajar di sekolah ini. Yang pasti, prestasi siswa setempat cukup mengesankan. Selama tiga tahun berturut-turut, 1984-1986, sekolah itu menjadi juara acara Cerdas-Cermat TVRI Surabaya. "Tahun ini kami tak boleh ikut, untuk memberi kesempatan bagi sekolah lain. Tahun depan baru boleh ikut lagi," kata Wito, guru tadi. Kemudian, setiap bulan sekolah itu memperoleh 10 karung besar kotoran kelelawar, vang laku dijual Rp 30.000. Pernah, beberapa waktu yang lalu, selama tiga bulan kotoran binatang itu tak diambil, "Sekali diambil dapat satu truk," kata Wito gembira. "Lumayan, untuk menambah dana sekolah," katanya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus