Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Senja di gua Lawa

Gua lawa di gresik, tempat ratusan ribu kelelawar, urung digusur oleh pt jasa pertiwi setelah menteri klh turun tangan. kelelawar tersebut bisa menghasilkan pupuk dan guanya berfungsi menyerap air.

18 Juli 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LIMA kelelawar hitam melesat keluar dari mulut gua, sembari menjerit, "criiit... ciiit... criiit... ciiit." Suara mereka mengoyak sepi senja. Kelimanya seakan menjadi pembuka barisan. Di belakang mereka segera menyusul ratusan ribu temannya. Langit senja pun seakan tertutup oleh gerombolan binatang malam itu. "Wah, ini bagus untuk pemandangan pariwisata senja," kata Emil Salim, sambil menatap kagum ke angkasa. Menteri KLH itu Rabu pekan lalu meninjau gua kelelawar di Desa Pongangan, Kecamatan Manyar, enam kilometer di sebelah barat Gresik, JaTim. Kunjungan itu dilakukannya setelah gua kelelawar itu nyaris diratakan buldoser PT Jasa Pertiwi, pemilik areal itu. Padahal, selain menarik untuk pemandangan senja hari, banyak manfaat lain yang diberikan kelelawar itu. Tahi binatang itu baik untuk pupuk. Kata Emil Salim, "Lebih baik dari pupuk buatan PT Petrokimia Gresik." Yang lebih penting, menurut Emil, secara ekologis binatang malam itu sangat penting untuk menyeimbangkan lingkungan. Kelelawar Jenis kampret ini pemangsa sejumlah binatang kecil, antara lain nyamuk. "Mengapa mereka mesti digusur?" kata Emil. PT Jasa Pertiwi memang telah berbulan-bulan membongkar perbukitan kapur disekitar itu, meliputi kawasan seluas 2 hektar lebih. Batu kapur dihancurkan buldoser, lalu dijual oleh perusahaan itu ke PT Semen Gresik untuk bahan baku semen. Ketika Emil Salim mengunjungi gua kelelawar itu-yang biasa disebut penduduk setempat gua lawa - buldoser tinggal 200 m saja dari gua. "Gua itu sebentar lagi akan digusur," Haji Akhyat Ilyas, Direktur PT Jasa Pertiwi, membenarkan. Sejak lima tahun lalu, PT Jasa Pertiwi memiliki konsesi dari Pemda Gresik untuk menambang bukit kapur di sekitar daerah itu - yang berstatus tanah negara. Sebuah gua keleiawar - lebih besar dari gua yang ada sekarang - yang terletak di Desa Suci, tetangga Desa Pongangan, sudah dibongkar oleh perusahaan itu empat tahun lalu. Penghuni gua itu terpaksa pindah sejauh setengah kilometer, bergabung dengan kelelawar lainnya yang sudah belasan tahun menghuni gua yang ada sekarang, dengan aman. Pemilik gua itu, Mujadid, 39 tahun, merasa diuntungkan oleh kelelawar itu. "Setiap bulan saya dapat Rp 90.000," katanya. Ia menjual tahi kelelawar itu sebagai pupuk kandang kepada para pemilik kebun buahbuahan di Batu, Malang. Di tanah Mujadid yang berbukit dan berjurang itu terdapat dua gua. Di tebing barat jurang dengan kedalaman 5 m, ada sebuah gua dengan lebar 7 m, tinggi 1 m, menjorok ke perut bumisejauh 7 m. Gua yang lain terletak di jurang sebelah timur. Lebar mulutnya 7 m X 2 m, tapi kedalamannya hanya 3 m. Mujadid terbujuk untuk menjual tanah berikut gua itu kepada PT Jasa Pertiwi, karena perusahaan itu bersedia membeli setiap hektar tanahnya Rp 30 juta. "Dibandingkan dengan hasil dari kotoran kelelawar, 'kan lebih baik dijual," kata Mujadid. Maka, beberapa bulan yang lalu, Mujadid melego sekitar 2 ha tanah pusakanya itu pada perusahaan tersebut. Dari uang penjualan tanah itu, dia siap-siap berangkat naik haji tahun ini juga. Kelangsungan hidup kelelawar itu pun terusik. Untung saja, sejumlah anggota DPR di Jakarta yang menerima laporan tentang nasib kelelawar itu memberikan reaksi keras. "Menteri Emil Salim perlu memperhatikan masalah ini," kata Nyonya Tati Sumiarno, anggota DPR dari FKP. Rupanya, Menteri Emil Salim cepat tanggap. Ia berangkat sendiri melihat nasib kelelawar yang terancam kena gusur itu. Tornyata, setelah turun ke lapangan, Emil tak cuma memprihatinkan nasib kelelawar, tapi sekaligus juga guanya. Di Gunungkidul, Yogyakarta, misalnya, menurut hasil sementara sebuah penelitian,. gua di sana berfungsi menyerap air dengan relung-relungnya yang begitu banyak. Dari penelitian itu diketahui, di bawah gua di Gunungkidul itu terdapat sebuah danau bawah tanah seluas lapangan Monas, Jakarta. "Inilah manfaat gua," ujar Emil. Bukan tak mungkin gua lawa mempunyai fungsi yang sama, sebagai penyimpan air. Apalagi bila dilihat banyaknya ditemukan mata air d sekitarnya. Berbagai hal itulah yang rupanya menjadi pertimbangan Emil Salim. Maka, saat itu juga, di depan gua kelelawar itu, Menteri KLH itu memanggil Bupati Gresik, Amiseno, dan pemilik PT Jasa Pertiwi, Haji Akhyat dan Haji Bisri. Menteri meminta agar gua dan kelelawar itu tetap dilestarikan. Buldoser, misalnya, diharapkan tak menginjak kawasan dengan radius 75 m dari gua-gua itu, agar raungnya di siang hari tak mengganggu kelelawar yang sedang asyik tidur di dalam gua. Di hadapan kerumunan penduduk desa, Haji Akhyat akhirnya menyanggupi permintaan Menteri itu. "Jadi, sekarang tak ada masalah lagi," kata Emil dengan wajah cerah. Di udara, ratusan ribu kelelawar masih terbang berseliweran, membuat senja lebih kelam. Malam terasa datang lebih cepat. Amran Nasution, Laporan Masduki Baidlawi & Yopie Hidayat (Biro Surabaya)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus