SUGIMAN, 37 tahun, senang melayat orang yang meninggal. "Biar dapat banyak pahala, dan masuk surga kalau saya meninggal nanti," kata warga Kampung Notodiningratan, Solo, itu. Maka, tak heran bila Giman tiap malam rajin nongkrong di depan pesawat radio setelah pukul 21.00, saat berita duka disiarkan RRI Surakarta. Keesokan harinya, perjaka yang sehari-hari jadi buruh kasar itu datang ke rumah yang sedang ditimpa musibah. Kalau pada hari itu ada beberapa yang meninggal, Giman memilih yang jaraknya paling jauh. "Lebih banyak pahalanya," tutur Giman yakin. Kemudian baru ia melayat ke yang lebih dekat. Jebolan SMP ini mengaku sehari paling banyak bisa mengunjungi dua tempat. Hobi yang tak lazim itu cukup memusingkan kepala Kartowidjojo, ayah Giman. "Masa, setiap hari kerjanya melayat orang mati," katanya gusar. Menurut Karto, 60 tahun, Giman mulai punya kesukaan aneh itu sejak delapan tahun lalu, setelah terserang saraf ketika berumur 20 tahun. "Sebelumnya, Giman normal, seperti yang lain," ujar Karto. Satu hal yang membuat Karto bangga, Giman rajin mengaji di masjid, dan tak pernah meninggalkan salat lima waktu. Surasono & Yusroni Hendridewanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini