BUKIT itu tampak kering, di musim hujan sekalipun. Tetumbuhan, umumnya jati muda, kelihatan meranggas. Hanya batu kapur yang dominan. Tapi PT Semen Gresik justru tertarik. Mereka ingin menjadikan bukit-bukit kapur di kawasan di Kecamatan Kerek dan Merak Urak, Tuban, Jawa Timur, itu sebagai daerah industri semennya yang baru. Menggantikan Gresik. Tak diduga, niat itu ditentang hebat oleh pecinta lingkungan. Industri inl bakal merusakkan sumber air, teriak mereka. Menteri Emil Salim pun tidak diam. "Dalam soal air saja tak mau berkompromi," ujarnya di Rapat Kerja Komisi X DPR-RI dua pekan silam. "Perluasan pabrik semen Gresik tetap tidak ada saya setujui." Untuk menyelesaikan sengketa, sebuah pertemuan pun diselenggarakan antara Emil Salim dan Direksi PT Semen Gresik di Hotel Simpang, Surabaya, pekan lalu. "ah, kami ini jadi seperti anak nakal yang mau merusak," kata Ir. Setiadi Dirgo, Direktur Utama PT Semen Gresik. Persoalannya, cerita Setiadi, mulanya sederhana. Pabriknya sudah terasa tua. Cara produksi lama, yang memakai "sistem basah", tak lagi dianggap efisien -- terlalu boros bahan bakar. Sedang bahan baku di sekitar Gresik kian menipis. Bukit-bukit kapur telah hampir rata setelah selama 30 tahun dimakan mesin yang kini berkapasitas produksi 1,5 juta ton setahun. Kawasan pabrik kini juga telah diimpit kota, yang tentu membahayakan warga Gresik sendiri. Mengubah pabrik di situ juga bisa. Tapi tak mudah dan belum tentu bisa menguntungkan. Setelah dihitung-hitung, yang terbaik adalah pindah. Presiden pun setuju, asal PT Semen Gresik tak minta modal pemerintah dan tidak terlalu bergantung pada mesin luar negeri. Tapi ke mana? Penelitian lokasi pengganti lalu diadakan sejak dua tahun lalu. Lokasi terpilih harus punya cadangan bahan baku semen dalam jumlah besar. Kualitas bahan baku harus baik. Tempat terpilih juga harus mudah dijangkau, baik lewat darat maupun laut. Pertimbangan selanjutnya adalah seni sosial. "Pabrik harus tidak mengganggu kehidupan sosial yang sudah ada di situ," ujar Setiadi. Tim peneliti dari Semen Gresik kemudian memilih wilayah Tuban. Batu kapur di situ dinilai baik untuk bahan baku semen. Jumlahnya pun besar, diperkirakan cukup untuk 100 tahun. Tuban juga punya pelabuhan. Daerah itu tandus. Taraf hidup penduduknya pun kurang. "Kalau Semen Gresik pindah ke Tuban, bukan hanya menguntungkan kami. Tapi sekaligus juga membangun masyarakat dan daerah Tuban," katanya. Tapi persoalan menghadang. Bukit-bukit kapur itu ternyata daerah tangkapan air tanah. Air hujan ditampung di gua atau rongga-rongga dalam tanah yang mirip spons besar. Dari air tanah itu orang Tuban bisa mendapatkan air minum. Persediaan air itu diduga bisa memenuhi kebutuhan air minum daerah lain, terutama Kabupaten Lamongan dan daerah sekitar Surabaya. "Lalu apa tak ubahnya mereka dicekik, kalau sumber airnya terkena pabrik semen?" kata Menteri Emil. Setiadi sendiri belum yakin rencananya bakal mengganggu sumber air. Dinilainya kekhawatiran itu baru berasal dari dugaan. "'Kan belum ada penelitian yang mendalam," ujarnya. Lagi pula, pihaknya hanya akan memakai 1.800 ha atau satu persen dari wilayah Tuban. Tampaknya ia juga tidak yakin adanya pabrik semen akan merusakkan sumber air. Ia menyebut contoh di Gresik: adanya sumber air yang tak rusak kendati hanya beberapa meter dari tempat penggalian kapur. Pertemuan di Hotel Simpang pekan lalu itu akhirnya melahirkan kata sepakat: PT Semen Gresik akan mengusahakan lokasi alternatif, membuka lahan bahan baku semen di Kecamatan Babat, Lamongan. Areal yang direncanakan akan diteliti lebih lanjut, dengan mempertimbangkan aspek geologis. Jika di lokasi ditemui gua resapan air, pihak Semen Gresik akan mundur dan harus mencari areal baru. Beres. Emil pun bersalaman dengan Setiadi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini