Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Tiang Mandera Dengan Penggal Kepala

Kuni, gadis berusia 18, dipenggal kepalanya untuk syarat tiwah, upacara mengantar arwah di Lungkuh Layang, Kuala Kapuas. Laju merang dan anaknya Karles pelaku pembunuhan, divonis penjara.

28 November 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LAJU Merang memang orang Dayak asli, yang taat pada kepercayaan tradisional Hindu Kaharingan. Dia tinggal di Desa Lungkuh Layang, Kabupaten Kuala Kapuas, Kalimantan Tengah. Karena ketaatannya itulah, Selasa dua pekan lalu dia dihukum 12 tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Kuala Kapuas. Sedangkan anaknya yang lelaki, Karles, divonis 15 tahun. Bermula dari kecintaan Laju pada istrinya, yang meninggal lima tahun silam. Runci namanya. Kakek 72 tahun itu ingin istrinya bisa bersemayam di langit ketujuh dengan tenang. Sesuai dengan kepercayaannya, ia harus melaksanakan Tiqah, upacara mengantar arwah. Agar upacara tak menyimpang dari aturan, sore hari, September tahun lalu, Karles dan seorang rekannya mendatangi Embur, yang lagi asyik main voli. Embur ditawari duit Rp 250 ribu untuk mencarikan kepala orang sebagai tumbal upacara. Dasar lagi perlu duit, Embur tak menolak tawaran itu. Maka, sesuai dengan pesanan, pria berusia 26 tahun itu mulai mengadakan pendekatan pada empat wanita sedesanya: Kuni, Marlia, Yopi, dan Ane. Sukses. Suatu pagi di bulan Oktober, ketiganya bersedia diajak Embur mencari damar di hutan Rungkuh Bunyit, di seberang desa. Tanpa syak wasangka macam-macam, mereka nurut saja diajak jalan sejauh 10 kilometer dari desanya. Sampai akhirnya bertemu dengan Laju Merang, Jhon Bilo, Karles, Ucang bin Spener, dan Rejo bin Ucang, di bawah sebuah pohon besar. Suasana panik segera meledak. Kuni tiba-tiba diikat dan diseret ramai-ramai oleh rombongan Laju Merang. Tetapi rekan-rekan Kuni kontan lari lintang-pukang. Kuni sendiri makin mendekati maut. Kuni diseret beberapa meter dari pohon itu. Lalu, di sebuah batang pohon tumbang, kaki gadis remaja berusia 18 tahun itu juga diikat. Selanjutnya dia digotong, sebelum tubuhnya direbahkan ke tanah berbantal batang pohon tumbang itu. Kemudian mata Kuni ditutup sehelai kain. Dan si algojo yang diperankan Karles, 33 tahun, dengan tenang menghunus mandau milik Embur. "Bles". Darah menghambur dari leher gadis malang itu -- sebelum kepalanya putus bergulir ke tanah. Sore harinya kegelisahan orangtua Kuni mencapai puncaknya. Disertai penduduk desanya yang ikut merasa prihatin, mereka lalu melacak jejak Kuni ke pelosok hutan. Sayang, tak ada jejak terkuak. Tapi kecurigaan masyarakat dan petugas kepolisian makin kuat mengarah pada Embur. Maklum, dialah satu-satunya pemuda yang mengiring kepergian Kuni masuk hutan. Sehingga, ketika petugas dari Kepolisian Resort Kapuas terjun ke Desa Lunkuh Layan, pertengahan November tahun lalu, Embur langsung diinterogasi. Embur ternyata bukan jenis manusia besi. Petugas dapat dengan mudah mengorek semua perbuatannya. "Kuni telah mati dibunuh Karles dengan mandau saya atas suruhan Laju Merang," demikian pengakuannya. Tak pelak lagi, hari itu juga kedua ayah beranak itu diseret ke tahanan. Pengakuan demi pengakuan terus meluncur dari mulut manusia-manusia keji itu. Sehingga, semua anggota gang Laju terjaring. Bahkan palu hakim Jumat lalu memutuskan 15 tahun penjara bagi Embur. Sedangkan dua rekannya masih terus berjuang menghadapi pengadilan. Yang pasti, Pua Hardinata dan Giffari pengacara Ucang, menolak kalau upacara Tiah itu dihubungkan dengan terbunuhnya Kuni. Dengan alasan, agama Kaharingan melarang dan tak menghendaki upacara Tiwah dengan tumbal kepala manusia. "Tumbal kepala manusia sebagai Rukun Iman dalam agama Hindu Kaharingan hanyalah isu politik pemerintah penjajahan Belanda," ujar kedua pengacara itu. Benar atau tidaknya alasan kedua pengacara itu memang masih bisa dipersoalkan lebih jauh. Untuk itu perlu disimak buku karangan Almarhum Tjilik Riwut, yang berjudul Kalimantan Memanggil. Di sana diceritakan, kalau ada upacara Tiwah di sebuah kampung, pasti terpancang sebuah tiang bernama Tiang Mandera. Artinya? Orang asing atau tamu yang belum paham peraturan Tiwah jangan masuk kampung itu sembarangan. Sekali kepergok melanggar peraturan, maka kepalanya akan jadi halal untuk menyertai arwah orang yang di-Tiwah. Dengan ditebas mandau tentunya. Di zaman baheula, menurut versi pemerintah kolonial Belanda, tumbal berupa kepala manusia tak pernah absen dalam setiap upacara Tiwah. Karena itulah, pada 1927 para Demang -- kepala adat di desa diundang ke Batavia. Mereka diminta untuk bersepakat, agar tak lagi menggunakan tumbal kepala manusia dalam Tiwah. Adat, apalagi bagi masyarakat terpencil, jelas tak mudah pupus. Kesepakatan resmi model Belanda itu akhirnya sekadar jadi pemoles wajah. Sehingga, di tahun 1940-an, kesepakatan itu terpaksa diulang. Alhasil, kepala manusia masih terus bergelindingan dalam upacara Tiwah. Menurut Kepala Lembaga Pemasyarakatan Kuala Kapuas, Fakih Fatah, sekarang masih mendekam dua orang remaja belia pemenggal kepala, dalam kasus terpisah. "Peristiwanya terjadi pada tahun 1977 dan 1978," ujarnya. Kasus pertama dilakukan oleh Anang, ketika berusia 18 tahun, yang mendapat bayaran Rp 4 juta. Korbannya adalah tunangannya sendiri. Sedangkan yang kedua dilakukan oleh Sukri, ketika berumur 14 tahun, dengan bayaran Rp 2 juta. Fakih Fatah juga tak menyembunyikan keyakinannya, Kuni adalah korban Tiwah. Betapa tidak, Jhon Bilo, 36 tahun, sendiri mengaku padanya. "Tiah tanpa kepala manusia bukan Tiwah namanya." Ucang makin sulit berkelit. Holda, istrinya sendiri, malah memberi kesaksian yang amat memberatkan. Di depan sidang wanita itu mengatakan, pada sore hari, tepat di hari kejadian, suaminya pulang membawa kantung plastik hitam berisi kepala Kuni. Lalu malam harinya diambil Laju Merang, bersama Embur dan Jhon Bilo. Kesaksian itu klop dengan yang ditemukan polisi di rumah Laju Merang. Di sana tengkorak dan kerangka Kuni ada dalam Sandung -- tempat menyimpan tulang-belulang yang diletakkan di halaman belakang. Praginanto (Jakarta, Almien Hatta (Kal-Teng)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus