GARA-gara bekerja di sawah berhari-hari, Nayat tak dapat tidur telentang. Maklum, punggung petani berusia 31 tahun ini melepuh hampir sebesar piring makan, sejak ia turun ke sawah, 9 November lalu. "Rasanya panas luar biasa," katanya. Ternyata, Nayat bukan satu-satunya penderita. Menurut Ucup Supriatna, pejabat sementara kepala desa Karang Satria di Kecamatan Tambun, Jawa Barat, terdapat sedikitnya 50 penduduk setempat yang mengalami pelepuhan pada kulitnya seperti Nayat. Bahkan 16 di antaranya sempat dibawa petugas pemerintah daerah ke Rumah Sakit Umum Bekasi. Namun, tak ada yang harus diopname. Kebanyakan pelepuhan terjadi di sekitar daerah pantat, punggung, dan paha. Banyaknya penderita ini segera menimbulkan kecurigaan. Apalagi, boleh dikata, semua mengalami penderitaan ini setelah bekerja di sawah. Maka, kecurigaan tertumpu pada air irigasi. Kehadiran beberapa pabrik di hulu saluran pun segera memercikkan dugaan bahwa limbah industri mereka yang jadi sumber malapetaka ini. Termasuk yang dicurigai aparat setempat adalah pabrik ballpoint serta antena Vanadium. Namun, tuduhan ini dibantah oleh Iwa Nardiwa Sadias P., Kepala Personalia PT Vanadium Modern Electrolating. Sejak berdirinya, 1979, menurut Iwa, belum pernah terjadi pencemaran oleh pabrik ini. "Kalau memang ada apa-apa pada limbah kami, pasti penduduk sekitar sudah lama kena. Tak mungkin baru belakangan ini," katanya. Bahkan, menurut Iwa lagi, pabriknya telah menambah bak pengolahan limbahnya dari satu menjadi empat. "Sesuai dengan petunjuk dari Departeman Perindustrian." Selain itu, ia mengatakan bahwa limbahnya diperiksa Departemen Kesehatan setiap tiga bulan, dan tak pernah ditemukan limbah yang dianggap berbahaya. Hal senada juga diutarakan oleh seorang pimpinan PT Aica Indonesia, yang pabriknya sekitar 500 meter dari Vanadium. Pimpinan perusahaan lem yang tak mau disebut namanya ini mengaku limbahnya diperiksa Departemen Kesehatan setiap tahun. "Yang terakhir baru September lalu," katanya. Dan hasil pemeriksaan sejak pabrik ini berdiri, 1975, menurut dia, selalu baik. Ucup pun mengaku telah mengambil contoh air dari saluran ini untuk diperiksa. Ternyata, Balai Teknik Kesehatan Lingkungan Pos Jakarta menyimpulkan tak ada limbah berbahaya pada air itu. Karena itu, Ucup tak mau terburu-buru menuding pihak pabrik sebagai biang keladi peristiwa ini. "Soalnya, mengapa di Kampung Gudang juga ada yang terkena, padahal daerah itu tak mendapat air dari saluran irigasi yang sama." katanya. Kehati-hatian serupa juga dicetuskan oleh dr. Haryo, Kepala Rumah Sakit Umum Bekasi. "Dokter jaga hanya membuat laporan bahwa kesan penyakit adalah kontak dermatitis," katanya. Dermatitis alias pelepuhan ini memang bisa diakibatkan oleh sentuhan zat kimia, tapi bisa juga disebabkan oleh sejenis kutu air. Pihak Wahana Lingkungan Hidup, yang aktif memantau kegiatan pelestarian lingkungan, menduga limbah industri sebagai penyebab malapetaka ini. "Soalnya, ini 'kan terjadi di musim hujan," kata Dodo Sambodo, pengurus Walhi yang memantau peristiwa ini. Biasanya, pada musim hujan pabrik-pabrik membuang limbahnya di sungai, dengan harapan air yang banyak akan mencairkan konsentrasi limbah mereka. "Cuma, hujannya belakangan ini ternyata kecil, jadi ada kemungkinan konsentrasi limbah tetap besar," katanya. Ia menduga bahwa pelepuhan yang diderita Nayat karena keracunan limbah logam berat atau soda api. Ia juga menyatakan, peracunan akibat limbah industri itu tak mesti lewat saluran irigasi. "Bisa saja itu berupa buangan gas yang turun bersama hujan," katanya. Bahwa hasil pemeriksaan sampel tidak memperlihatkan kehadiran limbah berbahaya pun tak berarti pabrik-pabrik itu pasti tidak bersalah. "Soalnya, pembuangan limbah 'kan bisa dihentikan, dan mungkin cuma dilakukan waktu hujan," kata Dodo. Tri Budianto Soekarno, Diah Purnomowati, dan Bambang Harymurti (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini