Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Seni Rupa Togel

Wisnu Auri menyajikan barang-barang keseharian yang terkait dengan perkara hitung-menghitung dalam sebuah pameran.

17 Februari 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kode ramalan dan logo SDSB memenuhi dinding. Kitab ramalan, tafsir mimpi, radio transistor, puntung rokok, dan bekas wadah minuman berhamparan di sebuah rak meja kayu. Di kursi butut ada kemeja tersampir dan beberapa topi tercantel. Anda ingat judi buntut atau togel? Penempatan barang-barang itu mengimajinasikan kehadiran seseorang sedang menafsir ramalan atau menebak nomor togel.

Seni rupa "togel" karya Wisnu Auri, 32 tahun, ini dipajang dalam pameran solo "Suka Simpan Suka Pinjam" di Ark Galerie, Jakarta, sejak 19 Januari hingga 28 Februari nanti. Sebagian besar karyanya menampilkan hal keseharian. Itulah "estetika" sehari-hari atau politik representasi yang menggunakan tema kehidupan sehari-hari untuk menghadirkan ruang narasi sebagai pengujian kembali pengalaman bersama.

"Estetika" sehari-hari menantang pengalaman keseharian kita. Persamaannya dapat ditemukan pada ranah bahasa, yakni ketika praktek berbahasa sehari-hari dipercaya sebagai cara untuk memeriksa praktek dan wacana bahasa formal, ilmiah, yang penuh aturan.

Karya Nice Dream #3 (2012) yang disinggung di atas, misalnya. Wisnu mungkin tertarik pada gejala patologi sosial sebagian masyarakat kita, yang berangan-angan menjadi cepat makmur dengan cara nonrasional semacam itu. Beberapa obyek temuan yang ditampilkannya dalam pameran ini, seperti bukti pembayaran kuitansi, uang, tanda lunas, timbangan, koin, sempoa, dan kalkulator, menunjukkan terserapnya kita lebih jauh dalam budaya angka atau quanta ini. Timbangan badan kita, mengikuti obsesi semacam itu, adalah manasuka untuk nasib kita hari ini (Good Luck # 1 dan #2; 2012).

Di pojok lain, Wisnu membuat simulasi kantor Koperasi "Suka Simpan dan Suka Pinjam" (2012). Ruang ini penuh dengan aneka peranti seperti layaknya kantor. Di situ ada meja ketua, bendahara, simbol dan slogan koperasi, syarat keanggotaan, kipas angin, sisir, kop surat, stempel, dan sebagainya. Mensimulasikan praktek keseharian di ruang pameran adalah upaya untuk mensubversi pengalaman kita dalam realitas senyatanya. Mengapa citra koperasi terkesan jadul dibandingkan, misalnya, dengan bentuk pemberdayaan sosial lain?

Dalam karya lain, Wisnu membawa kita pada imaji dan wacana mengenai waktu (Overtime, On Time, Wasting Time, dan Last Minute, 2012). Jam adalah simbol kuantifikasi yang mengubah misteri waktu menjadi problem yang dapat ditangani. Terkait dengan kerja, sosiolog Georg Simmel pernah menyebutnya sebagai hipertrofi "semangat obyektif" yang mendesak atrofi "semangat subyektif". Semangat obyektif mengkalkulasi waktu sebagai satuan-satuan produktif menjadi uang. Situasi itu ditampilkan Wisnu dalam Time is Money (2012), yakni bandul jam yang berubah menjadi ketukan palu pada setumpuk koin.

Beberapa obyek temuan digubah menjadi tema yang menarik dalam pameran yang dikuratori Alia Swastika ini. Tapi banjir obyek temuan yang serupa agaknya menjadi tantangan tersendiri bagi Wisnu Auri dalam pameran ini. Boleh jadi ini adalah risiko berkarya yang bermula dari obyek temuan, bukan dari ketatnya tinjauan.

Hendro Wiyanto, pengamat seni rupa

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus