Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Tambang ilegal makin marak di wilayah hulu Daerah Aliran Sungai Batanghari yang mencakup empat kabupaten di Sumatera Barat.
Kasus penambangan ilegal mengemuka setelah mencuatnya kasus polisi menembak polisi.
Politikus dan pejabat pemerintahan daerah ditengarai ikut berburu rente, baik sebagai pemodal, pemilik alat berat, maupun pemasok bahan bakar minyak.
SATU ekskavator kuning merek Keihatsu terparkir di antara kubangan-kubangan tanah yang menganga tak beraturan di sisi selatan wilayah Nagari Lubuk Ulang Aling Selatan, Kecamatan Sangir Batang Hari, Kabupaten Solok Selatan, Sumatera Barat. Tak ada dokumen apa pun yang menunjukkan kepemilikan mesin berbahan bakar diesel buatan Cina tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Di sini ada dua jenis penambang emas, pendulang tradisional dan yang disokong pemodal,” kata seorang bekas pemodal tambang emas yang menemani Tempo ke lokasi penambangan ilegal tersebut pada Sabtu, 14 Desember 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lokasi tambang ilegal itu tersembunyi di balik perbukitan dengan lereng yang terjal. Hanya ada satu akses jalan tanah untuk menjangkaunya dari Nagari Padang Limau Sundai, tetangga Lubuk Ulang Aling Selatan. Sebagian besar wilayah dengan ketinggian rata-rata 600 meter di atas permukaan laut tersebut masih rimbun tertutup pepohonan. Hasil analisis spasial menunjukkan luas pembukaan hutan alam pada kawasan hutan lindung telah mencapai 47,32 hektare atau sekitar 66 kali luas lapangan sepak bola.
Sewindu lalu, penambangan di area tersebut dimulai oleh masyarakat secara tradisional. Seiring dengan waktu, pemodal masuk ditandai oleh kehadiran alat berat berlengan hidrolik penggaruk tanah.
Tak seberapa jauh dari lokasi ekskavator terdapat pemondokan beratap terpal biru yang digunakan sebagai tempat istirahat dua operator dan sejumlah pendulang emas. Bedeng itu juga menjadi rumah sementara bagi mereka selagi hidup di dalam hutan untuk beberapa pekan.
Pondok bekas para penambang yang berada di dalam hutan dekat Nagari Padang Limau Sundai, Sangir Jujuan, Kabupaten Solok Selatan, 14 Desember 2024. Tempo/Fachri Hamzah.
Mereka menyebutkan seorang pemodal berinisial ASA sebagai pemilik ekskavator. Tempo belum dapat menjabarkan detail informasi tentang keterlibatan pemodal yang pernah menjadi anggota parlemen di Solok Selatan tersebut. Hal yang sudah jelas, di lapangan, aktivitas penambangan liar itu dikelola oleh seorang kepala proyek.
Aktivitas penambangan dilakukan secara sporadis, berpindah-pindah dari satu lubang ke lubang galian lain. Sedikitnya sudah ada 10 lubang menganga kira-kira seluas lapangan basket di area pembukaan lahan tersebut. Biasanya lima pendulang emas akan bekerja di setiap lubang galian untuk menyemprotkan air dari mesin pompa atau memasukkan bebatuan ke mesin penggiling.
Saban hari, ratusan liter solar dikirimkan ke lokasi penambangan. Pasokan bahan bakar minyak ini diperoleh dari sejumlah stasiun pengisian bahan bakar di Solok Selatan. “Butiran emasnya kemudian dijual ke toko-toko emas di kabupaten,” tutur sumber Tempo.
***
MASIFNYA aktivitas penambangan ilegal di Sumatera Barat kembali menarik perhatian menyusul mencuatnya berita kasus “polisi menembak polisi”. Pada 22 November 2024, Kepala Satuan Reserse Kriminal Kepolisian Resor Solok Selatan Ajun Komisaris Ryanto Ulil Anshari tewas akibat diterjang dua pelor yang dilesatkan sejawatnya, Kepala Bagian Operasi Polres Solok Selatan Ajun Komisaris Dadang Iskandar. Kepolisian RI memecat dan menetapkan Dadang sebagai tersangka pembunuhan.
Dalam kasus tersebut, Dadang ditengarai membunuh rekannya itu karena kesal atas penangkapan pelaku penambangan galian C ilegal oleh Satuan Reserse Kriminal Polres Solok Selatan. Tiga hari setelah peristiwa pembunuhan, Kepolisian Daerah Sumatera Barat menyegel lokasi tambang galian C ilegal di Batang Bangko, Kecamatan Sungai Pagu, Solok Selatan, yang diduga berhubungan dengan motif tersebut.
Persoalannya, tambang ilegal di Sumatera Barat tidak hanya ada di Batang Bangko. Merujuk pada dokumen Kajian Lingkungan Hidup Strategis Rencana Tata Ruang dan Wilayah Sumatera Barat 2023-2043, tambang ilegal seluas 7.622 hektare tersebar di Kabupaten Solok Selatan, Dharmasraya, Solok, dan Sijunjung. Sektor pertambangan, seperti disebutkan dalam dokumen tersebut, menjadi pemicu deforestasi di Sumatera Barat yang dalam rentang waktu 2017-2021 mencapai 53.088 hektare—hampir seluas wilayah Jakarta.
Kepala Departemen Advokasi Lingkungan Hidup Walhi Sumatera Barat Tommy Adam. Tempo/ Fachri Hamzah
Bagi Tommy Adam, Kepala Departemen Advokasi Lingkungan Hidup Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumatera Barat, praktik penambangan liar itu makin mengkhawatirkan. Empat kabupaten yang disasar bisnis tambang ilegal merupakan area Daerah Aliran Sungai (DAS) Batanghari. Membentang 4,5 juta hektare di Sumatera Barat dan Jambi, DAS Batanghari merupakan satu di antara 22 DAS di Indonesia yang berstatus sangat kritis.
Aktivitas penambangan emas ilegal di Nagari Lubuk Ulang Aling Selatan, yang didatangi Tempo pada Sabtu, 14 Desember 2024, juga berada di bentang alam DAS Batanghari. Area tersebut tak jauh dari Sungai Batang Sangir, bagian dari Sub-DAS Batanghari Hulu yang merupakan satu dari enam sub-DAS pada DAS Batanghari. Sebagai sub-DAS, wilayah ini semestinya berfungsi sebagai area tangkapan air hujan yang nantinya dikirimkan ke sungai induk.
“Tambang liar di wilayah DAS Batanghari makin masif dan kasatmata,” ucap Tommy ketika bertemu dengan Tempo di Jakarta pada Kamis, 19 Desember 2024. “Jadi kami yakin praktik beking tambang di kasus Dadang melibatkan banyak aktor.”
Tommy dan koleganya di Walhi Sumatera Barat datang ke Jakarta dengan sejumlah agenda. Pada Rabu, 18 Desember 2024, dia bertandang ke kantor Komisi Kepolisian Nasional untuk melaporkan dugaan praktik “pengamanan” tambang ilegal di Solok Selatan yang melibatkan polisi.
Mereka juga melaporkan permasalahan ini ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia karena kerusakan lingkungan akibat penambangan liar telah berdampak pada hak hidup masyarakat, termasuk para penambang. Dalam catatan Walhi Sumatera Barat, sepanjang 2012-2024, sedikitnya 40 orang meninggal di lokasi tambang ilegal.
Laporan yang dilayangkan Walhi Sumatera Barat juga berawal dari sidang pemeriksaan etik terhadap Dadang. Digelar oleh Komisi Kode Etik Polri di Jakarta pada 26 November 2024, persidangan tersebut menguak hasil pemeriksaan Divisi Profesi dan Pengamanan Polri terhadap sejumlah saksi dalam perkara etik Dadang. Dadang diduga bukan satu-satunya pelaku praktik beking tambang ilegal di Solok Selatan.
Dalam sidang itu, misalnya, penuntut membacakan keterangan Kepala Unit Tindak Pidana Tertentu Polres Solok Selatan Ajun Inspektur Dua Tomi Yudha Trimulya bahwa banyak praktik tambang emas dan galian C tanpa izin di wilayah Solok Selatan, termasuk di area DAS Batanghari. Sedikitnya lima penambang tradisional, menurut penuntut, menyerahkan Rp 3 juta setiap bulan kepada Tomi yang sebagian besar di antaranya disetorkan kepada Kepala Satreskrim Polres Solok Selatan.
Selain itu, masih dari keterangan Tomi yang dibacakan penuntut, terdapat 20 alat berat dalam praktik tambang ilegal di Solok Selatan. Pemilik alat berat setiap bulan menyetor dana Rp 25 juta per unit kepada anggota Polres Solok Selatan.
“Sepengetahuan Ajun Inspektur Dua Tomi Yudha Trimulya, uang itu diserahkan kepada Ajun Komisaris Besar Arief Mukti Surya Adhi Sabhara selaku Kepala Polres setiap bulan,” tutur penuntut saat membacakan berkas pemeriksaan. “Berlangsung sejak menjabat, sehingga setiap bulan menerima total uang dari tambang ilegal kurang-lebih Rp 600 juta.”
Kepala Polres Solok Selatan Ajun Komisaris Besar Arief Mukti Surya Adhi Sabhara tak merespons permintaan konfirmasi Tempo ihwal namanya yang disebut-sebut menerima fulus dari praktik tambang ilegal. Dia tak menjawab panggilan telepon dan pesan pendek—disertai berkas surat permohonan konfirmasi—yang dikirimkan Tempo pada Kamis, 19 Desember 2024.
Kepala Polres Solok Selatan Ajun Komisaris Besar Arief Mukti Surya Adhi Sabhara. (Antara/HO-Humas Polres Solok Selatan)
Wakil Kepala Polres Solok Selatan Komisaris Harry Mariza Putra menjelaskan, beberapa nama yang terungkap di persidangan Dadang telah diperiksa Divisi Profesi dan Pengamanan Kepolisian Daerah Sumatera Barat. “Sudah diperiksa,” ujar Harry singkat pada Kamis, 19 Desember 2024. Dia tak menjawab pertanyaan lebih lanjut mengenai praktik beking tambang ilegal di Solok Selatan.
Tempo juga berupaya meminta keterangan Kepala Polda Sumatera Barat Inspektur Jenderal Suharyono dan Kepala Bidang Humas Polda Sumatera Barat Komisaris Besar Dwi Sulistyawan perihal pemeriksaan terhadap anggota kepolisian yang diduga menerima setoran dari penambang ilegal. Namun keduanya juga belum merespons permintaan itu hingga laporan ini diturunkan.
Ajun Komisaris Dadang Iskandar (tengah), tersangka penembakan terhadap Kepala Satreskrim Polres Solok Selatan Ajun Komisaris Ryanto Ulil Anshar hingga tewas, di Markas Polda Sumatera Barat, 23 November 2024. Antara/Iggoy el Fitra
Tommy Adam berharap penanganan kasus Dadang tidak berhenti pada perkara pembunuhan, tapi dilanjutkan ke penindakan terhadap para aktor yang terlibat dalam tambang liar. Dia hakulyakin praktik lancung pertambangan ilegal yang dibekingi polisi tak hanya ada di Solok Selatan, tapi juga di kabupaten lain. Khusus di bentangan DAS Batanghari, Tommy memperkirakan jumlah alat berat yang beroperasi di tambang liar sudah menembus 100 unit.
“Tinggal dikalikan saja, jika dari keterangan di sidang Dadang, setorannya Rp 25 juta per unit setiap bulan,” kata Tommy.
Hasil pemeriksaan para saksi di sidang etik perkara Dadang serupa dengan temuan Tempo di lokasi sejumlah tambang ilegal di Solok Selatan. Mereka juga mengenali beberapa nama yang disebutkan oleh penuntut. Namun dua pemodal tambang ilegal yang ditemui Tempo mengungkapkan ada sejumlah pelaku lain yang muncul belakangan. Satu di antaranya adalah AR, seorang anggota kepolisian berpangkat inspektur satu. Dia ditengarai berperan menagih duit setoran untuk “pengamanan” alat berat.
“AR memungut lebih tinggi, Rp 35 juta per bulan untuk tiap alat berat,” ucap seorang pemodal tambang liar. Menurut mereka, nilai duit setoran naik karena praktik tambang liar di Solok Selatan dan sejumlah kabupaten lain sedang dalam sorotan akibat mencuatnya kasus Dadang.
***
SELAIN mengunjungi Solok Selatan, Tempo mendatangi beberapa lokasi tambang ilegal di Daerah Aliran Sungai Batanghari wilayah Kabupaten Dharmasraya. Penambangan di sana tak hanya menyasar hutan di sekitar anak sungai, tapi juga badan Sungai Batanghari. Di Nagari Koto Nan IV Dibawuah, Kecamatan Sembilan Koto, misalnya, beberapa perahu penambang dilengkapi mesin 35 tenaga kuda masih beroperasi pada Senin, 16 Desember 2024, tak jauh di sisi selatan Bendungan Batanghari.
Perahu-perahu itu menyedot pasir dari dasar sungai, yang kemudian disemburkan ke tepian melalui pipa. Beberapa penambang lantas bertugas mendulang pasir untuk mendapatkan emas.
Seperti di Solok Selatan, aktivitas penambangan di wilayah Dharmasraya ini juga mendapat pasokan solar yang diboyong dari stasiun pengisian bahan bakar umum setempat. Solar bersubsidi itu diangkut menggunakan banyak jeriken berukuran 50 liter.
Perkebunan sawit yang berada di pinggir Sungai Batanghari di Dharmasraya, 16 Desember 2024. Tempo/ Fachri Hamzah.
Beberapa penambang melakukannya secara terang-terangan tanpa takut ditangkap. “Tapi kami waswas kalau orang yang tidak dikenal datang ke tempat ini,” kata seorang penambang ketika dijumpai Tempo.
Kepala Program Studi Ilmu Politik Universitas Andalas, Padang, Dewi Anggraini mengungkapkan, jaringan pemburu rente pada praktik tambang ilegal di Sumatera Barat melibatkan banyak pihak. Hasil studinya tahun lalu mendapati adanya relasi kepentingan yang kompleks antara pemodal tambang, politikus, birokrat lokal, dan aparat keamanan dalam bisnis ini.
“Kepentingan ekonomi dan politik saling terkait, menciptakan jaringan kuat yang sulit diurai,” ujar Dewi dalam diskusi publik bertajuk “Mampukah Kapolri Sapu Bersih Tambang Ilegal?” yang digelar di Padang, Rabu, 4 Desember 2024.
Relasi itu yang membentuk praktik beking. Aparat negara juga mengail cuan sebagai penyedia alat berat hingga bahan bakar minyak. Mereka, dia menjelaskan, mengambil keuntungan paling besar dan memberikan sedikit sisanya kepada warga yang menjadi penambang di lapangan.
“Karena itu, praktik rent seeking dalam tambang emas ilegal tidak hanya merugikan lingkungan, tapi juga memperparah ketimpangan ekonomi,” tutur Dewi.
Penambangan emas dan galian C ilegal yang berlangsung bertahun-tahun dan makin masif di DAS Batanghari membuat Aswandi cemas. Guru Besar Fakultas Pertanian Universitas Jambi itu memperkirakan Sungai Batanghari tak lama lagi benar-benar akan mati. “Sebab, kondisi airnya sudah sangat tercemar. Hanya sedikit biota yang masih bertahan di sana,” kata Aswandi pada Kamis, 19 Desember 2024.
Lima tahun lalu, Aswandi menjadi bagian dari tim riset yang diinisiasi Pusat Pengendalian Pembangunan Ekoregion Sumatera. Hasil penelitian tersebut telah dipublikasikan dalam laporan bertajuk “Perlindungan dan Pengelolaan DAS Batanghari Berkelanjutan Melalui Kerjasama Antar Daerah”. Aswandi juga mengangkat topik kompleksitas perlindungan Sungai Batanghari ketika dikukuhkan menjadi guru besar pada Oktober 2023.
Menurut Aswandi, selain dirusak oleh tambang ilegal, perubahan fungsi hutan untuk perkebunan sawit dan hutan tanaman industri memperburuk kondisi DAS Batanghari. “Tekanan pada DAS Batanghari meningkat, yaitu segala kegiatan fisik, ekonomi, dan sosial, serta kebijakan yang tidak menjadikan Sungai Batanghari sebagai parameter monitoring dan evaluasi pembangunan,” ujarnya.
Tanda kematian Batanghari sudah terlihat di Sungai Batang Sangir, yang membujur tak jauh dari lokasi tambang emas ilegal di Nagara Lubuk Ulang Aling Selatan. Kali itu tak hanya keruh, tapi juga dangkal kendati saat ini sudah masuk musim hujan. Sempadan sungai dipenuhi pecahan batu dan sedimen pasir yang dikumpulkan para penambang. ●
Fachri Hamzah berkontribusi dalam laporan ini.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo