Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Mentawai - Sebiduk perahu datang dengan kecepatan tinggi dari laut, merapat ke pantai di Pulau Simatapi, Desa Sinakak, Pagai Selatan, Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat. Dari dalam perahu itu, empat nelayan bergegas mengangkat seorang rekannya yang pingsan. Mereka membawanya ke rumah, dan memanggil petugas kesehatan di Desa Sinakak, Rahmat Ziki.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Nelayan yang pingsan itu, Pirdelin Berisigep, 30 tahun, mulai siuman ketika digotong. Wajahnya pucat pasi. Rahmat yang datang ke rumahnya berencana memasang selang infus ke tangannya, tapi gagal, karena Pirdelin bergerak gelisah. Rahmat memberinya suntikan di lengan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pirdelin pingsan saat akan menyelam pagi itu, di depan Pulau Pecah Belah, di perairan Pagai Selatan, Jumat, 1 September 2023 itu. Di sana, di muka perairan itu, menghampar megaluas Samudera Hindia, yang melanglang buana hingga Afrika, dan belahan bumi lainnya. Kepulauan Mentawai berada di barat Pulau Sumatera, yang pernah mencatat adanya gempa besar magnitudo 8,5 pada 10 Februari 1797, dan tsunaminya mengakibatkan ratusan orang meninggal.
Pirdelin dan empat orang lainnya adalah nelayan Desa Sinakak. Mereka biasa menggunakan kompresor untuk menyelam guna mencari teripang, ikan, dan lobster. Kompresor, yang lazimnya untuk memompa ban kendaraan, atau untuk pengecatan menggunakan sprayer, mereka manfaatkan untuk mengalirkan udara melalui selang plastik yang panjangnya puluhan meter agar bisa bernapas di bawah air.
“Kalau dia tadi sempat menyelam, bisa sangat berbahaya hasilnya, karena asam lambungnya sedang naik,” kata Rahmat Ziki kepada Tempo usai menangani Pirdelin. Menurut Rahmat, Pirdelin terserang mag.
Sebagai perawat di Puskesmas Pembantu atau Pustu di Dusun Korit Buah, Desa Sinakak, Rahmat sudah biasa menyaksikan nelayan yang menjadi korban kompresor. Ia pernah menangani nelayan yang sudah lemah dan lumpuh setelah menyelam menggunakan kompresor. Bahkan, ia juga melihat nelayan yang meninggal ketika menyelam dengan menggunakan kompresor.
“Saat ada korban yang meninggal pada 2019, saya diminta pihak gereja untuk melakukan penyuluhan di gereja agar masyarakat tidak lagi menggunakan kompresor dan mengajarkan pertolongan pertama untuk korban kompresor,“ kata Rahmat, Senin, 2 Oktober 2023 lalu.
Beberapa tahun setelah ada korban meninggal, nelayan di Sinakak berhenti menggunakan kompresor. Namun belakangan, sebagian dari mereka kembali menggunakan kompresor. “Itu karena sedang badai, ikan susah dicari, makanya mereka kembali menyelam pakai kompresor,“ kata Rahmat.
Pirdelin Berisigep adalah satu dari banyak nelayan di Desa Sinakak yang kerap menggunakan kompresor saat menyelam. Ia mampu menyelam pada kedalaman 50 meter hingga 60 meter ke dasar laut.
Malam sebelum Pirdelin Berisigep pingsan, ia dan empat temannya pergi ke Pulau Pecah Belah, sekitar satu kilometer dari Pulau Simatapi. Mereka menyelam mencari teripang, lobster, dan ikan. Di perahu mereka, ada satu kompresor dengan merek Shark. Dua selang plastik berwarna kuning ditancapkan pada kompresor itu. Dua selang dengan panjang puluhan meter itulah yang mereka andalkan untuk bernapas saat dua penyelam terjun ke laut.
Mereka menyelam bergantian untuk mengambil teripang di dasar laut. Teripang hasil tangkapan itu mereka bawa pulang dan langsung diolah di pondok mereka di Pulau Pecah Belah. Cara mengolahnya, teripang mereka rebus dengan air tawar bercampur garam, lalu mereka asapi. Satu kilogram teripang kering bisa berharga Rp750 ribu hingga Rp1,2 juta.
“Kalau tidak menggunakan kompresor, tidak akan bisa mengambil teripang, tidak tahan napas kami kalau berenang manual. Kalau dengan kompresor bisa sampai dua jam di dalam laut,” kata Pirdelin kepada Tempo di Sinakak, sehari setelah insiden menimpanya, Sabtu, 2 September 2023.
Pirdelin menceritakan sudah lama menyelam dengan kompresor. Ia juga menyadari menggunakan kompresor banyak risikonya, dari lumpuh hingga meninggal. Ia juga merasa sudah mulai kehilangan pendengaran, lututnya sering kesemutan, dan kakinya sering sakit pada persendian.
“Saya sebenarnya takut juga, karena kompresor itu anginnya kotor, tidak sehat, tapi inilah tuntutan hidup, bekerja di laut itu tantangannya nyawa,” kata Pirdelin.
Seperti nelayan lainnya, ia mengambil teripang hanya ketika musim gurita berlalu. Musim gurita di perairan Sinakak semakin pendek, sekarang hanya berlangsung pada Januari hingga Mei. Pada saat itu nelayan di Sinakak akan fokus menangkap gurita yang bisa dicari di karang pada kedalaman 3-4 meter dan tidak perlu menggunakan kompresor.
Setelah musim gurita berlalu, mereka kehilangan pendampatan, sehingga mereka berani menempuh risiko menyelam puluhan meter dengan kompresor untuk memungut teripang yang hidup di laut dalam. Pilihan lain adalah menangkap lobster dan kepiting, tapi jumlahnya tidak lagi banyak.
Kompresor merk Shark yang digunakan nelayan Mentawai untuk alat bantu pernapasan melalui selang plastik. TEMPO/Febrianti
Desa Sinaka adalah sentra penangkapan gurita di Kepulauan Mentawai. Lautnya kaya dengan teripang dan lobster. Berdasarkan data dari Pemerintah Desa Sinakak, nilai penjualan gurita tiap tahun mencapai Rp4 miliar.
Tuntutan hidup juga membuat nelayan Sinakak lainnya, Iwan Sababalat, 26 tahun, masih menggunakan kompresor saat menyelam. Iwan berburu teripang tidak hanya di laut sekitar Sinakak, tetapi sampai ke Pulau Mega di Bengkulu yang jaraknya sekitar satu hari naik boat dari Dusun Sinakak, tempat ia tinggal. Kepulauan Mentawai, Pulau Mega, dan
“Saat pertama menyelam menggunakan kompresor di sana saya diterjang ombak, kacamata selam saya lepas dan seorang kawan saya meninggal karena dihantam ombak yang kencang,” kata Iwan. Namun kejadian itu tak menyurutkan Iwan untuk kembali menyelam di Pulau Mega. Tahun berikutnya ia kembali ke Pulau Mega ketika pengumpul lobster yang memodali dengan ransum dan BBM memanggilnya.
“Selama tiga bulan saya bisa dapat Rp23 juta di sana, karena lobsternya banyak, sarang lobster ada di sekeliling pulau itu, di Sinakak paling dua minggu mencari teripang cuma dapat Rp2 juta,” kata Iwan.
Ia mencari lobster juga menggunakan kompresor. Tapi, kedalamannya hanya 10 hingga 15 meter. Akibat menggunakan kompresor, Iwan mengaku sudah tiga kali kena “air kram”. Ini istilah nelayan Sinakak saat terkena dekompresi karena menggunakan kompresor unuk pernapasan. Tiba-tiba usai menyelam sendinya sakit seperti kesemutan dan kebas.
“Kalau lama bekerja, kedua sendi saya sekarang terasa sakit, kata orang kalau sudah kena nggak akan pulih lagi,” katanya. Ketika menggunakan kompresor, Iwan biasanya menyelam hingga kedalaman 60 meter selama 20 menit.
Nelayan yang lebih tua di Sinakak mulai sadar akan bahaya menggunakan kompresor. Nursan Samaloisa, 52 tahun, menceritakan sudah sejak 1992 menggunakan kompresor untuk menyelam. Menurut dia, nelayan Mentawai mulai memakai komprespor pada 1980-an, karena diajari nelayan asal Madura yang datang menangkap teripang di Mentawai.
“Kompresor itu yang menyebabkan teripang cepat habis, karena semua teripang dari yang besar sampai yang kecil diambil dengan mudah di dasar laut,” katanya.
Menurut Nursan, pertama memakai kompresor itu enak. Berada di dalam laut selama tiga hingga empat jam tidak terasa. “Saya pernah menyelam 40 meter sampai 60 meter mencari teripang gajah,” ujarnya.
Teripang gajah adalah teripang yang paling mahal dan berada pada kedalaman hingga 60 meter. Saat itu harganya Rp700 ribu per kilogram setelah dikeringkan.
Pada 2000 saat menyelam mencari gurita di Pulau Sibaru-Baru, di periaran Pagai Selatan, kejadian dekompresi menimpa Nursan. Saat itu, ia menyelam di kedalaman 30 meter mencari teripang selama 15 menit. Setelah selangnya ditarik rekannya ia bisa naik ke atas perahu. Awalnya ia merasa kondisi tubuhnya biasa saja.
“Saat di perahu saya akan berjalan ke depan, karena melihat teman saya tidak hati-hati menangani selang kompresor. Sebab, jika patah bisa mati teman kami yang di bawah. Tapi, tubuh saya tidak bisa digerakkan, lumpuh sebelah,” ujarnya.
Temannya membalur tubuhnya dengan minyak kelapa bercampur jahe dan mengurutkannya. Sampai di darat ia mula pulih, bisa berjalan, tapi kaki kirinya tidak bisa digerakkan.
Setelah pulih, ia memutuskan berhenti menyelam karena mulai merasa takut. Waktu itu memang banyak penyelam yang lumpuh dan meninggal akibat menggunakan kompresor, termasuk teman-temannya.
“Mungkin sudah belasan orang di Sinakak yang meninggal karena kompresor, itu belum termasuk nelayan dari Madura dan Sibolga, mereka dikubur di pulau-pulau kecil,” ujarnya.
Kini, Nursan memilih mencari kepiting bakau dan menjadi pengepul kepiting dari nelayan lain di Dusun Sinakak. Menurutnya harga kepiting juga mahal, seekor kepiting seberat satu kilogram harganya Rp250 ribu. Saat musim gurita ia beralih menjadi pengepul gurita.
Tiga tahun lalu ia tergoda untuk kembali menyelam dengan kompresor, karena melihat banyak nelayan di Sinakak memakainya untuk mencari lobster. Ia pergi ke Sikakap, ibu kecamatan paling ramai di Pulau Pagai Utara untuk membeli kompresor merek Shark seharga Rp12 juta. Namun, ketika melihat kedua anak lelakinya yang masih remaja ketagihan menyelam menggunakan kompresor, akhirnya kompresor itu ia jual kembali.
“Diam-diam mereka menyelam terlalu dalam, ini ketahuan saat mereka mendapat teripang gajah, jadi saya jual lagi kompresornya, daripada mereka celaka,” kata Nursan.
Tidak semua nelayan penyelam di Sinakak tertarik menggunakan kompresor. Rohintius, 25 tahun, juga menyelam untuk menangkap gurita, kepiting, lobster, dan teripang. Tapi, ketika menyelam, ia melakukan secara alamiah, tanpa bantuan alat untuk bernapas, termasuk kompresor. Ia sanggup menyelam pada kedalaman tujuh meter.
“Mamak (ibu) saya berpesan jangan sekali-kali saya memakai kompresor, itu saya turuti, karena kakak ipar saya meninggal di dalam laut akibat kompresor. Dua kakak tante saya juga meninggal karena kompresor,” kata Rohintius kepada Tempo.
Ia tidak tergiur dengan pendapatan besar dari penyelam yang menggunakan kompresor. “Saya tidak tertarik, taruhannya nyawa,” kata Rohintius.
Aturan pelarangan kompresor
Sebenarnya, penggunaan kompresor untuk menyelam sudah dilarang pemerintah dan dicantumkan pada Pasal 9 Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan. Namun sebagian nelayan di banyak tempat, termasuk di Sinakak tidak menggubrisnya.
Penyuluh perikanan dari Kementerian Kelautan dan Perikanan di Pagai Selatan, Bayu Sisyara mengatakan menyelam dengan kompresor berbahaya karena oksigen yang dihasilkan kompresor bisa tercampur gas CO2 hasil pembuangan mesin diesel yang menggerakkan kompresor itu. “Kompresor sudah dilarang pemerintah, tapi di lapangan kami sulit melarangnya, karena itu menyangkut hidup mereka,” kata Bayu.
Karena itu, menurut Bayu, cara yang bisa ia lakukan saat ini hanya memberikan penyuluhan kepada masyarakat nelayan tentang bahaya kompresor, walau sebetulnya mereka lebih tahu, mengalami, dan telah banyak melihat kenyataan ada yang meninggal dan lumpuh.
“Di setiap kampung nelayan di Pagai Selatan, termasuk di Desa Sinakak pasti ada cerita tentang nelayan yang meninggal karena menggunakan kompresor,” katanya.
Menurut Bayu, saat ini nelayan yang menyelam dengan kompresor tidak seekstrem dulu. Sekarang nelayan lebih banyak mencari lobster dan teripang gamad, yang bisa ditemukan pada kedalaman 5 metera hingga 15 meter. “Bagi nelayan yang masih memakai kompresor, setiap saya katakan stop, mereka bilang ‘ini demi kehidupan’,” kata Bayu.
Liputan ini didukung oleh Pulitzer Center
Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu.