Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Koalisi Sulawesi Tanpa Polusi menyerahkan surat permohonan penghapusan ketentuan Pasal 3 Ayat 4b dalam Perpres 112/2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan ke Menteri Energi Sumber Daya Mineral dan Menteri Sekretaris Negara di Kantor Kementerian ESDM dan Kementerian Sekretariat Negara, Selasa, 1 Oktober 2024. Koalisi terdiri dari 20 organisasi masyarakat sipil di Pulau Sulawesi dan Jakarta.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Koalisi menyebutkan surat permohonan penghapusan ketentuan Pasal 3 Ayat 4 dalam Perpres 112/2022 bertujuan agar Presiden Joko Widodo melalui Kementerian ESDM merevisi atau menghapus pasal mengenai pengecualian pembangunan PLTU untuk kepentingan industri pengolahan mineral.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Setelah menyerahkan surat permohonan tersebut, Dinamisator Koalisi Sulawesi Tanpa Polusi, Muhammad Al Amin, mengatakan bahwa langkah pemerintah saat ini masih sangat jauh untuk mencapai target penurunan suhu Bumi di bawah 1,5 derajat Celsius.
Menurutnya, perpres ini masih memberi ruang yang sangat lebar bagi swasta untuk membangun PLTU baru untuk kepentingan industri. Kondisi ini memperlihatkan bahwa pemerintah tidak serius dan tidak berkomitmen untuk menurunkan emisi karbon di Indonesia.
“Pasal 3 Ayat 4 huruf b dalam Perpres 112/2022 memberikan celah yang signifikan dan membuka ruang yang sangat lebar untuk pembangunan PLTU captive baru. Proporsi PLTU captive dari seluruh kapasitas PLTU batubara di Indonesia telah mencapai hampir 30 persen,” kata Amin saat dihubungi Tempo, Selasa, 1 Oktober 2024.
Menurutnya, pembangunan PLTU industri yang masif dalam hilirisasi nikel untuk baterai kendaraan listrik adalah salah satu faktor penghalang terwujudnya transisi menuju energi terbarukan. Selain itu, pengoperasian pabrik smelter dan PLTU industri di Pulau Sulawesi dan Maluku Utara telah meningkatkan polusi yang menyebabkan dampak kesehatan yang sangat buruk bagi kehidupan masyarakat, khususnya perempuan, dan anak-anak.
“Tanpa intervensi serius, emisi CO2 dari PLTU captive diperkirakan akan mencapai 80 Mt (metrik ton) per tahun dan terakumulasi hingga 2 Gt (giga ton) antara tahun 2025 hingga 2050. Situasi ini sangat berbahaya bagi masyarakat sekitar dan akan memperburuk krisis iklim yang terus menelan korban,” ujar Amin yang juga Direktur Walhi Sulawesi Selatan.
Menurut dia, Koalisi Sulawesi Tanpa Polusi telah mengkaji Perpres 112/2022. Amin menekankan bahwa perpres itu menunjukan bahwa Presiden Jokowi tidak serius untuk menghentikan pembangunan PLTU sebagai sumber energi di Indonesia, sebagaimana pidato-pidatonya di
forum-forum internasional.
Poin pengecualian pada Pasal 3 ayat 4 huruf b menunjukkan keberpihakan Jokowi terhadap PLTU yang semakin memperburuk lingkungan di Indonesia. Dampak lingkungan dari aktivitas PLTU juga sangat besar dan signifikan.
Sedangkan, Sunardi dari Walhi Sulawesi Tengah menerangkan bahwa PLTU captive di Sulawesi Tengah, di kawasan industri milik PT IMIP dan PT GNI, telah menyebabkan perubahan bentang alam dan hilangnya biodiversitas endemik Sulawesi. Bahkan dampaknya sampai mengancam
sumber pangan lokal di Kabupaten Morowali dan Morowali Utara.
“Limbah air panas dari PLTU dan aktivitas kapal-kapal pengangkut batubara telah menghancurkan ekosistem laut dan berdampak pada penurunan pendapatan nelayan. Selain itu, menurunkan kualitas kesehatan masyarakat sekitar, khususnya nelayan dan perempuan pesisir,” kata Sunardi.
Bondan Andriyanu, juru kampanye iklim dan energi Greenpeace Indonesia, mengatakan Pasal 3 Ayat 4 huruf b dalam Perpres 112/2022 adalah langkah mundur dalam komitmen transisi energi bersih Indonesia. Alih-alih mempercepat peralihan dari energi fosil, kata dia, justru membuka ruang lebih besar untuk investasi pada energi kotor yang merusak lingkungan dan membahayakan kesehatan masyarakat.
“Greenpeace mendesak Kementerian ESDM untuk tetap konsisten dalam memprioritaskan pengembangan energi terbarukan dan mengutamakan kepentingan lingkungan serta kesehatan publik, bukan kepentingan industri energi fosil.” ucapnya.
Melalui penyerahan surat permohonan ini Amin berharap Presiden Jokowi dan Presiden Terpilih, Prabowo Subianto, bersedia menghapus ketentuan mengenai pengecualian pembangunan PLTU untuk kepentingan industri yang tertulis di Pasal 3 Ayat 4 huruf b Perpres 112/2022.
Untuk diketahui, saat ini dominasi PLTU captive untuk pengolahan nikel di Sulawesi dan Maluku Utara telah mencapai 77 persen dari total kapasitas PLTU captive di Indonesia, dengan 88 unit PLTU captive di Sulawesi dan Maluku yang memiliki total kapasitas 17,6 GW.
Pilihan Editor: Google Maps Hadirkan Fitur Pelaporan Insiden pada Android Auto