Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Sungai Balantieng di Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan, tercemar beragam polutan.
Warga Desa Batukaropa, Bulukumba, membangun komunitas untuk mengurangi sampah plastik pencemar sungai.
Inisiatif masyarakat tak disokong komitmen negara untuk memerangi sampah plastik.
SUDAH beberapa tahun Andi Fatmawati, 43 tahun, gelisah menghadapi persoalan timbunan sampah di kampungnya, di Desa Batukaropa, Kecamatan Rilau Ale, Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan. Sampah yang paling ia khawatirkan adalah plastik kemasan sekali pakai. Sampah plastik mencemari Sungai Balantieng di dekat desanya sehingga air kali itu tak layak lagi dikonsumsi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sungai Balantieng merupakan bagian dari daerah aliran sungai (DAS) Balantieng yang terhampar seluas 20 ribu hektare—berjarak 165 kilometer ke arah timur dari Kota Makassar. Sungai sepanjang 53,39 kilometer ini berhulu di Gunung Lampobatang. Pada masa Orde Baru, setidaknya hingga awal 1990-an, sungai ini masih menjadi sumber utama bagi masyarakat untuk memenuhi kebutuhan air minum.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Tapi sekarang sudah banyak tercemar. Selain plastik, limbah sabun cuci, pestisida, dan logam berat," kata Fatmawati, Ketua Komunitas Merdeka Sampah (Korsa) Desa Batukaropa, pada Senin, 16 Desember 2024.
Memang sampah bukan satu-satunya sumber perusak Sungai Balantieng. Di sana juga ada praktik pertambangan ilegal yang menjadi biang alih fungsi lahan DAS Balantieng. Kerusakan DAS ditengarai telah memicu bencana banjir bandang beberapa tahun terakhir. Meski begitu, Fatmawati ikut mengatasi persoalan lewat upaya yang bisa ia lakukan.
Komunitas Merdeka Sampah atau Korsa di Desa Batukaropa, Kecamatan Rilau Ale, Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan, membuka toko refill untuk mengurangi ketergantungan masyarakat terhadap plastik sekali pakai, Selasa, 10 Desember 2024. Dok. Ecoton
Bak gayung bersambut, niat mereka membangun jaringan kelompok masyarakat sipil untuk menyokong gerakan itu menemukan jalan. Sejak Juli 2024, organisasi yang berfokus pada pelestarian ekosistem sungai, Ecological Observation and Wetland Conservations (Ecoton), datang untuk meneliti pencemaran di Sungai Balantieng. Penelitian lembaga yang berbasis di Surabaya, Jawa Timur, itu berfokus pada pengukuran kualitas air sungai yang selama ini disebut tidak tercemar.
Rupanya, Ecoton mendapati pencemaran mikroplastik jenis fiber dan filamen atau yang berasal dari limbah kantong plastik serta pembungkus makanan. Jadi mereka mulai membangun kesadaran masyarakat dalam mengurangi sampah plastik. Bersama Fatmawati dan masyarakat sekitar, Ecoton membangun Korsa yang memiliki program bank sampah dan toko Sabuka—tempat isi ulang sabun tanpa kemasan plastik sekali pakai.
Pekan lalu, toko Sabuka diresmikan bersama Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Bulukumba. Toko ini bekerja sama dengan perusahaan grosir. Untuk sementara, toko ini cukup berhasil menggaet konsumen dari masyarakat sekitar dengan omzet Rp 500 ribu dalam satu pekan terakhir. “Rencananya, toko refill ini akan kami buka di setiap dusun kalau sudah mendapat anggaran pemerintah,” ujar Fatmawati.
Toko Sabuka menawarkan konsep berbelanja ramah lingkungan. Konsumen dapat membeli produk secara curah dengan membawa wadah sendiri dari rumah. Targetnya, gerakan ini bakal memangkas 21 persen sampah residu atau sulit didaur ulang di Desa Batukaropa. Adapun sisanya 47 persen sampah organik dan 32 persen sampah jenis daur ulang.
Peneliti dari Ecoton, Amiruddin Muttaqin, menyebutkan Desa Batukaropa hanyalah satu dari tujuh desa yang menjadi target penelitiannya. Mereka berfokus mengukur kualitas air di Sungai Balantieng dari hulu, wilayah tengah, hingga hilir. “Kami menemukan pencemaran mikroplastik dalam sungai sekaligus mendapati produk-produk sampah plastik yang menjadi sumber pencemar,” ucap Amiruddin.
Komunitas Merdeka Sampah atau Korsa di Desa Batukaropa, Kecamatan Rilau Ale, Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan, membuka toko refill untuk mengurangi ketergantungan masyarakat terhadap plastik sekali pakai, Selasa, 10 Desember 2024. Dok. Ecoton
Penelitian Ecoton menyoroti 11 variabel jenis pencemar, termasuk kandungan klorin, nitrat, amonia, dan fosfat. Di wilayah tengah Sungai Balantieng yang disebut Anrang, misalnya, penelitian menemukan mikroplastik dan kandungan amonia dengan konsentrasi 1,8 miligram per liter (ppm), lebih tinggi dibanding batas maksimum 1,5 ppm. Senyawa kimia dengan rumus NH3 yang biasa ditandai dengan gas dan bau tajam ini juga ditemukan di hulu Sungai Balantieng.
Amiruddin turut mendapati konsentrasi fosfat 0,4 miligram per liter di Desa Batukaropa atau melebihi ambang batas maksimum yang hanya 0,2 ppm. Senyawa berbahaya lain ikut ditemukan di Sungai Balantieng yang disinyalir akibat aktivitas pertambangan ilegal, sampah, pestisida, dan sumber pencemar lain.
Menurut Amiruddin, persoalan sampah menjadi salah satu perhatian lembaganya karena Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) Borong Manempa di Kabupaten Bulukumba hanya berkapasitas 190.579 ton. Tempat sampah tersebut dibangun pada 2015 dan hanya sanggup menampung 10 persen dari total sampah di kabupaten itu. Adapun 90 persen sisanya dibuang ke sungai, dibakar oleh masyarakat, atau tercecer di sembarang tempat.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Bulukumba Andi Uke Indah Permatasari mengatakan sampah memang tidak hanya menjadi masalah di Desa Batukaropa. Bahkan seluruh wilayah di Kabupaten Bulukumba menghadapi bencana sampah plastik. “Kami menyadari keterbatasan sarana pengangkutan dan pengolahan sampah. Jadi harus ada upaya mengurangi sampah sejak dari sumbernya,” tutur Uke.
Salah satu upaya yang disiapkan pemerintah adalah mengurangi belanja plastik sekali pakai atau menggunakan wadah daur ulang. Uke mendorong agar pendirian toko refill di Desa Batukaropa dapat direplikasi di tempat lain. Keberadaan toko ini diharapkan dapat mengubah pola pikir masyarakat dalam upaya pengelolaan sampah yang bertanggung jawab.
Komunitas Merdeka Sampah atau Korsa di Desa Batukaropa, Kecamatan Rilau Ale, Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan, membuka toko refill untuk mengurangi ketergantungan masyarakat terhadap plastik sekali pakai, Selasa, 10 Desember 2024. Dok. Ecoton
Komitmen Pemerintah Diragukan
Permasalahan sampah plastik yang dihadapi Kabupaten Bulukumba mungkin tak seberapa dibanding sengkarut tata kelola nasional. Dalam Konferensi ke-5 Komite Negosiasi Antar-Pemerintah atau The Fifth Session-Intergovernmental Negotiating Committee (INC-5) di Busan, Korea Selatan, pada awal Desember 2024, sikap Indonesia dipermasalahkan. Delegasi Indonesia di muka sidang dinilai condong pada kehendak negara produsen minyak yang menjadi sumber plastik.
Manajer Kampanye Polusi dan Keadilan Perkotaan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Abdul Ghofar menyebutkan posisi Indonesia kurang ambisius dalam menekan jumlah sampah plastik nasional. Indonesia justru melemahkan pengaturan siklus hidup plastik, sejak tahap produksi hingga pengaturan limbah yang sedang dibahas dalam traktat internasional. “Justru Indonesia mengusulkan terminologi emissions and releases diganti menjadi releases and leakages,” kata Ghofar.
Usulan tersebut dinilai tidak menghitung emisi yang dihasilkan dalam rantai siklus hidup plastik. Proposal yang disodorkan Indonesia juga tidak mengakui kontribusi pekerja informal, seperti pemulung dan masyarakat adat. Alih-alih mengadopsi model daur ulang, Indonesia hanya menyodorkan ambisi semu melalui pembangkit listrik tenaga sampah (PLTSa) atau mekanisme refuse derived fuel (RDF).
Selain lemahnya keinginan untuk menekan produksi plastik, pemerintah disoal lantaran mengabaikan peta jalan pengurangan sampah nasional. Ecoton mendapati pemerintah justru tertutup untuk membuka tanggung jawab industri penghasil plastik dalam tanggung jawab mengurangi sampah. “Sehingga publik kesulitan memantau penerapannya,” ucap Kepala Laboratorium Ecoton Rafika Aprilianti.
Aktivis lingkungan Indonesia, Aeshnina Azzahra Aqilani, menyampaikan protes dalam sidang delegasi INC-5 di Busan, Korea Selatan, 1 Desember 2024. Prigi Arisandi/Ecoton
Peta jalan pengurangan sampah ini sebetulnya menjadi kewajiban korporasi yang diatur dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 75 Tahun 2019. Dalam peraturan itu disebutkan 18 produsen yang harus membuat percontohan dari 42 korporasi yang telah memiliki dokumen peta jalan. Komitmen pemerintah adalah dapat mengurangi 30 persen produksi plastik nasional pada 2029 atau menekan jumlah sampah plastik yang kini sudah menembus puluhan juta ton.
Direktur Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah, dan Bahan Beracun Berbahaya (PSLB3) Kementerian Lingkungan Hidup Rosa Vivien Rahmawati menyebutkan saat ini sudah ada 20 produsen di pelbagai sektor yang berkomitmen membangun peta jalan pengurangan sampah. Sektor tersebut berasal dari manufaktur, retail, dan jasa makanan atau minuman.
Vivien tak memungkiri bahwa timbunan sampah nasional mencapai 38,6 juta ton pada 2023, yang tersebar di 365 kabupaten atau kota. Jumlah tersebut diprediksi menembus 64,6 juta ton bila semua kabupaten atau kota melapor ke pemerintah pusat. “Itulah jumlah sampah di Indonesia yang harus kita atasi bersama, baik sebagai individu maupun dari para produsen,” tutur Vivien.
Vivien mengatakan pemerintah terus mendorong perubahan paradigma pengelolaan sampah, dari metode kumpul, angkut, lalu buang menjadi pengurangan sampah dari sumber. Pemerintah juga mewajibkan penerapan prinsip ekonomi sirkular atau extended producer responsibility (EPR). Cara ini dinilai sebagai jawaban untuk menekan lonjakan jumlah sampah plastik di masa mendatang. ●
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo