Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Semua keluarga di kampung tua Sembulang Hulu, Kelurahan Sembulang, Kecamatan Galang, Kota Batam, kompak menolak relokasi untuk proyek Rempang Eco-City.
Warga mengamankan kampung secara swakarsa untuk mempertahankannya dari penggusuran paksa BP Batam.
BP Batam masih bersengketa dengan pemilik dan penggarap lahan di lokasi relokasi di Kampung Tanjung Banon, Kelurahan Sembulang.
MATAHARI muncul dari balik pepohonan jati dan mahoni yang rindang di depan rumah Miswadi di kampung tua Sembulang Hulu, Pulau Rempang, Kepulauan Riau, pada Kamis, 7 Maret 2024. Daun-daun pisang dan bibit mentimun yang baru sepekan ia tanam di samping rumah berkilau terkena sinar mentari pagi itu. "Beginilah kampung kite, yang ingin dipertahankan," kata Miswadi dengan logat Melayu kental kepada Tempo yang menginap di rumahnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lelaki yang akrab disapa Wadi ini mengaku sudah lama tidak menggarap kebunnya. Sebab, ia sibuk menjaga kampung yang terancam pengosongan paksa demi pembangunan Rempang Eco-City, salah satu proyek strategis nasional (PSN). Proyek ambisius itu menghantui warga sejak awal 2023, sampai-sampai pecah bentrokan dengan aparat pada 7 September 2023. "Sudah lama tak kerja (berkebun), sekarang mencoba tanam timun, untuk perbaiki ekonomi," ucap Wadi, 46 tahun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kebun seluas 6 hektare itu, Wadi menjelaskan, adalah warisan bapaknya. Begitu pun rumah yang ia, istri, dan kedua anaknya tinggali saat ini. Rumah seluas 120 meter persegi itu dibangun bapaknya secara bertahap dan baru rampung pada 2015. Ia mengakui, seperti warga Sembulang Hulu lain, bapaknya memiliki surat tebas (surat keterangan) yang ditandatangani oleh Camat Galang, Kota Batam, pada 1994. Namun pemerintah tak kunjung memberikan sertifikat tanah di kampung tua.
Wadi lahir di Kampung Sembulang Hulu pada 1978. Sebelum mendiami rumah yang dekat dengan kebunnya ini, dia tinggal di rumah orang tuanya yang berjarak sekitar setengah kilometer. Rumah tua itu juga warisan nenek moyangnya. “Sekarang yang tinggal di sana cuma emak saya (berusia 69 tahun). Bapak saya meninggal tahun 2013 di usia 64 tahun,” tutur Wadi.
Semenjak bentrokan 7 September 2023 itu, warga lima kampung tua, termasuk Sembulang Hulu, yang menjadi target pembangunan tahap pertama, tidak lagi bisa beraktivitas normal. Masyarakat hidup dalam kerisauan dan selalu waswas akan terulangnya penggusuran. Bentrokan itu dipicu pengerahan seribu personel gabungan Tentara Nasional Indonesia, Kepolisian RI, dan Satuan Polisi Pamong Praja Kota Batam serta petugas Badan Pengusahaan Batam (BP Batam) untuk mematok lahan. Warga menolaknya.
Menurut Wadi, sebagian besar warga Sembulang Hulu yang merupakan petani kebun dan nelayan merasa takut bekerja. "Kalau nak bekerja, sampai di laut yang teringat kampung di darat, kena gusur atau enggak, ya?" ucapnya. Karena itu, warga memperketat keamanan kampung. “Posko Tim Solidaritas Nasional tidak pernah kosong dari penjagaan," ujar Wadi, yang bangga akan kekompakan 91 keluarga kampungnya menolak relokasi.
Bagi Wadi dan warga Sembulang Hulu lain, hujan batu di kampung sendiri lebih baik ketimbang pindah ke kampung lain meski diiming-imingi rumah beton bertipe 45 dan tanah seluas 500 meter persegi. "Biarpun mancing ikan cuma dapat 1-2 kilo, ataupun kami jual pucuk ubi (singkong) sekilo hanya laku Rp 2.000, kami senang di kampung ini," katanya. Kalau warga kampung pindah ke tempat yang lain, Wadi menambahkan, akan hilang sejarah yang dibangun ratusan tahun oleh nenek moyang.
Janji pemerintah bahwa PSN bakal membuka lapangan pekerjaan bagi warga Rempang, menurut Wadi, mustahil terwujud. "Apakah ada jaminan kami umur 40 tahun ini bisa jadi manajer di sana?" ucapnya. Menurut dia, tidak ada sosialisasi baik oleh pemerintah maupun perusahaan yang akan membangun pabrik kaca dan panel surya di sana. "Bagaimana dampaknya bagi lingkungan," tutur Wadi, yang mendapat informasi bahwa pabrik itu menggunakan pasir silika dari tambang yang mengancam wilayah penangkapan ikan nelayan Rempang.
Menurut Wadi, kunci keberhasilan warga Sembulang Hulu bertahan dari rayuan relokasi adalah kebersamaan. Mereka secara bergantian berjaga di pos. Setiap pendatang yang hendak memasuki kampung ditanyai keperluannya. Misalnya, beberapa waktu lalu mereka mengusir karyawan PT Makmur Elok Graha—anak usaha Artha Graha Group milik Tomy Winata yang menggarap Rempang Eco-City—yang hendak menuju pantai. “Sebelumnya juga ada Yayasan Artha Graha mau menggelar acara Jumat berkah di masjid, kami suruh putar balik."
Upaya itu harus dilakukan warga Sembulang Hulu untuk menjaga kekompakan menolak relokasi. Wadi berpendapat, jika satu rumah bisa dirayu untuk mengikuti relokasi, rumah lain akan termakan rayuan juga. "Kami akan terus kompak membela tanah nenek moyang kami. Kalau mereka mengintimidasi, kami juga harus intimidasi mereka," ucapnya. Selain terus menjaga kampung, warga Rempang mulai beraktivitas untuk memulihkan ekonomi yang terganggu akibat kerusuhan September 2023 itu.
Keresahan juga meliputi warga Pulau Rempang yang telah direlokasi ke tempat penampungan sementara di Kota Batam. Menurut siaran pers BP Batam pada 22 Februari 2024, sebanyak 94 keluarga sudah dipindahkan ke tempat penampungan sementara di Kota Batam. Salah satu penampungan itu adalah kawasan rumah toko Buana Central Park di Kelurahan Tembesi, Kecamatan Sagulung. Kawasan ini baru selesai dibangun beberapa tahun lalu.
Ramadhan, yang berasal dari Kampung Pasir Panjang, adalah salah satu penghuni ruko di Buana Central Park. Tampak di dalam ruko yang ditempati Ramadhan barang pindahannya yang masih bertumpuk di sudut ruangan. “Saya sama istri tidur di sini, di atas anak dan istrinya,” ujar Ramadhan. Uang sewa ruko itu, kata Ramadhan, dibayar BP Batam. Ia juga mendapat uang biaya hidup sebesar Rp 1,2 juta setiap bulan.
Warga Sembulang Hulu saat berada di Posko Bantuan Hukum Solidaritas Nasional Untuk Rempang, 7 Maret 2024/Tempo/Yogi Eka Sahputra.
Ramadhan mengungkapkan, uang itu tidak mencukupi kebutuhan pribadi dan keluarganya yang pindah ke Kota Batam beberapa bulan lalu. Saat ini istri Ramadhan bekerja di salah satu warung makan di dekat kompleks ruko tersebut. Sedangkan dia lebih banyak duduk-duduk santai di depan ruko. "Kadang-kadang main ke Pasar Top 100," ujarnya.
Ia mengenang kehidupannya di Rempang, saat bisa melaut dan memproduksi arang bakau. Dalam satu bulan, ia bisa memperoleh penghasilan Rp 20 juta. Sekarang uang Rp 1,2 juta itu hanya cukup untuk membeli rokok. "Satu bungkus ini Rp 23 ribu, dalam sehari bisa sampai dua bungkus. Sudah habis untuk itu saja," kata Ramadhan, yang juga menyatakan bersyukur anaknya sudah bekerja sehingga bisa membantu kehidupannya.
Ramadhan juga mengaku tidak mendapat informasi lengkap tentang proses pemindahan ke rumah relokasi sebenarnya. Ia hanya pasrah menunggu. "Payah juga nak cakap," ucapnya. Beberapa kali Ramadhan menanyakan progres pembangunan rumah relokasi di Tanjung Banon, Kelurahan Sembulang.
Sejumlah warga yang sudah pindah ke penampungan sementara kembali ke kampung mereka di Rempang untuk mencari penghidupan, seperti melaut dan berkebun. Bahkan ada yang kembali total ke kampung halaman karena tidak kuat hidup di kota. Tempo menjumpai perempuan yang hidup sebatang kara. Ia menolak memberikan identitasnya karena hanya beberapa hari tinggal di ruko relokasi sementara itu. "Tidak tahan, di sekeliling ruko itu banyak tempat karaoke, tak bisa tidur," ujarnya.
Bukan cuma masyarakat lima kampung tua yang tergusur proyek Rempang Eco-City yang resah. Sebanyak 32 warga yang tinggal dan menggarap lahan di Tanjung Banon yang menjadi lokasi relokasi penduduk lima kampung tua itu pun gundah. Lahan itu diklaim dialasi hak pengelolaan (HPL) BP Batam dan warga dianggap menggunakan lahan itu tanpa izin. Sampai 19 Maret 2024, sebanyak 30 warga sudah menyerahkan lahannya dan mendapatkan sagu hati dari BP Batam.
Nasir, 70 tahun, salah satu warga yang telah menyerahkan lahannya. Awalnya ia tidak mau memberikan lahan tersebut kepada BP Batam karena memiliki surat tebas atau alas hak yang dikeluarkan pada 1991 oleh camat kala itu. Menurut dia, kedudukan surat tebas itu sudah kuat untuk mempertahankan tanah yang dimiliki puluhan tahun tersebut. “Tapi gimana lagi, kawan-kawan menyerahkan juga, tidak mungkin saya bertahan sendiri,” kata Nasir saat ditemui di rumahnya, 20 Maret 2024.
Nasir mengatakan, berdasarkan hitungan BP Batam, sagu hati yang ia peroleh dari tanahnya yang seluas 1,4 hektare lebih adalah Rp 196 juta. Sampai saat ini ia masih menunggu pencairan uang santunan tersebut. “Aneh juga, uang belum cair tapi surat tebas sudah diambil BP Batam,” tutur Nasir. “Padahal lumayan penghasilan kebun, dari jual daun ubi dan daun pisang saja sudah banyak dapat. Cari Rp 200 ribu sehari itu tidak payah, lah,” tuturnya dengan nada sesal.
Sedangkan Rusmawati, 53 tahun, pemilik lahan yang bertahan, menyatakan akan bergeming sampai kapan pun meskipun tinggal ia sendiri. Ibu rumah tangga yang biasa disapa Mila ini berkukuh karena sagu hati yang diberikan BP Batam tidak masuk akal. Ia mengungkapkan, setidaknya rumah dan tanah seluas 500 meter persegi miliknya bernilai Rp 300 juta. Namun, menurut hitungan BP Batam, nilai tanah Mila hanya Rp 7 juta dan rumahnya Rp 42 juta.
Mila mengatakan tempat tinggalnya itu adalah hasil pembelian, bukan rumah liar. Dia menekankan, kalau BP Batam tetap menghendaki lahannya, ia memasang harga tanah Rp 1 juta per meter persegi. "Kalau sekarang kan dihargai Rp 14 ribu per meter persegi," ujarnya. Mila menyatakan tidak akan gentar bertahan. Bahkan ia berani menghadang alat berat kalau ada yang hendak menggusur rumahnya. "Kalah-menang nanti, lah. Harus bertarung dulu," katanya.
Seperti Mila, Erlangga Sinaga, warga Tanjung Banon, memiliki lahan di tempat pembangunan rumah relokasi. Ia menegaskan keputusannya tak akan menjual lahan tersebut. “Saya tidak mau menjual, masih mau berkebun,” ucapnya. Hampir setiap hari, Erlangga mengungkapkan, BP Batam menghubunginya agar ia menyerahkan lahan itu. Beberapa hari sebelumnya pun ada pertemuan dengan BP Batam. “Mereka menanyakan harga yang saya mau patok. Saya bilang tidak mau jual.”
Erlangga juga menolak surat peringatan ketiga dari BP Batam. Ia akan terus mempertahankan lahan miliknya. “Lebih baik melawan dan tidak dapat apa-apa daripada menerima tapi tetap tidak dapat apa-apa,” ujar Erlangga.
Kepala Biro Humas, Promosi, dan Protokol BP Batam Ariastuty Sirait mengatakan PSN Rempang Eco-City terus berjalan dengan mengedepankan dialog dengan masyarakat yang terkena dampak. Rempang Eco-City akan memanfaatkan lahan seluas 17.600 hektare dan pada tahap awal ini, Ariastuty menjelaskan, di area seluas 2.370 hektare akan dikembangkan industri fotovoltaik hulu-hilir, kawasan komersial, dan menara Rempang Eco-City.
"Progresnya saat ini tim terpadu sedang melakukan validasi dan penilaian terhadap 390 kepala keluarga yang telah mendaftar untuk berpindah sementara," kata Ariastuty. Ia merinci warga yang sepakat dengan relokasi itu sebanyak 233 keluarga dari Kelurahan Sembulang dan 167 keluarga dari Kelurahan Rempang Cate.
Selain itu, Ariastuty menambahkan, saat ini sedang dilakukan pembebasan lahan untuk pembangunan rumah relokasi di Tanjung Banon yang berjumlah 961 unit. Dari 98 hektare lahan yang akan dibebaskan, tinggal 1,05 hektare yang belum disepakati oleh pemilik lahan dan BP Batam.
Ariastuty mengakui saat ini lahan lima kampung yang terkena dampak pembangunan tahap awal, yakni Pasir Panjang, Sembulang Hulu, Pasir Merah, Sembulang Tanjung, dan Blongkeng, belum dialasi HPL. Rencananya, Ariastuty melanjutkan, pada akhir Maret 2024 sudah ada keputusan pelepasan hutan produksi yang dapat dikonversi (HPK) dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Menurut Ariastuty, meskipun syarat pelepasan HPK dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan adalah lahan harus berstatus clear and clean, BP Batam akan terus melakukan pendekatan persuasif. "Seperti yang kami lakukan kepada warga yang menggarap lahan di Tanjung Banon," ujarnya. Ariastuty juga menyatakan optimistis pendekatan itu bisa dilakukan, apalagi tim terpadu melibatkan tokoh Melayu dan pemuda asal Rempang atau pemuda tempatan.
Adapun ihwal 90 keluarga yang sudah pindah ke relokasi sementara, Ariastuty mengatakan pihaknya terus menjalin komunikasi intensif dengan mereka. Hak-hak mereka sebagaimana telah disepakati akan terus diberikan. "Diharapkan sebelum November tahun ini mereka sudah mulai menempati rumah baru di Tanjung Banon," ucapnya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Risau Rempang Tersebab Relokasi"