Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KEBIJAKAN Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas mengatur ibadah Ramadan memicu polemik. Melalui Surat Edaran Menteri Agama Nomor 1 Tahun 2024 tentang Panduan Penyelenggaraan Ibadah Ramadan dan Hari Raya Idul Fitri Tahun 1445 Hijriah/2024 Masehi, Yaqut meminta umat Islam merujuk pada pedoman penggunaan pengeras suara masjid saat syiar dan takbiran, yang ia teken dua tahun lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada Februari 2022, Yaqut membuat aturan pemakaian pelantang suara di masjid dan musala. Isi aturan itu mengenai penggunaan loudspeaker dalam dan luar serta volume maksimal 100 desibel. Saat itu Yaqut dirisak setelah mengumumkan aturan pengeras suara karena dianggap menyamakan azan dengan gonggongan anjing. Kali ini dia juga dikritik karena dinilai membatasi kegiatan syiar. "Silakan saja mengkritik jika tujuannya perbaikan kebijakan," kata Yaqut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Politikus Partai Kebangkitan Bangsa itu mengakui tak mudah menerapkan pedoman penggunaan loudspeaker di lebih dari 200 ribu masjid di seluruh Indonesia. Apalagi panduan yang dibuatnya masih punya kekurangan. Salah satu kekurangannya adalah penggunaan satuan volume yang sulit dipahami pengurus masjid di kampung-kampung. Yaqut mengklaim sedang memperbaiki peraturan itu.
Yaqut menerima wartawan Tempo, Yosea Arga Pramudita dan Raymundus Rikang, di kantor Kementerian Agama, Jalan Lapangan Banteng Barat, Jakarta Pusat, pada Jumat, 15 Maret 2024. Dalam wawancara selama 1 jam 30 menit itu, Yaqut menjelaskan rencana menjadikan kantor urusan agama atau KUA sentra pelayanan semua agama serta ancang-ancang politiknya di PKB. "Saya punya cita-cita dan kapasitas untuk memimpin partai menjadi lebih besar," tuturnya.
Kebijakan Anda soal penggunaan pengeras suara masjid kembali memicu kontroversi. Apa latar belakangnya?
Mencegah keburukan lebih baik daripada mengikhtiarkan kebaikan. Saya mempelajari beberapa dokumen, di antaranya Instruksi Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Tahun 1978 yang juga mengatur penggunaan pengeras suara masjid, tapi kurang kuat. Kami memperkuatnya dengan keputusan menteri yang menjadi ramai karena dipelintir. Saya seolah-olah membandingkan suara azan dengan gonggongan anjing.
Seberapa penting mengatur ketertiban penggunaan pelantang suara masjid?
Saya menganggap kemaslahatan yang bersifat khusus tak boleh dimenangkan atas nama kemaslahatan yang bersifat umum. Dalam persoalan penggunaan pengeras suara masjid, umat Islam memerlukan pelantang untuk menyampaikan waktu azan. Tapi mereka juga harus mengerti bahwa ada orang yang mungkin saja terganggu oleh suara keras, seperti orang tua dan orang sakit, di sekitar lingkungan masjid.
Apa manfaatnya Anda mengeluarkan kebijakan itu?
Saya berharap umat Islam, yang merupakan mayoritas di Indonesia, menjadi bagian dari penyejuk dan pengayom yang toleran bukan hanya kepada umat nonmuslim, tapi juga komunitas di sekitar lingkungannya.
Ada unsur politik dalam kritik kepada Anda soal aturan penggunaan pengeras suara masjid?
Saya tak tahu apakah ada dimensi politik atau tidak. Tapi kritik itu baik-baik saja dan silakan mengkritik jika memang perlu. Sebab, kritik bisa menjadi penyempurna bagi pembuatan aturan. Silakan saja mengkritik jika tujuannya perbaikan kebijakan.
Sebagai otokritik, apa yang belum sempurna dalam aturan penggunaan pengeras suara masjid?
Soal pengukuran suara. Dalam regulasi ini tertulis bahwa suara yang dihasilkan maksimal 100 desibel. Tak semua orang memahami satuan desibel, khususnya pengurus masjid di kampung-kampung. Kami mencoba mencari definisi atau alat ukur suara lain dengan mengajak teman-teman berdiskusi di Badan Kesejahteraan Masjid.
Dari mana Anda dulu mendapat ukuran itu?
Ada beberapa rujukan, seperti dari Uni Emirat Arab dan Arab Saudi. Kami merasa urgen untuk mengaturnya sehingga regulasinya diterbitkan lebih dulu dan intensitas suaranya didiskusikan lagi.
Apa aturan ini bisa diimplementasikan, mengingat ada ratusan ribu masjid di Indonesia?
Saya yakin bisa karena kami punya instrumen sampai ke bawah. Ada sekitar 200 ribu masjid yang terdaftar di Kementerian Agama. Kami punya instrumen di luar Dewan Masjid Indonesia, yakni Badan Kesejahteraan Masjid yang sudah punya anggota 100 ribu masjid. Kami mendorong mereka berkoordinasi dengan Dewan Masjid Indonesia untuk menyampaikan kebijakan dan pengaturan itu. Ini persoalan waktu saja kalau kami konsisten.
Aturan yang Anda buat sekadar imbauan. Bagaimana memastikan pengurus masjid patuh?
Kami menghindari paksaan dan tak akan memaksa. Kami ingin menonjolkan teladan dan contoh dari masjid-masjid yang sudah mempraktikkan aturan penggunaan pengeras suara masjid. Sudah bukan zamannya lagi maksa-maksa.
Ada masjid yang sudah berbenah?
Saya mendengar beberapa respons positif dari masyarakat. Mereka senang lantaran arah loudspeaker masjid sudah diputar karena sebelumnya dianggap mengganggu warga. Tapi ada juga yang masih dablek dengan mengencangkan volume suara setelah aturan itu terbit. Ini bagian dari dinamika dan harus sabar menghadapi itu.
Aturan penggunaan pengeras suara masjid efektif diterapkan di negara Timur Tengah. Apa resep mereka?
Saya pernah melakukan studi banding ke Turki, Mesir, Uni Emirat Arab, serta bertemu dengan duta besar mereka. Memang benar penggunaan loudspeaker masjid di sana dan Arab Saudi diatur pemerintah serta tak bisa seenaknya. Mereka negara kerajaan yang bisa memutuskan segala sesuatu dengan cepat, sedangkan kultur kita banyak. Kami juga ingin situasi serupa terjadi di Indonesia, tapi itu tak mudah karena gairah keagamaan masyarakat kita sedang tinggi-tingginya.
Anda dikritik karena dianggap cawe-cawe dalam urusan peribadatan, tapi tak sedikit pihak yang mendukung karena itu upaya mengatur ketertiban umum. Apa respons Anda?
Agama tak melulu urusan privat, tapi juga ada dimensi sosial. Selain tentang akidah, kita harus bicara mengenai muamalah. Bahkan Al-Quran sekitar 70 persennya berisi ajaran mengenai hubungan sosial, sementara sisanya urusan privat. Tak semua urusan keagamaan itu urusan privat. Pemerintah harus ikut dalam urusan kehidupan beragama. Agama di Indonesia ada banyak, dengan enam agama yang diakui dan ratusan agama lokal. Semua harus mendapat pengaturan proporsional.
Bilamana urusan privat seperti agama bergeser menjadi urusan publik?
Misalnya dalam persoalan penggunaan loudspeaker masjid karena berkaitan dengan banyak orang. Banyak sekali, apalagi di Indonesia, dari kelahiran sampai kematian, yang berkaitan dengan agama juga diurusi pemerintah. Kehidupan orang Islam di Indonesia enak sekali karena punya banyak keistimewaan. Kalau keistimewaan itu tak dipakai untuk bertindak toleran kepada saudaranya yang tak seiman, ya, keterlaluan, deh.
Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas bersiap mengikuti rapat kerja dengan Komisi VIII DPR, yang salah satu agendanya membahas rencana pelayanan kantor urusan agama (KUA) yang inklusif bagi semua agama, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, 18 Maret 2024/Antara/Akbar Nugroho Gumay
Ada pandangan bahwa pengeras suara adalah sarana syiar. Anda sepakat?
Dulu Wali Songo bisa menyebarkan Islam sedemikian luas tanpa loudspeaker. Nabi juga melakukan syiar tanpa pengeras suara karena inti syiar adalah menyentuh kalbu, bukan keras-kerasan suara. Pada prinsipnya, saya ingin menjaga agama tak menjadi sesuatu yang merusak, termasuk relasi antarmanusia.
Apakah kebanyakan muazin gagal memahami makna syiar itu?
Intinya, semua harus diatur biar tertib. Kalau ada pihak yang tak setuju, tolong sampaikan bagian mana yang kurang pas. Kami membuka diri terhadap perbaikan aturan itu. Jangan berasumsi bahwa aturan penggunaan pengeras suara ini dibuat untuk melarang syiar. Kami hanya mengatur agar syiar tetap syahdu dan enak didengar.
Menurut Anda, apa makna toleransi?
Memahami satu sama lain. Kelompok yang besar mengayomi yang kecil dan kelompok yang kecil menghormati yang besar. Istilah bahasa Jawa-nya ora menang-menangan, di mana ada satu titik kita harus bertemu. Toleransi itu seharusnya keras untuk diri kita sendiri, tapi lunak kepada orang lain.
Yang terjadi justru sebaliknya, keras terhadap kelompok lain, khususnya minoritas....
Memang tak mudah, apalagi di tengah situasi gairah keagamaan yang tinggi tapi tak diikuti pemahaman yang baik. Semestinya, makin berilmu dan beragama, seseorang menjadi makin toleran. Saya punya berbagai pengalaman soal perilaku toleran ini.
Bagaimana ceritanya?
Pesantren abah saya bersebelahan dengan rumah pendeta. Kalau kami ada acara, halaman itu dipinjamkan untuk tempat parkir. Begitu juga sebaliknya. Ketika perayaan Imlek, saya yang saat itu masih kecil biasa saja jalan berkeliling ke rumah tetangga untuk minta angpau.
Mengapa belakangan ini justru marak kasus intoleransi?
Itu pertanyaan saya juga. Gejala ini muncul menjelang akhir 1990-an, ketika semua keran dibuka tanpa disiapkan pengaturannya. Dengan demikian, semua model gerakan dan pemahaman muncul dengan bebas. Intoleransi juga berakar dari klaim kebenaran. Satu pihak mengklaim punya standar kebenaran tertentu yang hanya muncul dari dirinya. Di luar itu salah. Itulah penyebab intoleransi.
Ada pandangan bahwa intoleransi muncul karena fanatisme yang menyebabkan suatu kelompok bertindak agresif kepada kelompok lain. Anda setuju?
Menjadi fanatik boleh-boleh saja. Beragama itu harus fanatik. Tapi bagaimana menerima perbedaan terhadap yang lain, itu soal berbeda. Kepada diri sendiri kita harus fanatik, tapi jangan merasa paling benar.
Kebijakan Anda soal kantor urusan agama sebagai sentra pelayanan semua agama juga menjadi polemik. Bagaimana ide kebijakan itu?
KUA itu berawal dari kepenghuluan sejak era Kesultanan Mataram. Ia menjelma menjadi cikal-bakal Kementerian Agama. Dalam perkembangannya, kementerian ini tak hanya mengurusi agama Islam, tapi semua agama di Indonesia. Jika begitu, pelayanannya juga harus mencakup semua agama.
Apakah kebijakan itu bisa diterapkan?
Hambatannya banyak, dari kultur sampai regulasi. Kami jalan terus saja karena ingin melihat sejauh mana KUA bisa menjalankan fungsinya sebagai tempat pelayanan bagi semua umat beragama. Kemarin ramai karena dipenggal informasinya bahwa KUA akan dijadikan tempat menikah semua agama. Padahal saya ingin bilang KUA bisa berperan memberikan pelayanan kepada semua agama, salah satunya pernikahan.
Kenapa baru digulirkan sekarang?
Sejak saya masuk Kementerian Agama, rencana itu sudah digagas. Saya sudah merevitalisasi KUA sebanyak lebih dari 1.600 unit.
Apa yang diperbaiki?
Tentu bentuk fisik bangunannya. KUA di kampung itu jelek-jelek. Masak, pernikahan sebagai peristiwa spiritual digelar di bangunan jelek? Karena itu, KUA direvitalisasi. Beberapa KUA sudah menggunakan teknologi digital. Langkah berikutnya, menjadikan KUA tempat yang bisa melayani umat agama lain di luar Islam.
Apakah KUA juga akan melayani penghayat kepercayaan?
Kami ingin arahnya ke sana dan kami sedang mempelajari segala sesuatu yang terkait dengan KUA. Sejarahnya panjang dan perlu kehati-hatian. Jangan sampai kebijakan ini menjadi ahistoris. Saya yakin, kalau kepenghuluan sudah muncul pada masa Kesultanan Mataram, penghayat kepercayaan bisa masuk di situ.
Bagaimana memastikan petugas KUA punya pandangan terbuka untuk melayani semua penganut agama, termasuk aliran kepercayaan?
Pasti bertahap dan tak ujug-ujug. Karena itu, ada 1.600 lebih KUA yang menjadi pilot project, termasuk pelatihan untuk pegawainya. Mereka mengikuti penataran soal moderasi beragama dan memahami praktik keagamaan yang menghargai budaya lokal.
Yaqut Cholil Qoumas
Tempat dan tanggal lahir:
Rembang, Jawa Tengah, 4 Januari 1975
Pendidikan:
- Sarjana sosiologi Universitas Indonesia
- Sekolah Menengah Atas Negeri 2 Rembang, Jawa Tengah
- Sekolah Menengah Pertama Negeri 2 Rembang
Jabatan publik:
- Menteri Agama (2020-sekarang)
- Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (2014-2019)
- Wakil Bupati Rembang (2005-2010)
- Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Rembang (2004-2005)
Laporan harta kekayaan:
Rp 12,53 miliar (2022)
Anda tak takut dirisak atau didemo karena kontroversi kebijakan Anda?
Biasa saja. Pada awal menjabat, itu jadi masalah bagi keluarga saya. Mereka menangis ketika saya di-bully. Anak saya sampai merasa dimusuhi gurunya ketika saya mengeluarkan aturan penggunaan pengeras suara masjid pada 2022. Saya mendatangi sekolah dan berbicara dengan gurunya. Anak-anak sekarang sudah terbiasa.
Apa rencana Anda setelah pemerintahan Joko Widodo selesai?
Banyak aktivitas yang bisa saya lakukan jika negara tak membutuhkan saya lagi. Saya punya madrasah. Saya tak pernah meminta, apabila bicara soal jabatan. Tapi, kalau diberi penugasan, saya siap.
Dari informasi yang kami dapatkan, Anda juga punya andil memenangkan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka....
Yang berkontribusi banyak pihak, bukan cuma saya, ha-ha-ha.... Saya ini cuma sekrup. Silakan dicek, saya tak ada komunikasi dengan beliau setelah pemilihan presiden 2024.
Benarkah Anda berancang-ancang menjadi Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa?
Itu gosip, digosok makin sip. Saya ini kader PKB, pejabat teras di PKB. Pejabat yang hanya ada di teras, tapi tak bisa masuk, ha-ha-ha.... Sebab, saya memang dibatasi supaya tak bisa masuk. Tapi semua kader pasti ingin jadi pemimpin partai.
Seberapa serius persiapan Anda?
Kalau ditanya apakah saya ingin jadi pemimpin? Ya, ingin karena saya punya cita-cita dan kapasitas memimpin partai menjadi lebih besar. Membuat partai punya pengaruh lebih besar terhadap nahdliyin karena PKB itu partainya Nahdlatul Ulama. Apakah saya berusaha mewujudkannya? Itu soal nanti, jangan dijawab sekarang.
Ada dukungan dari Jokowi?
Pak Jokowi enggak ikut-ikutan soal itu. Beliau tak pernah membicarakan PKB dengan saya.
Anda ingin memimpin partai lantaran terdorong hubungan PKB dengan NU yang tak harmonis belakangan ini?
Kita lihat dulu gambaran besarnya, apakah pemerintah masih butuh agama sebagai pilarnya atau tidak? Kalau masih butuh, PKB ini partai berbasis agama dan harus kuat. Caranya, merajut hubungan yang erat dengan NU. Kalau sekarang PKB berhadap-hadapan dengan NU, itu tentu tak sehat.
Setajam apa konflik PKB dengan NU sekarang?
Wong saya ini adiknya Ketua Umum PBNU sekaligus kader PKB. Saya tahu betul dan merasakan dari kedua sisi. Saya pernah menawarkan diri untuk menjembatani kepentingan PKB dengan NU setelah Muktamar NU di Lampung. Tapi tak ada respons dan makin mengeras.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Beragama Itu Harus Fanatik"