Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Kongkalikong Mengundang Banjir

Rusaknya hutan di utara Trenggalek akibat persekongkolan cukong kayu, oknum Perhutani, dan warga.

1 Mei 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SERAUT paras kuyu. Tak ada segurat pun kebahagiaan di wajahnya. Bajunya lusuh. Hanya itu yang tersisa setelah air bandang merendam kampungnya. Dia duduk lesu di sebuah ruangan kantor Kecamatan Bendungan, Trenggalek, Jawa Timur, berdesakan de-ngan 20 warga lainnya. Ada yang se-dang melipat baju bekas sum-bang-an, ada pula yang bermain dengan anaknya. Asap mengepul dari kompor di pojo-k ruangan menambah sesak ruang-an itu. Makan malam segera tiba. Tapi ia tak terl-alu berselera. ”Saya mulai tak ke-rasan,” kata Tukiyem, yang sedang menyusui anak-nya berusia tiga bulan.

Tukiyem adalah salah satu dari 226 warga yang mengungsi di kantor kecamatan. Rumah mereka remuk diterjang banjir dan tanah longsor yang terjadi pada Kamis dua pekan lalu. Dari enam kecamatan di Kabupaten Trenggalek, Kecamatan Bendungan yang terparah. Tujuh orang meninggal, 2 orang hilang, dan 150 rumah rusak, 21 rumah di anta-ranya hancur. Adapun korban keseluruh-an di Trenggalek ada 16 warga yang meninggal.

Bencana yang terjadi di Trenggalek makin menggenapkan musibah sebelum-nya yang terjadi selama musim hujan 2005-2006. Pada awal Januari lalu, banjir dan tanah longsor juga terjadi di Jember, Jawa Timur, yang menewaskan 87 penduduk. Tidak lama kemudian terjadi longsor di Banjarnegara, Jawa Tengah, yang mengubur 50 warga. Sebulan kemudian, 33 warga Manado tewas diterjang bencana serupa.

Selain curah hujan yang meninggi, ”Bencana itu karena penggundulan hutan,” kata Masnellyarti Hilman, Deputi Menteri Negara Lingkungan Hidup Bidang Peningkatan Konservasi Sumber Daya Alam dan Pengendalian Kerusak-an Lingkungan. Temuan itu adalah hasil penelitian yang dilakukan Kementerian Lingkungan Hidup terhadap kasus di Jember dan Banjarnegara. Menurut Masnellyarti, banyak hutan yang disu-lap oleh penduduk setempat menjadi per-kebunan karet dan ladang.

Penyebab musibah Trenggalek juga sa-ma saja. Gubernur Jawa Timur Imam Utomo menuding petaka itu datang ka-rena hutan yang gundul. Pernyataan Imam itu diamini oleh Perum Perhutani Unit II, yang mengurusi hutan di Jawa Timur. Saat ini di sekitar Trenggalek hutan yang rusak mencapai 22.500 hektare. ”Itu akibat aksi penjarahan hutan besar-besaran yang terjadi pada 1999-2005,” kata Suwarno, adminsitrator Perum Perhutani Unit II.

Tempo, yang menyusuri Kecamatan Bendungan, daerah musibah terparah di Trenggalek, menyaksikan lahan perbukitan yang hanya dijejali tanaman ubi jalar, jagung, dan rumput gajah. Padahal daerah itu ada di ketinggian 750 meter di atas permukaan laut dan hampir 80 per-sen perbukitannya merupakan kawasan hutan produksi yang dimiliki Perhutani dan Perusahaan Daerah Perkebunan Kabupaten Trenggalek. Sebagian hutan yang tersisa ditanamai pinus.

Mulyanto, tokoh Kecamatan Bendung-an, mengakui alih fungsi hutan menjadi lahan pertanian memang terjadi secara ilegal. ”Masyarakat yang menebang, tapi atas suruhan Perhutani,” katanya kepada Tempo, Kamis pekan lalu. Warga diberi kompensasi lahan untuk dikelola. Kayunya entah diboyong ke mana.

Awalnya, pola pengelolaan diterapkan secara gratis. Namun, dalam bebera-pa tahun ini, warga diharuskan membagi hasilnya ke Perhutani. ”Ada yang resmi ke Perhutani, dan ada yang masuk ke oknum,” tutur Mulyanto.

Ketua Dewan Daerah Walhi Jawa Ti-mur, Purnawan D. Negara, juga me-nunjuk adanya kongkalikong antara Perhutani dan cukong pembalak liar. Persekongkolan inilah yang kemudian dijadikan contoh oleh masyarakat untuk ikut menebang hutan. ”Masyarakat kan menganut sistem paternalistik. Jika yang atas berbuat salah, ya pasti dicontoh,” ujar Purnawan, yang juga dosen hukum lingkungan Universitas Widya Gama, Malang.

Pada Januari lalu, Mabes Polri, Po-l-da Jawa Timur, dan Polres Trenggalek me-lakukan operasi Hutan Lestari. Ada 29 penebang kayu ilegal dan satu cukong kayu terbesar bernama Supardi yang langsung ditahan di Mabes Polri. Dari hasil penyelidikan, Supardi mengaku me-nyetorkan kayu jarahan ke sejumlah cukong lainnya. Salah satunya adalah Edi Susanto, warga Pare, Kediri. Namun pengadilan hanya memvonis Edi tiga setengah bulan penjara. ”Hukuman itu terlalu ringan,” kata Sukamto, juru bicara Perhutani Kesatuan Pemangku Hutan Kediri.

Untuk menghindari bencana lagi akibat kerusakan hutan, Purnawan menyarankan agar Perhutani melak-ukan redesain pola pemanfaatan hutan pro-duksi. Selama ini, pemanfaatan hutan produksi dilakukan dengan mengambil kayunya. Tapi yang harus dilakukan pada masa mendatang adalah dengan memanfaatkan daun, getah, kulit, atau ranting. ”Pohonnya jangan ditebang,” tuturnya.

Bibin Bintariadi, Dwijo U. Maksum, Untung Widyanto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus