PULUHAN rumah kardus beratap plastik, rata-rata berukuran 2 x 3 m, sepi saja siang hari. Hanya terlihat di kampung itu beberapa anak bertelanjang dada sedang menumpuk kertas dan sandal jepit rongsokan. Ayah atau ibu mereka sedang bergelandangan menyusuri jalan, atau mengais tempat pembuangan sampah. Kampung Jatidua, dekat gedung DPRD Ja-Bar di Jalan Suci Bandung, suatu tempat sekitar 40 kk gelandangan bermukim. Di situ, sama dengan tempat serupa di kota besar lainnya, sampah berserakan, kotor. Tapi di sebuah pojok Jatidua berdiri bangunan 3 x 3 m berdinding bambu dan beratap plastik. Mereka menyebutnya: masjid. Tiap malam Jumat di sana memang ada pengajian Al Quran. Di sana pula anak-anak diajar tulis-baca oleh mahasiswa ITB dan Unpad. Ada lagi, Koperasi Daur Ulang, yang berdiri di sana sejak 3 bulan lalu. Dengan 40 anggota yang dikenakan simpanan pokok Rp 2.500 dan simpanan wajib Rp 250 per bulan, koperasi itu sudah punya modal Rp 325.000, termasuk bantuan Rp 200.000 dari Institute of Social Studies, Den Haag (Belanda). Belum jelas usahanya apa, sementara Pusat Studi Lingkungan Hidup (PSLH) ITB mendidik kaum yang "terbuang" ini, bagaimana cara berkoperasi. "Setelah itu nanti, semua saya serahkan pada mereka maunya apa," ujar Adin Rostiadi, petugas PSLH urusan koperasi gelandangan itu. Berkata pula Hasan Poerbo, Direktur PSLH ITB, "Kita sadarkan dulu mereka tentang harga diri. Maklumlahmereka orang-orang yang tersingkir." Selain mendidik cara berkoperasi PSLH itu juga pernah menikahkan sedikitnya 15 pasang gelandangan di Jatidua. Prosedur nikah cukup menyulitkan mereka, "harus ada KTP, dan sebagainya," kata Poerbo. Guru Besar ITB itu nampaknya begitu yakin kaum gelandangan bisa diajak dalam koperasi. "Ternyata mereka punya nilai dan etik tersendiri," kata Poerbo lagi. "Di sini memang belum pernah terjadi pencurian," kata Rukmana, ketua kelompok gslandangan Jatidua. PSLH ITB bersama ISS, suatu lembaga penelitian sosial dari Belanda itu, meneliti gelandangan di Bandung sejak tahun lalu untuk tujuan menanggulangi sampah kota. Rupanya kegiatan gelandangan merupakan lingkungan bisnis tersendiri. Di situ ada tukang mulung (pemungut sampah) dan penampungnya. Ada pula bandar, malah bandar besar -- penyalur sampah yang sudah dirapikan sampai ke berbagai pabrik botol atau plastik. Aktivitas itu secara tak langsung turut membantu pemerintah kota menanggulangi sampah (secara daur ulang). Di negara maju seperti Belanda, kata Hans Versnel dari ISS, "mendaurulangkan sampah secara modern memerlukan investasi modal yang tak sedikit." Menurut sensus 1980, di Bandung saja ada 28.000 gelandangan. Bila bisa mereka dimanfaatkan jadi tukang pulung, kata Versnel, "saya kira Indonesia tak perlu lagi mengimpor pulp dari Jepang." Penghasilan mereka cukup lumayan. Dari 21 gelandangan Jatidua yang diteliti, 9,5% berpenghasilan Rp 500 per hari 33,3% Rp 1.000 per hari, malah 4,8% mendapat uang Rp 5.000 per hari. Bayangkan, hanya dengan mengais sampah, penghasilan mereka rata-rata di atas buruh tani atau tekstil. Dari penelitian itu terungkap bahwa tak sedikit gelandangan itu yang berasal dari buruh tani atau buruh kebun. Ada juga orang seperti Rukmana, yang semula mengusahakan 1 ha sawah di Bojongpicung, Cianjur. Sial, sawahnya kemudian digusur karena areal kawasan hutan, dan ayah 3 anak itu akhirnya menggelandang di Bandung. Walau hidup di rumah kardus, dia sebulan bisa meraih Rp 45.000. "Kadang-kadang dapat emas beberapa gram dan uang logam di sungai," ujar Rukmana. PSLH ITB dan ISS -- setelah meneliti sejak setahun lalu -- di Cianjur mendirikan pula pabrik kompos yang menggunakan bahan baku organik. Juga usaha ini memanfaatkan tenaga kaum gelandangan. Bupati Cianjur, Adjat Sudradjat bersyukur sekali. "Saya akan menghimpun mereka, dan memberikan pakaian seragam," katanya. Tapi Walikota Bandung agak skeptis. Walaupun mereka bisa dimanfaatkan, tetap gelandangan merusak keindahan kota dengan gubuk liar. Tak sampai hati rasanya melihat mereka berpakaian kumal di tempat-tempat kotor," katanya. "Lebih parah lagi, bagaimana kesehatan mereka?" Hasil penelitian PSLH itu menyebutkan, umumnya mereka terserang penyakit napas, kulit, radang kelenjar ludah, dan sakit perut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini