JATAH makanan 2 kg daging kerbau plus seekor ayam mentah hanya diendusnya sebentar. Tampak lunglai, ia kembali bersimpuh di sudut kerangkengnya yang berukuran 6 x 12 m. Harimau itu (Panthera Tigris Sumatrae) sungguh kurang bernafsu makan. Keesokan harinya, tumpukan daging itu masih banyak bersisa. Hari-hari berikutnya, makanan itu bahkan tak didekatinya. Binatang itu biasanya rakus mengerkahi daging hidangannya. Apalagi ia sedang menyusui 3 anaknya yang baru berusia 3 bulan. Induk ini ingin tidur melulu. Sifat garangnya pun sirna. Bila buang kotoran, hanya cairan yang keluar. Mencret. Induk dan ketiga anaknya tak sanggup bergerak. Kemudian, 12 Januari, ketiga anak harimau itu tak bernapas lagi. Menyusul keesokan harinya sang induk. Ada apa? "Harimau-harimau itu mati karena penyakit," tutur P. Tambunan Kepala Kebun Binatang Pematangsiantar. Sebulan sebelumnya keadaan serupa menerjang 2 harimau koleksi kebun binatang itu 128 km dari Medan, Sum-Ut. Kini tinggal 3 ekor harimau saja yang masih menghiasi kebun binatang itu. Ketika harimau-harimau itu memperlihatkan gejala sakit, Tambunan memberi sejenis obat demam hewan lewat makanan mereka. Obat yang tak disebutkan namanya itu tak mujarab. Makanan mereka tak pernah kurang, katanya. Rata-rata Rp 46.000 per hari disediakan bagi kesembilan harimau itu dengan jatah masing-masing 3,5 kg daging dan seekor ayam. Dari Rp 18 juta anggaran pemeliharaan di sana tahun lalu, sepertiganya habis buat harimau saja. Apa penyakit harimau itu? Tambunan, 42 tahun, tak bisa bercerita. Koleksi binatangnya memang makin berkurang. Singa (panthera leo), yang mati pada 1978, misalnya, belum ada gantinya. Ia konon mati karena kekurangan makan. Dibangun 27 November 1936, Kebun Binatang Pematangsiantar (seluas 5 hektar) punya 12 kandang yang memang kurang terurus. "Dibanding 5-7 tahun lalu keadaannya kini memang banyak mengalami kemerosotan," ujar Abdul Djalil, anggota DPRD Pematangsiantar, komisi C (membidangi antara lain kesejahteraan rakyat). Tahun 1978, DPRD pernah mengusulkan agar taman satwa itu ditutup saja. Alasannya: kurang menguntungkan. Walaupun pemasukan uangnya sekitar Rp 15 juta, subsidi pemda mencapai Rp 20 juta. Hanya karena pertimbangan segi pendidikan, kebun binatang itu tetap dipertahankan. Dokter hewan tak ada di sana. "Kalau ada binatang sakit, pengobatannya secara meraba-raba," kata Djalil. Juga jelek keadaannya di Medan. Kesehatan 3 harimau (seekor di antaranya sebulan lagi akan melahirkan) menjadi tanggung jawab Drh. Zainul Arifin. Dengan berterali besi dan sekat-sekat tembok serta berlantai semen, kandang mereka hanya berukuran 6 x 10 m (ruang tidur 2 x 5 m). Sempit. Ada parit di depan sebagai batas. "Kalau kena hujan lantainya basah, bisa menimbulkan penyakit," kata Drh. Arifin. "Kandang harimau harus di alam terbuka dan ditumbuhi pepohonan," gumamnya. Dia menginginkan seperti yang ada di Ragunan, Jakarta. Memelihara 3 harimau itu saja, pengelola kebun binatang di Medan (yayasan milik Pemda Medan) tampaknya sudah repot. Sehari dalam seminggu ketiganya harus dipuaskan. Sekitar Rp 45. 000 sehari untuk membeli 15 kg daging. Di Kebun Binatang Surabaya (KBS), pemeliharaan harimau juga jauh dari semestinya. "Kebun binatang ini tertua di Indonesia dan terlengkap koleksinya, tapi kandang harimau hanya berukuran 15 x 12 m," tutur Bambang Soehardjito, Sekretaris KBS. Kesehatan binatang langka itu di KBS, katanya, mendapat perawatan intensif dokter hewan tetapnya di sana. Toh, seekor macan tutul (Panthera pardus) bulan lalu kedapatan mati mendadak. "Jantung dan hatinya tertutup lemak," kata drh. Soedarto dari KBS. Kebun Binatang Gembira Loka di Yogyakarta menyediakan untuk 15 harimau dan singanya 3 kandang saja. Satu kandang berbentuk kerangkeng besi khusus untuk singa, sedang 2 lainnya berbentuk alam bebas. Tahun lalu 2 harimau mati karena sudah uzur. "Tak pernah ada yang mati karena penyakit," kata Tirto Winoto, direkturnya. KANDANG harimau di Kebun Binatang Ragunan, Jakarta, paling hebat, memang ditata secara cermat. Dua kandangnya berbentuk lingkaran tempat 11 harimau (panthera Tigris Sumatrae) yang ada kini. Sebuah berukuran besar (bergaris tengah 3 m) diisi 7 harimau, sedang lainnya bergaris tengah 15 meter. Keduanya dikelilingi tanah berbukit-bukit dan bersemak-semak. Semua itu dilingkari air selebar 11 meter. Keseluruhan kandang yang besar itu membentuk kawasan 800 m2. "Sistem semi alami ini merupakan cara ideal memelihara harimau," tutur Sutarman, salah seorang di antara 4 dokter hewan yang bekerja di sana. Menurut dia, fasilitas Ragunan lebih baik dibandingkan dengan yang di Thailand, Birma, Singapura dan Malaysia yang pernah dikunjunginya. Bagaimana makanan mereka? Setiap harimau mendapat 4 kg daging per hari plus susu. Susu ini (4 liter sehari) ditaruh di ember plastik dan diminum secara beramai-ramai. Biayanya sebulan sekitar Rp 4 juta. Sewaktu kandang mula-mula dipakai (1968) penghuninya baru 8 harimau. Tahun 1980, pernah semua harimau itu sakit, dan seekor di antaranya kemudian mati. Penyebab kematian -- setelah dibedah -- ternyata parasit Galluncus Sp, sejenis parasit penghisap darah dan sari makanan harimau -- jenis parasit nomor 3 terbaru di dunia yang baru saja ditemukan. Diduga parasit itu dibawa seekor harimau yang berasal dari Bukittinggi, hadiah Gubernur Sum-Bar. Gejala penyakit penghuni Ragunan itu mirip dengan yang menyerang harimau di Pematangsiantar, yakni nafsu makan mengendur. Obatnya, menurut Sutarman, Phiabenendazol, yang sukar dicari. Tapi ada yang mirip: Ponafur 2 1/2%, bisa didapat di sini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini