Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Kota Kenangan, Kota Genangan

Rob merendam Kota Lama Semarang. Sejumlah bangunan bersejarah terancam hancur.

19 Juli 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TURUNLAH di Stasiun Kereta Api Tawang, Semarang, Jawa Tengah. Jika nasib sedang tak mujur, yang tampak menyambut adalah genangan air berwarna kecokelatan, tingginya kadang di atas mata kaki orang dewasa. Genangan yang mengurung stasiun yang dibangun arsitek J.P. De Bordes pada 1864 itu oleh warga Semarang disebut "rob"?limpahan air laut yang "mendarat" dan di sana terkurung menjadi genangan.

Kini hampir seluruh Semarang Utara diserbu rob. Sebutlah kawasan yang sudah tercatat sebagai "langganan", semisal Kelurahan Tawangsari, Tawangmas, Panggungkidul, Bulo Lor, Imam Bonjol, hingga Jalan Pemuda. Total arealnya mencapai 3.100 hektare. "Diperkirakan, dalam 25 tahun ke depan genangan rob akan merambah seluruh wilayah Semarang bagian bawah," kata Prasetyo Kentjono, Kepala Sub-Dinas Pengairan Dinas Pekerjaan Umum Kota Semarang.

Rob pula yang kini mengancam Kota Lama, wilayah sekitar 71 hektare. Kawasan ini mulai terbentuk pada sekitar abad ke-17, ketika makin banyak orang Belanda mendarat di pelabuhan Semarang lalu membangun kantor sekaligus permukiman. Cikal-bakal Semarang ini kian berkembang ketika sejumlah arsitek kenamaan masa itu, seperti Henri Macleine Pont, Thomas Karsten, W.M. Dudok, dan J.L.F. Blankenberg, ikut menata dan membangun puluhan gedung perkantoran dengan paduan arsitektur kolonial dan tropis.

Peninggalan itu masih tersisa sampai sekarang. Ada Gedung Societeitburg (kini ditempati Bank Mandiri), Bouw Maatschappij (kini kantor PT Pelni), Het Groote Huis (kini Gedung Keuangan Negara), dan Gereja Koppel Kerk, gereja Kristen Protestan pertama di Semarang yang berarsitektur renaissance. Dibangun pada 1753, ia lebih dikenal dengan nama "Gereja Blenduk"?lantaran punya kubah bak kubah masjid.

Thomas Karsten, yang meninggal di Cimahi, Jawa Barat, pada 1945, bisa dibilang tokoh perencana Kota Semarang. Dialah yang membuat site plan "kota atas", yang kini terkenal dengan nama wilayah Candi Lama dan Candi Baru. Pasar Johar dan Pasar Jatingaleh juga karya peninggalan Karsten. "Sayang, sejumlah peninggalan berharga para arsitek itu kini terancam hancur oleh rob," ujar Pudjo Koesworo Juliarso, dosen arsitektur Universitas Katolik Soegijapranata yang pernah melakukan penelitian di Kota Lama.

Menurut Pudjo, rob, yang lebih sebagai air payau itu, membuat rusak dan lapuk dinding juga fondasi gedung-gedung di kawasan Kota Lama. Rob sendiri bukan barang baru bagi Kota Semarang. Setidaknya sejak 1980-an kota ini sudah mulai dilanda rob. Awalnya memang sebatas daerah tertentu di dekat pantai utara. Belakangan, intrusi air laut itu sudah menjulur sampai 10 kilometer dari pantai.

Robert J. Kodoatie, pakar hidrologi dari Universitas Diponegoro, menyebut dua faktor utama penyebab rob: penurunan tanah dan pengambilan air bawah tanah. "Setiap tahun di wilayah Semarang Utara terjadi penurunan tanah 10 sampai 20 sentimeter," tuturnya. Penurunan ini semakin diperparah oleh pengambilan air bawah tanah secara besar-besaran.

Akibatnya, tinggi permukaan daratan dan pantai tak seimbang. Air laut yang masuk ke darat di kala pasang sulit kembali ke laut. "Di pantai sendiri tidak ada wilayah pencegah serbuan air laut ini," Kodoatie menjelaskan. "Sebab, di areal itu dibangun permukiman, atau terjadi reklamasi pantai yang tidak terkontrol." Warga kemudian mengatasi serbuan rob ini dengan cara masing-masing, misalnya meninggikan dinding rumah atau membuat tanggul kecil di depan kediaman mereka.

Cara ini justru keliru. Air kemudian meluber ke mana-mana, termasuk ke gedung-gedung peninggalan sejarah tersebut. Pemerintah Kota Semarang bukannya tak peduli akan bencana ini. Setiap tahun dianggarkan dana sekitar Rp 1 miliar untuk memerangi rob. Bahkan, untuk menampung limpahan air laut yang betah di darat itu telah dibangun sebuah polder?semacam waduk?di depan Stasiun Tawang. Ada pula rumah pompa dengan enam pompa yang mampu menyedot air 2.500 liter per detik.

Air rob yang disedot dialirkan ke polder, yang dirancang bisa menampung sekitar 15 ribu meter kubik air. Tapi, semua upaya itu seperti tak ada hasilnya. Dalam keadaan tak hujan pun setiap hari genangan air terlihat di Kota Lama, seirama dengan pasang-surut laut. Di atas pukul 12.00, biasanya genangan semakin tinggi. Setelah air surut, tinggallah bekas kotor di dinding-dinding bangunan?dan berikut bau yang tak layak dipujikan.

Lambat-laun pemandangan Kota Lama semakin kumuh dan murung. Wilayah yang pernah menjadi benteng pertahanan Belanda dan kawasan bisnis paling ramai di Semarang itu kini sepi, kumal, dan pada malam hari bak kota dalam film hantu. Sejumlah bangunan bersejarah yang tersisa di sana pun semakin keropos oleh genangan air, yang kadang tingginya bisa mencapai setengah meter.

Bangunan pabrik rokok Praoe Lajar, misalnya, yang berdiri sejak abad ke-19, sudah amblas hingga setengah meter. Memang banyak pihak yang ketar-ketir: jika tak segera diselamatkan, bukan mustahil suatu ketika Kota Lama akan berubah menjadi "Kota Terendam". "Sekarang saja sudah tak bisa disebut kota kenangan, tapi kota genang-an," ujar Prof. Sudharto P. Hadi, ahli lingkungan dari Universitas Diponegoro, setengah berkelakar.

L.R. Baskoro, Sohirin, dan Dian Yuliastuti (Semarang)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus