Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Antara Haus Kuasa dan Kemaruk Harta

Seorang calon anggota legislatif Bondowoso tewas dibantai bersama istri dan satu anaknya. Demi memperebutkan kuasa atau harta?

19 Juli 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HARI masih pagi. Sekitar pukul 5.30 Rabu pekan lalu. Seperti biasa, Siti Zulaiha, 35 tahun, hendak membuka warung nasinya di kawasan Jalan Diponegoro, sekitar 300 meter dari alun-alun Kota Bondowoso, Jawa Timur. Beberapa menit setelah menaruh barang belanjaan keperluan warungnya, ia baru sadar persediaan korek api untuk menyalakan kompornya habis.

Ibu satu anak itu pun bergegas ke toko kelontong milik keluarga R. Soewardjo, yang tak jauh dari warung nasinya. Tiba di sana, Zulaiha melihat daun pintu toko masih tertutup. Ia telah lama mengenal keluarga Soewardjo, dan juga sudah tahu bahwa istri pemilik toko, Dewi Soesilowati, 60 tahun, terbiasa membuka toko kelontongnya pagi-pagi sekali. Maka, tanpa sungkan, Zulaiha mendorong daun pintu toko itu dan... apa yang dilihatnya?

Di balik pintu yang terbuka, ia menyaksikan pemandangan mengenaskan: Dewi terbaring tak bergerak dengan tubuh bermandikan darah. Spontan, Zulaiha menjerit histeris.

Para tetangga yang mendengar jeritan itu langsung keluar rumahnya masing-masing, dan ikut terpekik. Setelah polisi yang dikontak warga tiba di lokasi, mereka bersegera menggeledah toko dan rumah korban, serta Kantor Sekretariat PDIP Bondowoso, yang tak jauh dari rumah korban.

Ternyata tak cuma Ibu Dewi yang tewas. Di kamar depan rumah korban, polisi menemukan mayat putra sulung Soewardjo, Sapto Prihandono, 28 tahun. Lalu, di ruang kerja Ketua Dewan Pimpinan Cabang PDIP Bondowoso, polisi mendapati mayat Soewardjo, 68 tahun. Sama seperti istri dan anaknya, tubuh Soewardjo penuh luka bacokan senjata tajam, hantaman benda keras, dan jeratan tali di leher. Di dinding kantor, polisi menemukan kata caleg yang ditulis dengan darah.

Dari tulisan darah ini, pembunuhan itu diduga bermotif politik. Kapolres Bondowoso, A.K.B.P. Sumarjiyo, tak menampiknya. Menurut Sumarjiyo, polisi menemukan dua motif utama dalam kasus pembantaian tersebut. "Konflik keluarga dan konflik politik di tubuh internal Dewan Pimpinan Cabang PDIP Bondowoso," katanya. Menurut Kapolres, polisi menemukan fakta sempat terjadinya konflik selama proses penentuan Soewardjo sebagai calon anggota legislatif nomor satu daerah Bondowoso. Ada beberapa kader PDIP tak rela dengan penempatan dia pada urutan pertama pencalonan.

Putra sulung Soewardjo, Supranoto, juga seangguk. Menurut dia, semasa hidupnya Soewardjo pernah dimintai sejumlah dana sebagai kompensasi pelimpahan perolehan suara dalam pemilu legislatif lalu. Saat itu, ia memang cuma memperoleh suara langsung sekitar 250 suara. Namun, karena Soewardjo berada pada nomor urut pertama, ia memperoleh limpahan suara dari calon lain, yang menjadikannya calon terpilih. Nah, dengan alasan inilah Soewardjo kerap didatangi para calon anggota urutan bawah yang merasa suara mereka diambil. Tapi, kata Supranoto, ayahnya tak pernah menyebut siapa dan berapa jumlah rupiah yang diminta sebagai kompensasi pelimpahan perolehan suara itu.

Bau politik dalam pembunuhan itu juga makin kental dengan pengakuan Wakil Ketua I DPC PDI Perjuangan Bondowoso, Endin Gustandi. Menurut Endin, sekitar pukul 10.23 Rabu siang, beberapa saat setelah mayat Soewardjo dan anak-istrinya ditemukan, ia menerima pesan singkat di telepon genggamnya dari nomor yang tak dikenalnya. "Anda giliran berikutnya," begitu bunyinya.

Tim Hukum dan Advokasi PDIP juga menduga kasus pembunuhan ini bermotif politik. "Sebab, ada kecenderungan tokoh-tokoh lokal yang dianggap berpengaruh atau mampu memobilisasi massa diteror atau bahkan dibunuh," kata Trimedya Panjaitan, anggota Tim Hukum dan Advokasi PDIP.

Selain mencurigai adanya motif politik, polisi juga menaruh curiga pada motif rebutan harta keluarga dalam pembunuhan keji itu. Sebab, sampai menjelang akhir hayatnya, Soewardjo masih menguasai beberapa aset keluarga, berupa beberapa hektare sawah dan sejumlah penggilingan padi. Tapi hal ini dibantah adik kandung Soewardjo, Surahmat. Menurut dia, semua warisan keluarga ini sudah dibagi rata. "Pembagian warisan sudah jelas dan tidak ada persoalan," Surahmat menegaskan.

Kita tunggu kejelian polisi membongkar pembantaian tiga nyawa di pagi yang dingin itu. Karena memperebutkan kuasa atau harta?

Rian Suryalibrata, Mahbub Djunaidy (Bondowoso)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus