Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

lingkungan

Krisis Air Bersih di Halmahera Tengah Setelah Penambangan Nikel

Masyarakat adat dan warga desa di Halmahera Tengah mengalami krisis air bersih. Sumur dan sungai tercemar akibat tambang nikel.

7 Juli 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Air sumur di Desa Lelilef, Kecamatan Weda Tengah, Halmahera Tengah, Maluku Utara, sudah tidak bisa dikonsumsi lagi karena berbau dan berwarna keruh akibat tercampur lumpur dari tambang nikel.

  • Bencana ini tidak lepas dari alih fungsi hutan besar-besaran di Kabupaten Halmahera Tengah dan Halmahera Timur. Hutan alam yang berfungsi lindung dan produksi nyaris seluruhnya dikangkangi izin tambang.

  • Deforestasi hutan yang adalah hulu daerah aliran sungai otomatis membuat sungai-sungai mengalami pendangkalan, penyusutan ruang, dan dicemari limbah.

EMPAT galon air minum milik Sumirah berjejer rapi di teras rumahnya di Desa Lelilef Sawai, Kecamatan Weda Tengah, Kabupaten Halmahera Tengah, Maluku Utara. Perempuan 54 tahun itu duduk menunggu mobil pengangkut air isi ulang yang datang dua kali sepekan. Rutinitas ini sudah ia jalani tujuh tahun belakangan karena terjadi krisis air bersih semenjak air sumur di samping rumahnya tercemar lumpur dari limbah tambang nikel.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Air sumur di Desa Lelilef sudah tidak bisa diminum lagi,” kata Sumirah ketika ditemui di rumahnya pada Rabu, 29 Mei 2024. Dia menunjukkan air sumur yang berbau tak sedap dan berwarna keruh kecokelatan karena bercampur lumpur. Pencemaran air tersebut terjadi merata di semua sumur warga Lelilef Sawai sejak kawasan industri dan smelter nikel milik PT Indonesia Weda Bay Industrial Park (PT IWIP) beroperasi pada 2017.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Rumah Sumirah hanya berjarak 2 kilometer dari kawasan industri PT IWIP. Penduduk Lelilef Sawai yang berlokasi 141 kilometer di sebelah timur Kota Sofifi—ibu kota Provinsi Maluku Utara—itu berjumlah 940 jiwa. Di desa yang memiliki luas 816 hektare itu semula mayoritas penduduknya bekerja sebagai petani dan nelayan, tapi kini mereka menjadi buruh tambang nikel.  

Sumirah dan warga Lelilef Sawai lain mengandalkan air isi ulang untuk kebutuhan sehari-hari. Saban bulan, sedikitnya lima kali Sumirah harus membeli air galon. Total dalam sebulan ia membeli 20 galon air yang harga satu galonnya Rp 10 ribu. Artinya, setiap bulan Sumirah harus mengeluarkan uang Rp 200 ribu untuk mendapatkan air bersih.

Rustam Abubakar, 35 tahun, warga Satuan Pemukiman 2 Trans Kobe, Desa Woejerena, Kecamatan Weda Tengah, juga merasakan dampak krisis air. Ia menceritakan susahnya mengakses air bersih dalam lima tahun belakangan. Dia mengungkapkan, air sungai dan sumur di tempatnya sudah tidak bisa digunakan mencuci, mandi, atau memasak, apalagi dikonsumsi. “Kami lebih banyak menggunakan air hujan untuk kebutuhan mandi dan mencuci,” ucap Rustam.

Adapun untuk kebutuhan air minum, Rustam bersama warga Woejerena mengandalkan air isi ulang. Dalam sepekan, warga dan pekerja di wilayah tambang itu membutuhkan sekitar 2.000 galon atau 20 ribu liter air isi ulang untuk dikonsumsi. Kebutuhan akan meningkat menjadi 2.500 galon saat musim hujan tiba.

Tidak hanya menimpa Lelilef Sawai dan Woejerena, krisis air bersih meluas ke desa-desa lain di Kecamatan Weda Tengah, seperti Kobe, Kulo Jaya, Lelilef Waibulan, Sawai Itepo, dan Woekob. Setiap kali musim hujan datang, paceklik air bersih tak bisa dihindari. Sumur-sumur warga dipenuhi rembesan air yang bercampur lumpur atau sedimen limbah tambang.

Bencana ini tidak lepas dari alih fungsi hutan besar-besaran di Kabupaten Halmahera Tengah dan Halmahera Timur. Hutan alam yang berfungsi lindung dan produksi nyaris seluruhnya dikangkangi izin tambang. Saat Tempo berkunjung ke Lelilef Sawai, dari kejauhan tampak hamparan hutan yang sebelumnya berfungsi sebagai daerah tangkapan air berubah menjadi lahan gundul. Bukit-bukit habis dikeruk tanahnya dan berubah menjadi bangunan pabrik.

Deforestasi hutan, yang merupakan hulu daerah aliran sungai, otomatis membuat sungai-sungai mengalami pendangkalan, penyusutan ruang, dan tercemar limbah. Banyak sungai yang tertimbun tumpukan tanah kupasan tambang. Tempo mengamati ada tiga sungai yang bermuara di Teluk Weda sudah tidak bisa dilihat karena ditimbun tanah. Sungai-sungai itu adalah Karkar, Woebem, dan Gwondi yang mengalir tak jauh dari Desa Lelilef Sawai.

Tiga sungai lain bernasib sama: mengalami penurunan kualitas. Di antaranya Sungai Kobe di Dusun Lukulamo, Desa Lelilef Waibulan; Sungai Akejira di Dusun Trans Kobe, Desa Worsea; dan Sungai Akedoma di Desa Lelilef Sawai. Sebelumnya, sungai-sungai itu menyuplai air bersih yang dapat dikonsumsi. Kini kondisinya memprihatinkan karena dipenuhi sedimentasi yang membuat warnanya berubah keruh dan dipenuhi sampah rumah tangga.

Pemerintah bersama banyak negara sebenarnya sudah memiliki konsensus untuk segera mengatasi masalah krisis air bersih ini. Salah satu caranya adalah melalui agenda internasional World Water Forum (WWF) yang digelar di Bali pada 18-25 Mei 2024. Namun persoalan krisis air bersih di desa-desa wilayah tambang—termasuk yang terjadi di Halmahera Tengah—tidak menjadi sorotan pemerintah dalam perhelatan WWF. 

•••

DINAS Lingkungan Hidup Provinsi Maluku Utara sebetulnya sudah memiliki beberapa temuan ihwal kerusakan air sumur dan sungai di Halmahera Tengah. Pada tahun lalu, mereka menggandeng Water Laboratory Nusantara yang berbasis di Manado, Sulawesi Utara, untuk menguji kualitas air Sungai Kobe di Dusun Lukulamo, Desa Lelilef Waibulan. Tim peneliti menemukan pencemaran air sungai yang sudah melebihi ambang batas baku mutu.

Laporan mereka mendapati tingkat kekeruhan air sungai akibat sedimentasi atau total padatan tersuspensi (TSS) di Sungai Kobe mencapai 114 miligram per liter. Jumlah itu jauh dari standar yang ditetapkan pemerintah, yaitu 50 miligram per liter. Ditemukan pula konsentrasi bakteri koliform—yang berasal dari tinja manusia atau hewan—mencapai 1.300 angka paling mungkin (MPN) per 100 mililiter air. Jumlah tersebut sudah melebihi ambang batas yang ditetapkan, yakni 1.000 MPN per 100 mililiter air.

Hasil uji kualitas air yang buruk juga didapat oleh Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER). Air di beberapa sungai di Weda Tengah diketahui bahkan sudah dipenuhi sedimen dan tercemar logam berat. Misalnya Sungai Kobe dan Sungai Akedoma mengalami tingkat sedimentasi yang tinggi. Sedimen tersebut terbawa oleh limpasan air hujan dari lahan gundul di area hulu sungai.

Masih dari uji kualitas air AEER, air Sungai Wosea di Lelilef Sawai didapati mengandung kromium heksavalen atau Cr(VI) dengan konsentrasi 0,017 miligram per liter. Kadar itu melebihi baku mutu yang ditetapkan oleh organisasi nonprofit Initiative for Responsible Mining Assurance, yaitu 0,011 milligram per liter. Senyawa Cr(VI) merupakan logam berat yang bisa menjadi karsinogen. Diyakini, jika terhirup, Cr(VI) bisa menyebabkan kanker paru.

Uji kualitas air sungai di wilayah Weda Tengah yang dilakukan Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) pun mendapati hal yang sama. Di Sungai Akedoma, misalnya, kandungan nikel totalnya mencapai 4,37 milligram per liter dan di Sungai Kobe 4,48 milligram per liter. “Angka itu jauh di atas baku mutu yang ditetapkan pemerintah, yaitu 0,5 milligram per liter,” ucap Melky Nahar, Koordinator Nasional Jatam.

Aktivitas jual-beli air kemasan isi ulang warga Desa Lelilef Waibulan, Kecamatan Weda Tengah, Kabupaten Halmahera Tengah, Maluku Utara, 30 Mei 2024./Tempo/Budi Nurgianto

Pengajar di Fakultas Teknik Universitas Muhammadiyah Maluku Utara, Abdul Kadir Arif, menyebutkan temuan beragam logam berat dalam air sungai di Halmahera Tengah menjadi bukti dampak aktivitas tambang nikel. Dia menjelaskan, alih fungsi pada suatu bentang alam pasti mempengaruhi kualitas lingkungan. “Aktivitas tambang di Halmahera Tengah jelas mengubah lanskap lingkungan, termasuk sistem air di dalam daerah aliran sungai,” ucap Abdul.

Riset Abdul pada 2013-2024 juga mendapati adanya perubahan bentang alam akibat tambang di beberapa wilayah. Di antaranya Desa Lelilef Sawai di Kecamatan Weda Tengah serta Desa Gemaf dan Desa Sagea di Kecamatan Weda Utara. Dia menambahkan, kerusakan lingkungan biasanya dimulai dari hutan alam yang makin habis. Disusul kerusakan sungai dan kawasan pesisir yang tercemar. 

Penjabat Bupati Halmahera Tengah, Ikram M. Sangadji, mengaku belum mendapat laporan ihwal temuan air sungai di hulu dan hilir yang tercemar akibat aktivitas pertambangan. Begitu pula dengan pencemaran logam berat pada air sungai di Weda Tengah. “Saya belum dapat laporan terkait dengan temuan ini. Jika ada laporan, saya pastikan akan meresponsnya dengan cepat karena berhubungan dengan hak masyarakat mendapatkan air bersih,” tutur Ikram.

Ia tidak memungkiri kabar bahwa kualitas air sungai di Weda Tengah tergolong buruk. Namun pencemaran air, Ikram mengimbuhkan, tidak semata-mata dipengaruhi aktivitas tambang. “Struktur tanah yang berlumpur menyebabkan aliran air di wilayah Weda Tengah sering keruh,” ujarnya. Pemerintah mengatasi masalah ini dengan membangun instalasi pengolahan air di Weda Tengah dan Kota Weda untuk menyuplai air bersih bagi warga. 

Ikram juga tak menepis warta bahwa banyak area kawasan hutan di wilayahnya sudah beralih fungsi menjadi area pertambangan. Dia menerangkan, lahan di sana ditujukan bagi aktivitas pertambangan dan kawasan industri terpadu baterai mobil listrik. Lokasinya adalah di kawasan hutan produksi yang bisa dikelola. 

Kepala Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Maluku Utara Fahruddin Tokoboya membantah temuan air sungai dan sumur di wilayah Weda Tengah yang tercemar logam berat. Pihaknya hingga saat ini mengaku masih menerima laporan secara rutin tentang kualitas air di Weda Tengah dan tidak dilaporkan ada pencemaran. Ia menolak memberikan komentar secara rinci perihal laporan tersebut. “Saya belum mendapat laporan soal ini,” katanya. 

•••

KRISIS air bersih juga mengancam ruang hidup orang O’Hongana Manyawa atau biasa disebut suku Tobelo Dalam. Orang rimba suku Tobelo Dalam adalah suku asli yang mendiami Pulau Halmahera. Mereka menggantungkan hidup pada hutan dengan cara berburu hewan dan meramu tumbuhan. Pola hidup suku Tobelo Dalam adalah mengembara dari satu bentang alam ke bentang yang lain.

Wilayah hidup suku ini terutama di kawasan konservasi Taman Nasional Aketajawe Lolobata yang membentang seluas 167.300 hektare di Halmahera. Mereka juga menghuni kawasan hutan lindung, hutan produksi tetap, dan hutan produksi terbatas. Belakangan, kawasan hutan di wilayah itu sudah terbuka. Penggundulan hutan terjadi. Bukit-bukit dikeruk dan tanah merah digali. Hingga radius 10 kilometer, hutan di kawasan Weda Tengah sudah berubah menjadi lahan terbuka.

Kehidupan suku Tobelo Dalam sebulan belakangan diperbincangkan saat Baba, 36 tahun, bersama kedua istrinya keluar dari hutan di sekitar Desa Gemaf, Kecamatan Weda Utara. Ketiganya mendatangi kamp karyawan PT IWIP untuk meminta makanan. Dalam video yang beredar, terlihat Baba dan istrinya digandeng melintasi hamparan tambang menuju barak.

Aktivis Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Maluku Utara, Munadi Kilkoda, berupaya mencari keberadaan Baba dan dua istrinya itu. Menurut dia, suku Tobelo Dalam kini menghadapi ancaman akibat ekspansi pertambangan nikel yang merambah hutan alam. “Satu-satunya cara menyelamatkan suku Tobelo Dalam adalah menetapkan kawasan hutan adat untuk mereka, sekaligus mencabut izin pertambangan yang ada,” tutur Munadi.

Dia mengungkapkan, perusahaan membabat hutan dan menggangsir bijih nikel sehingga terjadi kerusakan pada sejumlah daerah aliran sungai. Tuduhan Munadi itu cocok dengan temuan analisis spasial Yayasan Auriga Nusantara yang mencatat area penggundulan hutan Halmahera Tengah selama 20 tahun terakhir setara dengan luas 27 ribu lapangan sepak bola. Tingkat penggundulan hutan tertinggi terjadi di wilayah Weda Tengah seluas 7.000 hektare dan Weda Utara 2.000 hektare.

Di wilayah itu juga ditemukan banyak area konsesi pertambangan nikel milik beberapa perusahaan. Di antaranya PT Weda Bay Nikel seluas 45 ribu hektare, PT Halmahera Sukses Mineral 7.726 hektare, dan PT Tekindo Energi 1.000 hektare. Bentangan kawasan hutan itu juga dipenuhi wilayah izin yang diterbitkan oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Akibatnya, suku Tobelo Dalam kehilangan ruang hidupnya. Termasuk akses terhadap air bersih di sungai-sungai.

Manajer Komunikasi PT Indonesia Weda Bay Industrial Park Setya Yudha Indraswara mengatakan tidak mengetahui perihal temuan buruknya kualitas air sungai di wilayah Weda Tengah. Pihaknya, Setya mengimbuhkan, belum bisa memberikan tanggapan mengenai hal tersebut. “Saya juga tidak tahu temuan apa dan siapa yang menemukan. Jadi tentu saja untuk saat ini saya belum bisa memberikan tanggapan,” kata Setya ketika dimintai konfirmasi pada Rabu, 3 Juli 2024

Sedangkan pihak PT Tekindo Energi membantah dugaan bahwa aktivitas tambangnya mencemari air dan mengganggu ruang hidup suku Tobelo Dalam. Syamsul Rizal Hasdy, selaku Presiden Direktur PT Tekindo Energi, menuturkan, perusahaannya menjalankan aktivitas tambang dengan hati-hati. Terutama memperhatikan aspek lingkungan, termasuk menjaga kualitas air dan keberadaan masyarakat adat. “Tidak benar kalau aktivitas tambang kami mencemari lingkungan,” tutur Syamsul.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Budhi Nurgianto dari Halmahera Tengah berkontribusi dalam penulisan artikel ini. Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawaj judul "Paceklik Air Tersebab Tambang Nikel"

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus