Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pemikir Islam, Mun'im Sirry, merilis buku baru, Think Outside the Box: Membebaskan Agama dari Penjara Konservatisme.
Dalam buku itu, Mun'im Sirry menyebutkan bahwa Al-Quran merupakan kalam Allah sekaligus perkataan Nabi Muhammad SAW.
Seperti karya-karya sebelumnya, termasuk Rekonstruksi Islam Historis: Pergumulan Kesarjanaan Mutakhir, buku ini memantik polemik dan debat akademis.
AL-QURAN adalah kalam Allah dan perkataan Nabi Muhammad SAW. Menyebutkan bahwa Al-Quran langsung datang dari langit, seperti pemahaman ulama-ulama ortodoks, merupakan pemikiran ahistoris.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mun’im Sirry menjadikan premis itu sebagai bab pembuka dalam buku teranyarnya, Think Outside the Box: Membebaskan Agama dari Penjara Konservatisme. Buku ini menentang doktrin-doktrin agama yang menurut Mu’nim pijakannya rapuh.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dosen kajian Al-Quran dan hubungan antaragama di University of Notre Dame, Indiana, Amerika Serikat, ini mengutip pandangan Fazlur Rahman. Pemikir dan filsuf Islam asal Pakistan tersebut menyebutkan Al-Quran sepenuhnya kalam Allah dan, pada saat yang sama, perkataan Nabi.
Mun’im menjelaskan, kalam Allah adalah sesuatu yang tidak bisa dibagi-bagi dan tak diturunkan dalam bahasa Arab, Ibrani, atau Suryani. Ada distingsi antara wahyu yang asali dan lafaz-lafaz dalam Al-Quran yang ada di tangan kita. “Masalahnya, pandangan ortodoks cenderung menafikan adanya distingsi tersebut,” ujar Mun’im.
Pertanyaan yang tersisa, siapa yang menjelaskan atau menguraikan kitab transenden? Mun’im mengatakan hanya ada dua opsi. Pertama, “utusan” yang dikirim Tuhan untuk menyampaikannya kepada Nabi Muhammad. Kedua, Nabi sendiri. “Dua opsi itu dianut oleh sebagian ulama klasik,” katanya.
Mun’im mengimbuhkan, opsi pertama runtuh karena adanya ayat-ayat yang menyebutkan bahwa “utusan Tuhan” itu menyampaikannya ke dalam hati Nabi Muhammad. Artinya, yang disampaikan adalah wahyu nonverbal. Argumen lain yang melemahkan opsi pertama adalah, dalam banyak ayat, Tuhan mewahyukan kalam-Nya langsung kepada Rasulullah tanpa perantara. “Dengan demikian, opsi yang tersisa, Nabi-lah yang menguraikan wahyu nonverbal dengan lafaz-lafaznya sendiri,” tutur Mun’im.
Buku Mun'im Sirry ini, terutama pada bab pertama, menuai kontroversi dan memicu perdebatan di media sosial serta dalam diskusi, ceramah, dan seminar. Muhammad Nuruddin, mahasiswa doktoral Universitas Al-Azhar di Kairo, Mesir, menjadi salah satu akademikus yang menentang pemikiran tersebut. Dia menyebutkan Mun’im hanya mengutip pemikir-pemikir liberal yang bukan ahli Al-Quran dan tak memiliki dalil kuat. Menurut Nuruddin, pemikir modernis Arab rujukan Mun'im, seperti Ali Mabruk, Nasr Hamid, Arkoun, dan Abdul Majid Asy-Syarafi adalah tokoh yang mendapat kritik dari banyak akademikus dan ditolak ulama.
Nuruddin sampai secara khusus menulis Membuktikan Al-Qur'an sebagai Kalam Ilahi: Analisis dan Kritik atas Pemikiran Mun’im Sirry sebagai buku tandingan. Mereka bertemu dan berdebat seru dalam seminar yang digelar Perguruan Tinggi Ilmu Al-Qur'an Jakarta pada 25 Juni 2024.
Buku terbaru Mun’im merangkum hasil gugatannya terhadap ulama-ulama ortodoks yang menyimbolkan tradisionalisme Islam. Sejarawan agama itu aktif mengunggah gagasannya melalui akun Facebook-nya sebelum menerbitkannya menjadi buku.
Mun’im—yang dua pekan terakhir menggelar diskusi bukunya di Malang, Madura, dan Surabaya, Jawa Timur; Yogyakarta; serta Jakarta—banyak mendapat tudingan sebagai orang kafir dan sesat. Penyelenggara diskusi sampai waswas akan digeruduk kelompok garis keras.
Mun'im menyatakan apa yang ia tulis itu sebagai refleksi perbincangan intelektual yang seharusnya tidak serta-merta dikaitkan dengan urusan iman. Bila dikaitkan dengan iman, iman yang perlu dikembangkan adalah yang mendorong pemahaman. “Bukan iman yang menghambat pengetahuan,” ucap Mun'im dalam bukunya.
Di SaRanG Building, galeri seni di Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, saat mendiskusikan bukunya pada 19 Juni 2024, Mun’im menyatakan ilmu dan iman bisa berjalan beriringan. Bagi dia, iman tidak menghalangi manusia mengembangkan ilmu pengetahuan.
Mun'im Sirry (tengah) saat diskusi buku Think Outside the Box: Membebaskan Agama dari Penjara Konservatisme di SaRanG Building di Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, Rabu, 19 Juni 2024. Tempo/Shinta Maharani
Lewat Facebook sejak dua tahun lalu, Mun’im menyatakan warisan masa lalu hendaknya tidak ditelan mentah-mentah dan diterima tanpa kritik. Dia menghormati karya ulama-ulama dengan mengkaji dan menelitinya. Jika berhubungan dengan karya sejarah, dia mengujinya dengan metode kritik historis modern. Jika berkaitan dengan teologi, dia menawarkan penafsiran dengan perangkat keilmuan yang ia pelajari.
Mun’im menulis buku ini dengan gaya bahasa yang lebih ringan ketimbang buku-buku dia sebelumnya yang ditulis secara amat akademis. Dia juga menyertakan berbagai pengalaman tidak menyenangkan sebagai imbas pernyataan-pernyataannya di ruang publik. Misalnya soal potongan ceramahnya tentang dua surat yang hilang dari Al-Quran. Padahal saat itu Mun’im menyampaikan sejumlah kajian Al-Quran kontemporer, yakni debat kelahiran Al-Quran dan berbagai kajian manuskrip.
Karya Mun’im sebelumnya, Rekonstruksi Islam Historis: Pergumulan Kesarjanaan Mutakhir, memuat asal-usul Islam secara historis dan kanonisasi Al-Quran. Buku terbitan 2021 itu menyuguhkan perdebatan sarjana tradisionalis dan revisionis. Mun’im melengkapinya dengan data yang berlimpah, catatan kaki, dan daftar pustaka. Buku teranyarnya tidak demikian.
Dalam karyanya, alumnus Pesantren Al-Amien Prenduan, Madura, itu menekankan perlunya berpikir kreatif dan inovatif di tengah derasnya arus gelombang ide baru. Orang-orang perlu mencari penjelasan alternatif atas berbagai persoalan yang dihadapi masyarakat, termasuk merespons persoalan-persoalan lama, sehingga percakapan keilmuan tidak jalan di tempat.
Mun'im sejalan dengan tokoh-tokoh pembaru Islam yang menjadikan Islam sebagai work in progress, bukan sesuatu yang sudah selesai. Semangat yang mereka bawa adalah reformasi dengan tidak menjadikan pandangan ulama-ulama sebagai veto.
Sejak awal, Mun’im sadar bukunya menuai kontroversi karena dia banyak berbicara tentang penafsiran Al-Quran dan berbagai tradisi keagamaan sebelum Islam, termasuk Yahudi dan Kristen. Sebagian topik tentang inklusivitas antaragama dalam buku itu bukanlah hal baru. Contohnya pernikahan beda agama dan pluralisme.
Bab tentang pernikahan beda agama mempersoalkan para ulama klasik dan modern yang mengharamkan pernikahan perempuan muslim dengan laki-laki nonmuslim. Mun’im memperlihatkan kelemahan argumen mereka yang melarangnya. Pemikir dan ahli bahasa Arab asal Libanon, Syekh Abdullah al-‘Alayli, misalnya, menguji argumentasi para ulama yang mengharamkan pernikahan beda agama.
Menurut Abdullah al-‘Alayli, tak ada dalil tekstual dalam Al-Quran ataupun hadis yang secara eksplisit mengharamkan pernikahan antara perempuan muslim dan laki-laki nonmuslim. Klaim ijmak atau konsensus tak dapat dijadikan dasar hukum karena ijmak yang dimaksudkan tidak pernah terjadi pada masa awal Islam. Kekuatan ijmak sebagai sumber hukum diperdebatkan banyak ulama.
Buku lain, di antaranya:
• Pendidikan dan Radikalisme: Data dan Teori Memahami Intoleransi Beragama di Indonesia, 2023
• Membendung Militansi Agama: Iman dan Politik dalam Masyarakat Modern, 2003
• Kontroversi Islam Awal: Antara Mazhab Tradisionalis dan Revisionis, 2015
• Tradisi Intelektual Islam: Rekonfigurasi Sumber Otoritas Agama, 2015
Ihwal pluralisme, Mun’im menyodorkan pemikiran sarjana Barat kontemporer, Wilfred Cantwell Smith, tentang studi Islam dan perbandingan agama. Smith berbicara tentang upaya membangun teologi yang melintasi sekat-sekat keagamaan.
Mun’im kembali mengkritik fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang mengutuk pluralisme karena menyamakan dan merelatifkan agama. Fatwa MUI itu, menurut lulusan teologi University of Chicago, Amerika Serikat, tersebut, bermasalah.
Asumsi keliru di balik fatwa MUI ialah anggapan bahwa para penggagas pluralisme bukanlah kaum beriman yang punya komitmen kuat terhadap agama. Asumsi itu keliru total karena pluralisme merupakan gagasan yang bersumber dari keyakinan teologis. Pluralisme justru mengakui dan mengapresiasi keberagaman serta perbedaan agama.
Pemikir Islam, Nurcholish Madjid, dan guru besar Universitas Islam Negeri Jakarta, Siti Musdah Mulia, sebelumnya banyak mengulas perkawinan beda agama yang sah menurut Islam. Abdurrahman Wahid alias Gus Dur juga lebih dulu menggagas pluralisme dan pengakuan terhadap kelompok minoritas. Mun’im memang menyebutkan kontribusi tokoh-tokoh tersebut dalam bukunya dan mengakui sebagian topiknya bukanlah hal baru. Bagi dia, buku ini memotret persoalan lama dan berbagai tema yang hangat diperbincangkan publik dengan sudut pandang berbeda.
Masalah muncul pada penyuntingan karena masih terdapat salah tik di sejumlah halaman yang mengganggu kenikmatan membaca buku Mun'im Sirry ini. Sudah saatnya dia menyerahkan naskah kepada editor sebelum diterbitkan.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo