Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MASUK ke Jenin. Begitu permintaan yang saya terima dari Redaksi TEMPO di Jakarta awal pekan lalu. Bayang-bayang akan kota tua yang dalam bahasa Arab disebut Ayn Jenim atau Ujung Surga itu memenuhi benak saya. Sebuah hunian dengan kontur berbukit-bukit yang sudah jadi obyek turis sejak zaman Romawi kuno.
Namun surga Palestina itu kini sudah tak sesuai dengan namanya. Yang terpampang saat saya sampai di sana Kamis lalu adalah kota yang hancur lebur. Bau busuk mayat mengambang di udara, memaksa tangan saya agar selalu siaga di depan hidung, supaya rasa mual di perut berkurang.
Penderitaan yang berkepanjangan membuat warga—terutama laki-laki—tak lagi mampu mengeluarkan air mata. Bila sesosok mayat anggota keluarga ditemukan, yang terdengar sumpah serapah kepada pasukan Israel.
Dua pekan lalu saya tak berani bermimpi menginjakkan kaki ke Jenin. Pasukan Israel mengosongkan wilayah ini dari wartawan dan turis dengan menyatakannya sebagai daerah operasi militer. Namun perlahan-lahan Tel Aviv mengurangi tekanannya dan mulai mengizinkan beberapa orang asing berziarah.
Alasan yang sama—ziarah—saya gunakan ketika Samir dan Ustad Imaddudin mengantar saya memasuki perbatasan Jenin dari Amman, Yordania. Saya cukup beruntung bisa mendapatkan Samir, warga Palestina yang telah seperempat abad tinggal di Amman dan sangat mengenal jalur darat dari Yordania ke Tepi Barat.
Sebelum bergerak ke perbatasan, saya meminta Samir menuju ke kawasan Guiding Star, yang terletak di Circle 3-Jabal Amman, untuk menjemput Ustad Imaddudin. Kurang lebih 30 menit kemudian rombongan saya tiba di perbatasan. Sebelum meluncur kembali ke Amman, Imaddudin sempat mewanti-wanti saya, ”Jangan sebut Anda wartawan jika ingin berhasil ke Jenin.”
Pesan Imaddudin masih terngiang di telinga ketika polisi Israel dengan mata nyalang menatap lembaran paspor dan sosok saya. Sekujur tas dan tubuh juga tak luput dari penggeledahan. Saya beruntung karena mereka percaya dengan alasan saya untuk berziarah, sementara puluhan wartawan dan turis asing lainnya belum berhasil mengantongi izin masuk.
Namun keberuntungan tak berulang dua kali. Seusai meliput kamp pengungsi Jenin, saya dan Samir tertahan di perbatasan saat matahari sudah mulai lingsir ke barat. Kartu identitas wartawan yang tidak saya sembunyikan dengan baik dilihat oleh polisi Israel, dan itulah awal malapetaka.
Rentetan makian kasar pun terucap ringan. Dua gulungan film hasil jepretan dari Jenin, yang telah saya keluarkan dari lensa, berakhir nasibnya di ujung sepatu mereka. Satu gulung lainnya yang masih ada di kamera mereka tarik dengan paksa. Tak ada sebuah dokumentasi dari Jenin pun yang tersisa.
Kartu wartawan saya mereka ambil dengan paksa. Imaddudin, yang mendengar keluhan saya, berjanji untuk melobi komandan perbatasan, meski diakuinya cukup susah untuk mendapatkannya kembali.
”Anda lebih beruntung, cuma film yang hancur. Wartawan asing lainnya paling tidak ditahan setengah hari sebelum bebas,” ujar Samir mencoba menghibur saya ketika mobilnya tiba kembali di Amman.
Zuhaid el-Qudsy (Jenin)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo