Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Lampu Merah dari Si Kuning

Saatnya membangun tangki kakus gotong-royong. Kenapa kotoran manusia jadi persoalan?

4 September 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buang hajat bukan lagi urusan pribadi!”

Wow..., ada apa dengan si Dul—de­mi­kian nama panggil­an Abdullah Mutalib—sampai membawa-bawa ritual di kamar kecil ke ruang publik?

Dengan serius, Dul menunjuk tanah. Hajat personal itu menjadi urusan publik karena limbah tak berhenti di tangki kakus, tapi mencemari air tanah, ka­ta Ketua Umum Forum Komunikasi­ Pe­­ngelolaan Kualitas Air Minum itu da­lam acara Hari Monitoring Air Sedunia, akhir Agustus lalu, di Kelurahan Ba­limester, Jakarta Timur. Ia menyebut­kan, sekitar 70 persen sumur warga di Ja­karta kini tercemar limbah pribadi itu.

Seorang warga Jakarta Barat b­er­na­ma Irene Kusumaningtyas mengaku ­me­rasakan betul dampak pencemar­an itu. Sudah lama ia terpaksa minum, memasak, dan mencuci bahan makanan dengan air mineral galonan. Ia ha­rus merogoh koceknya untuk air mi­neral itu dengan harga sekitar Rp 10 ribu per galon. ”Dalam seminggu, saya harus membeli lima galon air kemasan,” kata karyawati sebuah perusahaan asuransi ini. Untuk mandi pun ibu dua balita ini membeli air ledeng yang dijajakan pe­dagang keliling dengan jeriken.

Mpok Yayat juga tahu air tanahnya telah tercemar tinja. Tapi, ia terpaksa tetap memakainya, karena air kemasan tak terjangkau oleh Mpok Yayat. Maklumlah, ia mencari nafkah sebagai pembantu rumah tangga paruh waktu di bilangan Fatmawati, Jakarta Selatan. Air ledeng yang berharga lebih murah juga tidak menjulur sampai ke depan rumah. Setidaknya, separuh warga Jakarta bernasib seperti dia.

Bukan cuma Jakarta yang air tanah­nya tercemar berat oleh limbah pribadi. Kepala Divisi Kampanye WALHI Jakarta, Khalisah Khalid, mengabarkan air tanah kota-kota lainnya di Indonesia tak kalah kotor. Tak ada data pencemar­an mutakhir, tapi enam tahun lalu saja, lebih dari 70 persen air tanah dan lebih dari 40 persen air ledeng yang dipasok perusahaan air minum di perkotaan seluruh Indonesia sudah tercemar tinja.

Abdulah tahu, tinja harus disingkirkan dari air tanah secepat mungkin. Limbah ini mengangkut banyak perkara. Di dalamnya ada organisme renik penyebab tifus, kolera, hepatitis A, polio, hingga telur cacing. Tapi, menangani si kuning bukan kerja sepele. Setiap orang menyumbang 125-250 gram tinja per hari. Jika dikalikan dengan tujuh juta warga Jakarta, setiap hari dihasilkan 1.750 ton tinja. Limbah itu ditampung dalam satu juta tangki, yang 70 persen di antaranya dibuat dengan konstruksi seadanya dan rentan bocor.

Masalah tinja makin rumit diurai, sebab Jakarta adalah rumah-rumah yang berdempetan. ”Sehingga membuat jarak septic tank ke sumur galian, yang idealnya 10 meter, tak terpenuhi,” ujar Abdullah kepada Tempo. Dalam catatannya, hanya 60 persen tangki kakus di Jakarta berada dalam jarak aman ke sumur.

Itu baru berlaku untuk Jakarta. De­ngan menganggap saat ini seratus juta orang tinggal di kawasan perkotaan, maka kawasan ini menghasilkan 25 ribu ton tinja atau sekitar dua kali lebih ba­nyak dari material padat dalam lumpur yang dikeluarkan sumur lumpur Lapindo setiap hari.

Bandingkanlah jumlah limbah yang harus diurus itu dengan anggaran yang tersedia. Direktur Permukiman dan Perumahan Badan Perencanaan Pemba­ngunan Nasional, Basah Hernowo, me­­ngatakan, anggaran untuk sanitasi ha­­nya berkisar 0,3 persen dari total ang­ga­­ran, sementara pertumbuhan penduduk perkotaan mencapai lebih dari dua persen per tahun. Atau, simak angka Abdulah: selama 30 tahun ter­akhir, pemerintah hanya menyediakan Rp 200 per orang per tahun untuk menangani masalah limbah tinja, sedangkan ke­butuhan ideal Rp 47 ribu per orang per tahun.

Basah Hernowo yakin harusnya ada solusi dari masalah tinja ini. Caranya, masyarakat harus lebih aktif terlibat, atau, dalam bahasa Abdulah, ”Buang hajat bukan lagi urusan pribadi!”

Langkah awal sudah dimulai. Peme­rintah bersama lembaga donor kini meng­kampanyekan program Sanitasi Oleh Masyarakat. Menurut catatan salah satu donatur, Program Lingkungan USAID, saat ini 15 kota telah berkomitmen terhadap program tersebut.

Pemerintah juga memperkenalkan tang­­­ki kakus gotong-royong. Sistem ini ter­­­diri atas tangki pembuangan l­imbah pri­­­badi yang digunakan bersama-sama, sa­­­lur­an pembuangan dari rumah, sa­luran pengumpul, dan instalasi peng­olahan.

Sistem ini sesungguhnya tidak baru di Indonesia. Kota Bandung telah memilikinya sejak 1978 dan kini menjadi sistem pengolahan jaringan air kotor terbaik di negeri ini dan terbesar di Asia Tenggara.

Dibangun pada 1978 lewat proyek Ban­dung Urban Development Proyek, Instalasi Pengolahan Air Limbah Bojongsoang yang terletak di Kabupa­ten Bandung memiliki pipa jaringan air kotor sepanjang 468 kilometer. Kapasitasnya 240 ribu meter kubik de­ngan kemampuan keluar-masuk limbah rata-rata 100 ribu meter kubik. Instalasi di atas la­han 85 hektare yang dikelola Perusahaan Daerah Air Minum Kota Bandung ini melayani kawasan Ban­dung Timur, Ban­dung Tengah, dan Bandung Selatan.

Limbah ini diolah dengan teknologi konvensional secara fisik, biologi, dan kimia. Setelah diolah, airnya siap dialirkan ke Sungai Citarun tanpa perlu khawatir memicu masalah. Airnya bahkan bisa langsung dimanfaatkan oleh masyarakat untuk budidaya ikan dan pertanian.

Jika sistem ini dapat diterapkan di Ja­kar­ta dan kota-kota lainnya, menurut ­Ba­sah Hernowo, tangki kakus tak dibutuhkan lagi, sehingga potensi pen­ce­maran air tanah akan berkurang. Buang hajat pun tak perlu menjadi urus­an ­publik.

D.A. Candraningrum, Rana Akbari Fitriawan (Bandung)


DARI PERUT KE SUMUR

Air tanah harus diselamatkan dari cemaran tinja. Ini bukan hanya tugas pemerintah. Menurut Foort Bustraan, penasihat tata air kota untuk Environmental Services Program USAID, warga juga berperan besar dalam kasus pencemaran limbah ini dalam air tanah. ”Kesadaran masyarakat tentang sanitasi yang bersih masih sangat kurang,” ujarnya kepada Tempo.

Sumber tinja utama yang mencemari air tanah adalah tangki kakus yang salah konstruksi atau tidak terawat. Hal ini menyebabkan limbah merembes ke tanah di sekitarnya. Namun, tinja di sungai ikut punya andil, terutama pada sumur-sumur di dekat bantaran.

D.A. Candraningrum

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus