Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Buang hajat bukan lagi urusan pribadi!”
Wow..., ada apa dengan si Dul—demikian nama panggilan Abdullah Mutalib—sampai membawa-bawa ritual di kamar kecil ke ruang publik?
Dengan serius, Dul menunjuk tanah. Hajat personal itu menjadi urusan publik karena limbah tak berhenti di tangki kakus, tapi mencemari air tanah, kata Ketua Umum Forum Komunikasi Pengelolaan Kualitas Air Minum itu dalam acara Hari Monitoring Air Sedunia, akhir Agustus lalu, di Kelurahan Balimester, Jakarta Timur. Ia menyebutkan, sekitar 70 persen sumur warga di Jakarta kini tercemar limbah pribadi itu.
Seorang warga Jakarta Barat bernama Irene Kusumaningtyas mengaku merasakan betul dampak pencemaran itu. Sudah lama ia terpaksa minum, memasak, dan mencuci bahan makanan dengan air mineral galonan. Ia harus merogoh koceknya untuk air mineral itu dengan harga sekitar Rp 10 ribu per galon. ”Dalam seminggu, saya harus membeli lima galon air kemasan,” kata karyawati sebuah perusahaan asuransi ini. Untuk mandi pun ibu dua balita ini membeli air ledeng yang dijajakan pedagang keliling dengan jeriken.
Mpok Yayat juga tahu air tanahnya telah tercemar tinja. Tapi, ia terpaksa tetap memakainya, karena air kemasan tak terjangkau oleh Mpok Yayat. Maklumlah, ia mencari nafkah sebagai pembantu rumah tangga paruh waktu di bilangan Fatmawati, Jakarta Selatan. Air ledeng yang berharga lebih murah juga tidak menjulur sampai ke depan rumah. Setidaknya, separuh warga Jakarta bernasib seperti dia.
Bukan cuma Jakarta yang air tanahnya tercemar berat oleh limbah pribadi. Kepala Divisi Kampanye WALHI Jakarta, Khalisah Khalid, mengabarkan air tanah kota-kota lainnya di Indonesia tak kalah kotor. Tak ada data pencemaran mutakhir, tapi enam tahun lalu saja, lebih dari 70 persen air tanah dan lebih dari 40 persen air ledeng yang dipasok perusahaan air minum di perkotaan seluruh Indonesia sudah tercemar tinja.
Abdulah tahu, tinja harus disingkirkan dari air tanah secepat mungkin. Limbah ini mengangkut banyak perkara. Di dalamnya ada organisme renik penyebab tifus, kolera, hepatitis A, polio, hingga telur cacing. Tapi, menangani si kuning bukan kerja sepele. Setiap orang menyumbang 125-250 gram tinja per hari. Jika dikalikan dengan tujuh juta warga Jakarta, setiap hari dihasilkan 1.750 ton tinja. Limbah itu ditampung dalam satu juta tangki, yang 70 persen di antaranya dibuat dengan konstruksi seadanya dan rentan bocor.
Masalah tinja makin rumit diurai, sebab Jakarta adalah rumah-rumah yang berdempetan. ”Sehingga membuat jarak septic tank ke sumur galian, yang idealnya 10 meter, tak terpenuhi,” ujar Abdullah kepada Tempo. Dalam catatannya, hanya 60 persen tangki kakus di Jakarta berada dalam jarak aman ke sumur.
Itu baru berlaku untuk Jakarta. Dengan menganggap saat ini seratus juta orang tinggal di kawasan perkotaan, maka kawasan ini menghasilkan 25 ribu ton tinja atau sekitar dua kali lebih banyak dari material padat dalam lumpur yang dikeluarkan sumur lumpur Lapindo setiap hari.
Bandingkanlah jumlah limbah yang harus diurus itu dengan anggaran yang tersedia. Direktur Permukiman dan Perumahan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Basah Hernowo, mengatakan, anggaran untuk sanitasi hanya berkisar 0,3 persen dari total anggaran, sementara pertumbuhan penduduk perkotaan mencapai lebih dari dua persen per tahun. Atau, simak angka Abdulah: selama 30 tahun terakhir, pemerintah hanya menyediakan Rp 200 per orang per tahun untuk menangani masalah limbah tinja, sedangkan kebutuhan ideal Rp 47 ribu per orang per tahun.
Basah Hernowo yakin harusnya ada solusi dari masalah tinja ini. Caranya, masyarakat harus lebih aktif terlibat, atau, dalam bahasa Abdulah, ”Buang hajat bukan lagi urusan pribadi!”
Langkah awal sudah dimulai. Pemerintah bersama lembaga donor kini mengkampanyekan program Sanitasi Oleh Masyarakat. Menurut catatan salah satu donatur, Program Lingkungan USAID, saat ini 15 kota telah berkomitmen terhadap program tersebut.
Pemerintah juga memperkenalkan tangki kakus gotong-royong. Sistem ini terdiri atas tangki pembuangan limbah pribadi yang digunakan bersama-sama, saluran pembuangan dari rumah, saluran pengumpul, dan instalasi pengolahan.
Sistem ini sesungguhnya tidak baru di Indonesia. Kota Bandung telah memilikinya sejak 1978 dan kini menjadi sistem pengolahan jaringan air kotor terbaik di negeri ini dan terbesar di Asia Tenggara.
Dibangun pada 1978 lewat proyek Bandung Urban Development Proyek, Instalasi Pengolahan Air Limbah Bojongsoang yang terletak di Kabupaten Bandung memiliki pipa jaringan air kotor sepanjang 468 kilometer. Kapasitasnya 240 ribu meter kubik dengan kemampuan keluar-masuk limbah rata-rata 100 ribu meter kubik. Instalasi di atas lahan 85 hektare yang dikelola Perusahaan Daerah Air Minum Kota Bandung ini melayani kawasan Bandung Timur, Bandung Tengah, dan Bandung Selatan.
Limbah ini diolah dengan teknologi konvensional secara fisik, biologi, dan kimia. Setelah diolah, airnya siap dialirkan ke Sungai Citarun tanpa perlu khawatir memicu masalah. Airnya bahkan bisa langsung dimanfaatkan oleh masyarakat untuk budidaya ikan dan pertanian.
Jika sistem ini dapat diterapkan di Jakarta dan kota-kota lainnya, menurut Basah Hernowo, tangki kakus tak dibutuhkan lagi, sehingga potensi pencemaran air tanah akan berkurang. Buang hajat pun tak perlu menjadi urusan publik.
D.A. Candraningrum, Rana Akbari Fitriawan (Bandung)
DARI PERUT KE SUMUR
Air tanah harus diselamatkan dari cemaran tinja. Ini bukan hanya tugas pemerintah. Menurut Foort Bustraan, penasihat tata air kota untuk Environmental Services Program USAID, warga juga berperan besar dalam kasus pencemaran limbah ini dalam air tanah. ”Kesadaran masyarakat tentang sanitasi yang bersih masih sangat kurang,” ujarnya kepada Tempo.
Sumber tinja utama yang mencemari air tanah adalah tangki kakus yang salah konstruksi atau tidak terawat. Hal ini menyebabkan limbah merembes ke tanah di sekitarnya. Namun, tinja di sungai ikut punya andil, terutama pada sumur-sumur di dekat bantaran.
D.A. Candraningrum
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo