Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Dunia di Cekung Mata Monita

Film seri televisi tentang kehidupan wartawan. Penampilan pertama Dian Sastrowardoyo di layar kaca.

4 September 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Matanya cekung. Tangannya mencengkeram kuat-kuat selimut yang membalut tubuh. Monita Syailendra merasa dunia di hadapannya berhenti. Bayangan pemerkosaan yang telah ia alami selalu datang dan menghantui. Raya Marya­di (Dian Sastrowardoyo) dan Markus Siwy (Indra Birowo), wartawan majalah Target, yang menemui di kamarnya yang temaram membiarkan artis sinetron itu tenggelam dalam kecamuk rasa yang tak menentu: antara perih, takut, terhina, dan nista.

”Nggak apa-apa kalau memang Mo­nita belum siap bicara. Wawanca­ra bisa dijadwalkan lagi,” ucap Raya yang siap beringsut.

Monita—diperankan Intan Nur Aini dengan sangat bagus—adalah s­umber eksklusif. Seluruh media memburu se­lebriti yang diperkosa aktor yang namanya juga melambung, Dion (Christian Sugiono). Nyamuk infotainment yang merubung rumahnya siap me­ner­kam dengan pertanyaan-perta­nya­an keji. Eh, dua reporter majalah be­sar yang mendapat wawancara khusus itu membiarkan begitu saja sumber kun­ci itu tak bicara?

Di kantor majalah Target, kepala Biro Jakarta, Bayu Bagaskara (Tora Sudiro), berdebat hebat dengan Sonny Krisnantara (Ary Sihasale), putra mahkota Bos Besar yang baru pulang dari Amerika dan langsung mendapat kursi redaktur eksekutif. Sonny membuat peraturan semua wartawan harus datang pukul 7 pagi, keputusan ganjil yang diprotes semua wartawan. Sonny juga meminta laporan u­tama majalah adalah soal bahan bakar mi­nyak. Bayu menganggap isu BBM sudah meredup. Ia menyodorkan soal pe­merkosaan Monita yang tengah jadi perhatian publik.

Sutradara Maruli Ara merekam per­debatan Sonny, Bayu, dan para redak­tur di ruang rapat itu dengan gerak­an kamera hand held dan quick pan. Gambar berpindah-pindah de­ngan ce­pat. Suasana tegang pun tampil begitu hidup. Dari ruang rapat itu, kamera berpindah kembali ke kamar Monita yang suram. Monita ternyata mau buka suara. Lagu Diam dari suara Melly Goeslaw yang menyayat kemudian terdengar.

Inilah salah satu episode dari drama seri televisi Dunia Tanpa Koma—seluruhnya 14 episode dalam se­ssion 1 yang ditayangkan RCTI mulai 9 September mendatang—yang terasa ”me­resap”. Emosi semua pemain di episode 10 (Setangkai Nista untuk Mutiara) ini, juga pada episode 9, tumpah. Penggambaran kehidupan wartawan, yang tak mudah menembus sumber berita, harus bertenggang rasa de­ngan emosi sang sumber, mesti berhadapan dengan tenggat yang tak bisa ditawar, hingga persoalan-persoalan politik-kantor yang merisaukan, juga terasa kuat dan menyublim ke dalam kisah pelik Monita.

Ya, inilah film seri tentang dunia jur­nal­istik yang belakangan ramai diperbincangkan itu. Sebuah tayangan yang, kata Dian Sastro, menggambarkan dinamika kelas menengah pekerja yang hidup dari gaji, ”dan jarang disentuh pembuat film kita”.

Dunia Tanpa Koma adalah penam­pilan pertama Dian di layar kaca. Se­lain Dian, tayangan produksi Si­nemart ini juga mengusung 59 pemain lain, dari Tora Sudiro, Fauzi Baadilla, Surya Saputra, Wulan Guritno, Cut Mini, Intan Nur Aini, hingga aktor kawakan Slamet Rahardjo. Skenario film ini ditulis oleh Leila S. Chudori.

Sejak episode pertama, Maruli sudah ”menggempur” pemirsa de­ngan gambar-gambar yang bergerak cepat dan ”gelap”. Kesan gelap memang dibutuhkan untuk menyuguhkan de­ngan optimal cerita pengungkapan kasus narkoba (episode 1-7), pemerkosaan (episode 8-10), dan pembunuhan (episode 11-14). Tapi apakah Maruli berhasil pada semua episode?

Fauzi Baadilla dan Cut Mini harus dikatakan menjadi titik terlemah serial ini. Cut Mini masih tampil seperti di sinetron-sinetron lain yang ”hobi” berbicara dalam nada tinggi. Sementara Fauzi yang menjadi pemain sentral bersama Dian dan Tora (Fauzi menjadi Bram, wartawan pesaing Target, juga pesaing Bayu dalam memperebutkan hati Raya) tenggelam oleh akting Dian, Tora, dan apalagi oleh Surya Saputra.

Juga soal alur cerita, Bram, di akhir episode 1, tiba-tiba rapat dengan Raya dan seperti saling jatuh cinta di hari pertama Raya menjadi reporter. Alas­an apa yang bisa menjelaskan meng­apa keduanya sebegitu cepat jatuh cinta, sementara kualitas percakapan mereka tak menunjukkan keduanya begitu intim?

Tapi di tengah sinetron yang seragam, film serial televisi ini menawarkan kematangan sebuah skenario dan kebaruan eksplorasi visual.

Yos Rizal Suriaji

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus