Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Tanggung Jawab Mutlak Korporasi Perusak Lingkungan. Apa Itu?

Kebakaran hutan memicu krisis iklim dan merugikan masyarakat. Saatnya menerapkan tanggung jawab mutlak korporasi.

28 Desember 2024 | 15.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Kebakaran lahan gambut di Pedamaran, Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatera Selatan, 18 September 2023. ANTARA/Nova Wahyudi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Kebakaran hutan dan lahan meluas bahkan pada masa fenomena iklim La Nina. Krisis iklim di depan mata.

  • Mengenal dualisme pada persoalan kerusakan lingkungan hidup.

  • Mengapa menerapkan tanggung jawab mutlak perusahaan pemicu karhutla dan kerusakan lingkungan hidup penting?

"SEJAK ada perusahaan, sejak itulah ada kabut asap.” Roili melontarkan pengalaman hidup di kampungnya, Desa Lebung Itam, Kecamatan Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan. Kabut asap yang ia maksudkan menabun dari kebakaran di konsesi perusahaan yang beroperasi di lahan gambut—masyarakat setempat menyebutnya rawang. Saban tahun, pada waktu-waktu tertentu, lelaki 64 tahun itu terpaksa menghirup udara beracun akibat kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang berulang sejak 1997.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pengalaman pahit itulah yang meneguhkan tekad Roili menjadi salah satu penggugat dalam perkara kabut asap di Pengadilan Negeri Palembang. Bersama 10 penggugat lain, yang juga warga Sumatera Selatan, ia melawan tiga perusahaan hutan tanaman industri (HTI) pemasok pabrik pulp and paper Sinar Mas Group.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Isu karhutla belakangan ini tak menarik perhatian dan cenderung terabaikan. Maklum, fenomena iklim La Niña mulai datang sehingga menyebabkan sebagian wilayah Indonesia basah diguyur hujan. Kebakaran hutan seakan-akan tak masuk di akal bakal terjadi pada musim-musim seperti sekarang ini. Padahal data mengatakan sebaliknya.

Setidaknya, hingga akhir Oktober 2024, platform Sistem Pemantauan Karhutla milik pemerintah mencatat luas area terbakar pada tahun ini telah mencapai 361.229 hektare. Angka ini merupakan yang terluas jika dibanding kejadian serupa pada tahun-tahun yang dipengaruhi La Niña sedekade terakhir. Celakanya, hampir 123 ribu hektare atau lebih dari sepertiga dari total area terbakar pada tahun ini berada di Sumatera dan Kalimantan, dua pulau kaya gambut yang semestinya basah.

Artinya, karhutla jelas bukan disebabkan oleh cuaca, melainkan oleh ulah manusia. Begitu pula dampaknya terhadap krisis iklim sudah di depan mata. Karena itu, setiap waktu kini menjadi momen krusial untuk memperhatikan karhutla dan menuntut tanggung jawab korporasi yang memantiknya. Pertanggungjawaban korporasi juga perlu diterapkan dalam praktik kerusakan lingkungan lain.

Kerusakan Kolektif, Kerusakan Individu

Persoalan kerusakan lingkungan berada di persimpangan ketika unsur-unsur hukum perdata bertemu dengan rasionalitas yang mendasari hukum lingkungan. Persoalan ini muncul dari terintegrasinya ketentuan konstitusional: hak atas lingkungan hidup yang bersih dan sehat, serta hukum yang membahas kerusakan lingkungan. Semula, penanganannya difokuskan pada kompensasi kerugian. Namun sekarang telah berkembang hingga mencakup fungsi pencegahan dan kehati-hatian—yang menantang kerangka sistem tradisional (E. Costa Cordella & P. Moraga Sariego, eds., 2024).

Maka diwajibkanlah kerangka kajian lingkungan hidup strategis (KLHS) dan analisis dampak lingkungan (amdal) untuk memastikan daya dukung lingkungan dengan kegiatan industri skala besar atau proyek yang akan dibangun.

Tak hanya itu, dalam konteks kerusakan lingkungan, kompensasi ekonomi saja juga tidak cukup. Pemulihan aset lingkungan hidup yang rusak juga menjadi prioritas. Perspektif inilah yang mendasari pergeseran prinsip awal “pencemar membayar” menjadi fokus ke pencegahan dan kehati-hatian.

Kerusakan lingkungan hidup memang memiliki sifat ganda. Di satu sisi, kondisinya bisa berupa kerusakan kolektif—atau kerusakan ekologi murni. Di sisi lain, kondisi tersebut juga merupakan kerusakan individu beserta ruang hidupnya—atau biasa disebut dengan kerusakan lingkungan tidak langsung. Dualitas ini akhirnya menimbulkan pertanyaan tentang bagaimana menangani kedua tingkat tersebut dan aturan mana yang harus diterapkan.

Putusan Mahkamah Agung Argentina dalam perkara gugatan Beatriz Mendoza dan 16 warga lain terhadap negara yang dianggap mengabaikan pencemaran di cekungan Sungai Matanza-Riachuelo belasan tahun lalu bisa menjadi contoh baik. Para hakim memutuskan melanjutkan penanganan kasus ini dengan hormat terhadap kerusakan kolektif yang terjadi karena pencemaran, kendati tidak berkaitan dengan kerusakan individu-individu yang tinggal di sekitar cekungan tersebut.

Menguji Strict Liability

Membawa kasus kerusakan lingkungan ke meja hijau, seperti yang dilakukan Roili dan para warga Sumatera Selatan, memang bukan barang baru. Langkah ini bisa ditempuh oleh warga biasa, bahkan negara.

Sepanjang satu dekade terakhir, pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan—kini telah dipisahkan menjadi dua kementerian—telah menggugat 25 perusahaan dalam perkara perdata karhutla. Namun, sejauh ini, baru 18 gugatan yang berkekuatan hukum tetap dengan total denda senilai Rp 6,1 triliun. Pemerintah mengklaim sebanyak 10 perusahaan dalam proses eksekusi dan 8 perusahaan lain dalam tahap persiapan proses eksekusi. 

Nasib 18 putusan dalam proses eksekusi pun tak menggembirakan. Hanya dua perusahaan yang melunasi denda. Dua perusahaan lain mencicil. Sedangkan eksekusi putusan terhadap 14 korporasi sisanya tanpa kejelasan, kendati inkracht sejak lima tahun lalu. Penegakan hukum terlihat amat lemah.

Sementara itu, langkah hukum yang ditempuh Roili dan belasan warga Sumatera Selatan lain menjadi berbeda karena gugatan mereka menggunakan prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability). Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH) mengatur prinsip tanggung jawab mutlak korporasi ini dalam Pasal 88. Undang-undang tersebut merupakan lex specialis—aturan khusus yang menggantikan aturan umum dalam gugatan tentang perbuatan melawan hukum.

Dalam diskursus teori hukum lingkungan, konsep strict liability bisa digunakan ketika seseorang menjalankan suatu jenis kegiatan yang dapat digolongkan sebagai extra-hazardous, ultrahazardous, dan/atau abnormally dangerous. Kemudian orang itu diwajibkan memikul segala kerugian yang ditimbulkan, kendati telah bertindak hati-hati (utmost care). Kewajiban itu juga tidak gugur walau orang itu telah berusaha mencegah bahaya atau kerugian, serta berusaha agar kerugian itu tidak dihubungkan dengan praktik kesengajaan kegiatannya (Supriadi, 2010).

Hal itu berarti konsep strict liability merupakan kewajiban dari tergugat kepada penggugat yang telah mengalami kerugian nyata tanpa harus membuktikan adanya kesalahan tergugat.

Selama ini, sebagian besar gugatan yang diajukan oleh pemerintah terhadap perusahaan perusak lingkungan menggunakan dasar hukum campuran, yaitu memadukan prinsip strict liability dan perbuatan melawan hukum dalam satu berkas gugatan. Model ini tergambar ketika KLHK melawan sejumlah perusahaan, seperti PT Bumi Mekar Hijau, PT Waringin Agro Jaya, dan PT Nasional Sago Prima (Kartilantika, 2019).

Hingga kini, penerapan strict liability murni belum banyak dieksplorasi dalam praktik peradilan di Indonesia. Padahal Mahkamah Agung memperbolehkan para hakim menangani perkara lingkungan hidup yang menggunakan dalil strict liability tanpa harus didahului temuan ketidaktaatan dalam pengawasannya. Hal ini tertuang dalam Pasal 39 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2023 tentang Pedoman Mengadili Perkara Lingkungan Hidup.

Merujuk pada peraturan yang sama, dalil strict liability tidak hanya bisa dicantumkan dalam gugatan penggugat, tapi juga dapat ditetapkan oleh hakim setelah melihat sifat tindakan, usaha, dan/atau kegiatan pada saat menangani perkara. 

Dengan begitu, penerapan strict liability murni akan memperbesar potensi penemuan cara yang paling efektif dalam mengejar pertanggungjawaban korporasi atas kerusakan lingkungan, terlebih yang berdampak terhadap kerusakan individu. Sudah saatnya korporasi diberi efek jera agar tidak mengulangi perbuatannya merusak lingkungan dan melanggar hak asasi warga negara.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Sekar Banjaran Aji

Sekar Banjaran Aji

Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia yang sekarang menjabat sebagai Koordinator Public Interest Lawyer Network (Pil-Net) Indonesia. Sekar merupakan advokat lingkungan yang menyukai pembahasan tentang litigasi iklim dan feminist political ecology.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus