Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Lantaran Suhu Bumi Memanas

Pemanasan global mengancam produksi pangan. Penyakit baru bakal bermunculan.

21 Mei 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI dalam saung itu, Jumadi, 55 tahun, menatap dua petak sawahnya. Padi yang baru berusia sebulan ini sudah menguning. Tanahnya retak. Hujan tak kunjung turun selama dua pekan terakhir, sementara pasokan air dari Waduk Sawo tersendat. Padahal petani asal Madiun Jawa Timur ini memperkirakan hingga panen, Juli nanti, hujan masih tetap turun.

Ancaman gagal panen pun terbayang di depan mata. Dinas Pertanian dan Tanaman Pangan Kabupaten Madiun memaparkan, 968 hektare sawah tadah hujan di sana mengalami kekeringan.

Kekacauan musim. Inilah dampak yang paling ditakutkan para petani. Intergovernmental Panel on Climate Change mencatat bahwa di Indonesia terjadi kenaikan suhu udara 0,2-1 derajat Celsius dalam lima tahun terakhir akibat pemanasan global. Ini sudah cukup untuk menurunkan produktivitas pertanian. Bila musim hujan tiba, curah hujan meninggi. Banjir pun melanda. Jika kemarau datang, kekeringan panjang menjelang.

Apa yang harus dilakukan petani? Peneliti senior Pusat Pemanfaatan Sains Atmosfer dan Iklim Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional, Eddy Hermawan, tak punya resep khusus kecuali mengubah pola tanam padi. Pemerintah juga perlu menggencarkan penelitian bibit padi yang tahan terhadap kekeringan. Perubahan iklim juga harus dijelaskan kepada petani. ”Selamatkan dulu daerah sentral pangan,” kata Eddy.

Pemanasan global ditandai oleh meningkatnya suhu bumi. Ini terjadi karena akumulasi radiasi sinar matahari yang terperangkap di atmosfer. Pantulan radiasi dari permukaan bumi ke luar angkasa terhadang dan diserap gas-gas di atmosfer. Ini yang disebut efek gas rumah kaca. Gas rumah kaca terkait dengan penggunaan bahan bakar fosil, pemakaian peralatan elektronik, penggundulan hutan, dan kebakaran hutan….

Kerusakan hutan menjadi penyumbang gas rumah kaca terbesar. Ironisnya, menurut badan dunia yang menangani masalah pangan, FAO, Indonesia tercatat sebagai penghancur hutan tercepat di dunia. Indonesia juga disebut sebagai negara ketiga penyumbang terbesar gas karbon dioksida ke udara, setelah Amerika Serikat dan Cina. Pelepasan emisi karbon itu berasal dari kebakaran hutan, terutama lahan gambut.

Meningkatnya suhu rata-rata permukaan bumi akibat emisi karbon itu punya efek dahsyat. Hal itu menyebabkan naiknya permukaan air laut, penguapan udara, serta berubahnya tekanan udara dan pola curah hujan. Lihat saja beberapa kota di Indonesia. Bandung, misalnya, biasanya mengalami dua kali puncak curah hujan selama setahun, tapi tahun ini hanya sekali. Begitu pula Bukittinggi, Pontianak, dan Biak. Sedangkan kawasan yang semula dianggap kering malah mengalami bencana banjir, seperti Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur. ”Ini indikasi iklim Indonesia sudah berubah,” kata Eddy.

Pemanasan suhu ini juga mengakibatkan mencairnya es. Jumlah es yang menyelimuti bumi berkurang 10 persen sejak 1960. Para ahli memperkirakan salju yang menyelimuti Pegunungan Himalaya seluas 33 ribu kilometer persegi akan mencair pada 2100. Permukaan air laut pun meningkat. Dalam 100 tahun terakhir telah terjadi peningkatan permukaan air laut setinggi 10-25 sentimeter. Jika ini tak diantisipasi, sekitar 2.000 pulau di Indonesia bakal tenggelam pada 2030!

Dua pekan lalu, lembaga keagamaan asal Inggris, Christian Aid, membuat laporan dampak pemanasan global yang mencengangkan: satu miliar orang akan bermigrasi. Mereka mencari tempat yang aman karena negaranya dilanda banjir, kekeringan, kelaparan, atau wabah berbagai macam penyakit. Nyamuk malaria dan nyamuk penyebar demam berdarah berkembang semakin cepat. Masa inkubasinya lebih pendek karena naiknya suhu udara.

Ada lagi kabar tak sedap. Anggota Dewan Riset Nasional Bidang Sains Dasar, Paulus Agus Winarso, mengatakan jenis penyakit baru juga mungkin akan muncul dari perubahan iklim ini. Dampak perubahan iklim itu sudah nyata dan melalui penelitian ilmiah. ”Tapi apakah pemerintah sudah berapi-api melakukan sosialisasi?” kata Paulus. ”Nyatanya tidak.”

Yandi M.R., Ahmad Fikri (Bandung), Dini Mawuntyas (Madiun)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus