Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Dari Menara hingga Wirid Remaja

Pemerintah daerah belum memiliki sistem dan jalur evakuasi. Gunung api bawah laut menjadi ancaman baru tsunami.

21 Mei 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HAMPIR setiap hari tatapan I Made Irawan terpaku pada menara setinggi 30 meter yang terletak di markas Balawisata Pantai Kuta, Bali. Sebagai peselancar yang selalu nongkrong di pantai itu, dia mengaku kagum terhadap pembangunan menara pendeteksi tsunami tersebut. Maklum, menara itu dilengkapi sirene yang langsung meraung-raung jika ancaman tsunami datang.

Namun kebanggaan Irawan masih diselimuti rasa waswas. Ia tidak melihat papan informasi mengenai tsunami dan petunjuk jalur penyelamatan terpasang di kawasan yang selalu dipenuhi turis mancanegara itu. Begitu pula tak ada penjelasan kepada publik. Pemerintah, kata Irawan, khawatir kampanye siaga tsunami bakal menurunkan kunjungan wisatawan. ”Padahal kesiagaan itu bisa dijual guna meningkatkan pariwisata,” ucapnya pekan lalu.

Irawan rupanya tak tahu bahwa Pemerintah Provinsi Bali sudah bergerak. Sudah ada pertemuan besar yang melibatkan pejabat, anggota dewan perwakilan rakyat daerah, kalangan perguruan tinggi, lembaga swadaya masyarakat, dan media massa. Kampanye besar-besaran juga pernah dilakukan pada akhir Desember lalu di Pantai Sindhu, Sanur, untuk memperingati dua tahun bencana tsunami Aceh. Sekitar 12 ribu pelajar dan warga Sanur tumplek di Pantai Sindhu. Mereka dilatih menyelamatkan diri seandainya tsunami benar-benar datang,

Bali memang menjadi salah satu wilayah pantauan utama berkaitan dengan ancaman tsunami. Kantor Menteri Riset dan Teknologi menjadikan provinsi ini proyek percontohan sistem peringatan dini melalui teknologi FM Radio Data System. Jadi Badan Meteorologi dan Geofisika di Jakarta tinggal mengirimkan informasi melalui satelit ke frekuensi radio FM di wilayah yang bakal terkena dampak tsunami.

Departemen Kelautan dan Perikanan juga menetapkan Denpasar sebagai salah satu dari empat kota di pesisir yang diamati. Tiga kota lainnya adalah Padang (Sumatera Barat), Serang (Banten), dan Lombok Tengah (Nusa Tenggara Barat). ”Denpasar kami pilih karena kota pariwisata,” ujar Subandono Diposaptono, Kepala Mitigasi Lingkungan Pesisir Departemen Kelautan dan Perikanan. Padang mewakili kota pemerintahan, Serang kota industri, dan Lombok Tengah sebagai sentra perikanan.

Sedemikian besarkah ancaman tsunami terhadap Pulau Dewata? Di sebelah selatan Pulau Bali terdapat lempeng Indo-Australia yang setiap tahun bergerak 6 sentimeter ke utara. Pada suatu saat, tumbukan itu bisa menyebabkan gempa yang memicu tsunami, seperti yang terjadi di Pantai Pangandaran, Jawa Barat, tahun lalu.

Sebagian pesisir selatan Bali pernah terempas gelombang tsunami setinggi tiga meter. Itu terjadi pada 1977, ketika tsunami menerjang Nusa Tenggara Barat dan Pulau Sumbawa. Pada 1994, tsunami yang terjadi di Banyuwangi juga berdampak ke Pulau Dewata. Pesisir barat daya Bali diterjang tsunami setinggi 4 meter.

Sepanjang kurun 1600-2005, terdapat 107 kali tsunami di Indonesia. Tsunami yang menerjang Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Pulau Nias pada 2004 menyentakkan kesadaran masyarakat. Pemerintah membuat target, hingga 2008, bakal ditempatkan 22 buoy (pelampung pendeteksi tsunami) di perairan Indonesia. Alat yang tersambung dengan satelit itu sebagian diproduksi Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (lihat Tempo Edisi 23-29 April 2007: ”Sangkuriang Pengawas Tsunami”).

Namun penempatan alat ini dikritik Surono, Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, Badan Geologi, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral. Menurut dia, BPPT hanya berfokus pada ancaman gempa sebagai penyebab tsunami, sehingga 22 buoy diletakkan di wilayah yang berpotensi menjadi tempat terjadinya tumbukan lempeng tektonik. Padahal, kata Surono, potensi tsunami akibat letusan gunung api bawah laut dan gunung api ”tersembunyi” sangat besar.

Ambil contoh Gunung Krakatau yang meletus pada 1883. Bencana ini menimbulkan tsunami dan menewaskan 36 ribu jiwa. Dia pernah mengajukan usul agar gunung semacam itu yang terletak di Indonesia bagian timur juga dipagari buoy. ”Proposal saya ditolak,” katanya. Gunung api ”tersembunyi” merupakan gunung api yang tak dihuni manusia tapi belum menjadi pusat perhatian pemerintah. Misalnya Gunung Batubara di Nusa Tenggara Timur, yang berada di perairan, mirip Gunung Krakatau.

Danny Hilman sejalan dengan Surono. Ahli gempa dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia ini juga melihat ancaman letusan gunung api bawah laut. Menurut dia, dalam rangkaian gunung itu terdapat deretan kawasan dari Nusa Tenggara Timur sampai Maluku. Wilayah ini masuk Busur Banda atau Zona C, yang frekuensi tsunaminya paling tinggi di Indonesia.

Pemerintah Provinsi Maluku dan Maluku Utara juga waspada. Ketika terjadi gempa dan tsunami pada Maret 2006, ribuan warga di Kabupaten Buru, Maluku, lari ke atas bukit. Hanya dua warga yang meninggal karena tak sempat menyelamatkan diri. ”Kami terus memberikan pengetahuan dini tentang tsunami kepada warga,” kata Bupati Buru M. Husnie Hentihu. Kodam XVI Pattimura juga beberapa kali menggelar simulasi tsunami di provinsi ini.

Simulasi yang sama dilakukan Pemerintah Kota Padang. Sejumlah warga bahkan membentuk Komunitas Siaga Tsunami (Kogami)—sejak Juli 2005. Sayangnya, kata Direktur Kogami Patra Rina Dewi, baru 10 persen dari 600 ribu warga yang dilatih evakuasi tsunami. Namun, menurut Ketua Ikatan Ahli Geologi Indonesia Komisariat Sumatera Barat, Ade Edward, simulasi ini cuma seremonial. ”Jauh lebih penting jika secepatnya pemerintah membuat jalan, jalur evakuasi, rambu-rambu, dan tempat pengungsian,” kata Ade, yang menjadi Kepala Bidang Kesiagaan Bencana Sumatera Barat.

Pembebasan jalan Pasar Alai-By-Pass sudah kelar. Namun Wali Kota Padang Fauzi Bahar cuma berjanji membangun jalan sebagai jalur evakuasi. Padahal pembebasan lahan untuk proyek itu sudah selesai. Ia berpendapat tsunami datangnya dari Allah. Pemerintah cuma bisa berupaya: mengadakan tablig akbar dan wirid remaja. ”Saya tak yakin akan terjadi. Buktinya, sampai sekarang, tsunami tak terjadi,” katanya.

Untung Widyanto, Rofiqi Hasan (Denpasar), Febrianti (Padang), Ahmad Fikri (Bandung), Syaiful Amin (Yogyakarta), Mochtar Touwe (Ambon)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus