Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Angka

Bekas Menteri Tak Akan Tersentuh

21 Mei 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Yakinkah Anda, aparat hukum akan menindaklanjuti kasus bekas menteri yang terindikasi korupsi?
(9–16 Mei 2007)
Ya
16,45%77
Tidak
77,78%364
Tidak tahu
5,77%27
Total100%468

Meski polisi dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengatakan akan segera memeriksa Hamid Awaludin dan Yusril Ihza Mahendra, masyarakat sangsi hal itu akan terjadi. Paling tidak, lebih dari 77 persen responden Tempo Interaktif beranggapan kedua mantan menteri itu tak akan diganggu gugat. “Penegakan hukum di Indonesia sangat buruk. Yang benar bisa salah, yang salah bisa benar,” ujar Denihend, responden di Bogor.

Hamid ditengarai terlibat dalam kasus korupsi kotak suara Pemilu 2004 yang juga melibatkan beberapa anggota Komisi Pemilihan Umum. Selain itu, bersama Yusril, dia juga berperan dalam transfer uang milik Hutomo Mandala Putra dari Banque de Paris (BNP) Paribas melalui rekening Departemen Hukum dan HAM. Padahal, pada saat yang sama negara sedang mengejar uang yang diduga hasil korupsi tersebut.

Hingga kini baik Hamid maupun Yusril tak kunjung “disempet” hukum. Baru setelah keduanya diberhentikan, masing-masing dari jabatan Menteri Hukum dan HAM serta Menteri Sekretaris Negara, polisi dan KPK tiba-tiba mengatakan akan memanggil mereka. “KPK akan menyelidiki kasus pencairan yang diduga melibatkan Hamid,” ujar Ketua KPK, Taufiequrachman Ruki.

Sementara itu, polisi mengatakan akan memeriksa Hamid atas tuduhan memberikan kesaksian palsu dalam sidang korupsi kotak suara. Untuk itu, menurut Kepala Polda Metro Jaya, Inspektur Jenderal Adang Firman, polisi tengah mencari bukti baru terkait kasus Hamid sambil menunggu risalah dari pengadilan.

Namun, sebagian besar responden Tempo Interaktif skeptis. Apalagi, belum apa-apa, Wakil Presiden Jusuf Kalla sudah “berkampanye”, menyatakan Hamid dan Yusril tak bersalah. “Mereka tidak punya masalah hukum yang kategorinya korupsi,” kata Kalla, Jumat dua pekan lalu.

Pengamat hukum tata negara dari Universitas Gadjah Mada, Denny Indrayana, menilai pernyataan Kalla bisa mementahkan proses hukum yang tengah berlangsung. “Budaya hukum di Indonesia kan masih feodal. Pernyataan sensitif seperti itu bisa berakibat hukum,” ujarnya.

Indikator Pekan Ini: Banyak pihak yang menyatakan bahwa Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) sebaiknya dibubarkan. Namun, Tim Evaluasi IPDN yang dipimpin Ryaas Rasyid berpendapat lain. “Tidak ada opsi pembubaran,” kata Ryaas, Selasa lalu.

Presiden membentuk tim itu untuk mengkaji dan mencari solusi atas tindak kekerasan yang sering terjadi di kalangan mahasiswa lembaga pendidikan milik pemerintah itu. Rencananya, pekan ini laporan dan rekomendasi akan diserahkan langsung kepada Presiden.

Menurut Ryaas, Tim telah menyepakati tiga rekomendasi, antara lain meningkatkan jenjang pendidikan kedinasan di kampus itu menjadi setara dengan Strata 2. Lainnya, mengakomodasi usul beberapa gubernur agar pemerintah mendirikan Akademi Pendidikan Dalam Negeri Regional di setiap daerah.

Menurut Anda, apakah IPDN akan lebih baik dengan adanya rekomendasi Tim Evaluasi? Kami tunggu jawaban dan komentar Anda di www.tempointeraktif.com

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus