Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PENELITI memperkirakan setidaknya 80 persen daratan dan 85 persen populasi di dunia telah mengalami dampak perubahan iklim. Kondisi tersebut bisa memburuk bila tak ada aksi-aksi serius untuk menghentikannya. Ilmuwan lain memprediksi tingkat permukaan air laut naik hingga 1,1 meter pada 2100.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bila proyeksi tersebut benar, negara-negara pulau yang akan paling merasakan dampaknya. Salah satunya Maladewa. Sekitar 80 persen dari 1.190 pulau di negara Asia Selatan ini berketinggian hanya sekitar 1 meter di atas permukaan air laut. Saat ini sebagian besar pulau tersebut dilaporkan mengalami banjir dan erosi garis pantai. Negara ini benar-benar terancam bila tak ada tindakan yang signifikan. Utusan Khusus untuk Perubahan Iklim Kantor Presiden Maladewa, Sabra Ibrahim Noordeen, berbincang mengenai hal tersebut dengan Purwani Diyah Prabandari dari Tempo secara daring pada Selasa, 15 Maret lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bagaimana kondisi di Maladewa akibat perubahan iklim saat ini?
Jika kita tak melakukan upaya global yang signifikan untuk mempertahankan suhu 1,5 derajat Celsius di dunia yang memanas dengan cepat saat ini, cara hidup kami di Maladewa terancam krisis eksistensi. Temuan-temuan di laporan IPCC (Panel Ahli Antar-Pemerintah untuk Perubahan Iklim) terbaru mengkonfirmasi kondisi terumbu karang tropis dalam bahaya dan lebih dari 90 persen terumbu karang akan hilang jika suhu naik hingga di atas 2 derajat Celsius. Padahal karang adalah fondasi pulau-pulau kami, fondasi hidup kami, penghidupan kami, dan mereka adalah lapisan pelindung pertama kami menghadapi gelombang besar. Peningkatan frekuensi badai dan banjir yang parah telah kami alami saat ini, juga erosi tanah.
Apa yang dilakukan untuk mengatasi hal tersebut?
Kami telah membangun tanggul laut (sea wall) di sekeliling pulau-pulau dan meneruskan pembangunan pipa sistem air bersih di setiap pulau untuk pengadaan air minum yang aman. Tapi ada batas sejauh mana kami bisa beradaptasi, seberapa tinggi kami bisa membangun pulau-pulau kami, dan seberapa sering kami mengganti kantong-kantong pasir di pantai. Pulau-pulau kecil seperti di Maladewa akan menjadi yang pertama mengalami dampak berat krisis iklim, meski kami hanya bertanggung jawab atas kurang dari 1 persen emisi global.
Sudah ada pulau yang hilang?
Saat terjadi tsunami, kami mesti merelokasi penduduk di beberapa pulau karena pulau-pulau tersebut tidak bisa dihuni lagi. Tapi sejauh ini kami belum melihat ada pulau yang hilang.
Yang juga mengkhawatirkan adalah implikasinya terhadap perekonomian. Apakah sudah dirasakan?
Ketika 97 persen pulau melaporkan erosi garis pantai ataupun erosi yang parah, dan ada kerusakan terumbu karang (pemutihan karang), itu berarti kami menghabiskan lebih banyak (dana) buat penanganan bencana alam daripada untuk pembangunan jangka panjang. Jika hal ini berlanjut, kami kehilangan lebih banyak terumbu karang, penggerak utama ekonomi kami akan sangat terpengaruh, seperti perikanan dan pariwisata. Ini kerugian ekonomi yang sangat besar.
Erosi garis pantai rasanya akan menjadi persoalan serius bagi Maladewa akibat perubahan iklim. Bagaimana strategi pemerintah, baik di tingkat kebijakan maupun tindakan, untuk mengatasinya?
Saat ini kami memiliki 73 kawasan lindung dan kami dalam proses mendesain program “satu pulau, satu terumbu karang, dan satu bakau” di semua atol serta menjadikannya kawasan lindung. Kami juga dalam proses membuat rencana tata ruang laut, bersama organisasi Blue Prosperity Coalition (Koalisi Kesejahteraan Biru). Kami ingin melindungi setidaknya 20 persen sumber daya laut kami. Dan kami bagian dari inisiatif Global Ocean Alliance 30by30 yang berkomitmen melindungi 30 persen laut dunia pada 2030.
Selain itu, kami mulai mengimplementasikan rencana penghapusan bertahap penggunaan plastik sekali pakai. Kami melarang impor dan konsumsi plastik sekali pakai jenis tertentu dan mencoba mempromosikan alternatif yang lebih lestari. Tahun lalu, kami meratifikasi Undang-Undang Darurat Iklim dan mendukung janji mencapai nol emisi karbon pada 2030.
Hasilnya sejauh ini bagaimana?
Kami masih membutuhkan lebih banyak kesadaran, lebih banyak pendidikan, penerapan kebijakan-kebijakan kami, juga penguatan mekanisme penegakan dan pengawasan, untuk meyakinkan masyarakat bahwa konservasi dan pemanfaatan terumbu karang yang berkelanjutan adalah cara kami melindungi hidup kami di Maladewa. Tapi, seperti yang Anda ketahui, apa pun yang kami lakukan di Maladewa bergantung pada apa yang terjadi di bagian lain di dunia ini. Jika temperatur global naik di atas 1,5 derajat Celsius, kami tak bisa berbuat apa-apa.
Maladewa adalah anggota Vulnerable Twenty Group (kelompok negara yang rentan terhadap perubahan iklim) yang hendak meyakinkan negara-negara lain agar bergerak bersama mengatasi krisis iklim. Apa yang sudah dilakukan?
Maladewa selalu berada di garis depan memperjuangkan aksi lebih besar untuk menangani dampak krisis iklim. Pada 2015, bersama asosiasi negara-negara pulau kecil, kami berperan meloloskan “Loss and Damage” (Kerugian dan Kerusakan) sebagai pasal tersendiri dalam Paris Agreement (Perjanjian Paris). Negara-negara pulau kecil bersuara lantang karena, kalau kita tidak membatasi kenaikan suhu global 1,5 derajat, kami tidak akan bertahan.
Kami juga telah bekerja sama erat dengan mitra-mitra bilateral dan multilateral untuk mengatasi isu-isu “Kerugian dan Kerusakan”, akses terhadap pendanaan untuk aksi adaptasi, juga menyingkirkan struktur birokrasi pendanaan iklim internasional yang sangat kompleks. Kami turut mengajukan resolusi yang mengakui hak atas lingkungan yang sehat dan lestari sebagai hak asasi dalam Dewan Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Respons dan komitmen negara-negara lain?
Menjelang COP26 (Konferensi Perubahan Iklim PBB 2021), menurut saya, ada ambisi yang luar biasa dan apa yang kita lakukan di sana tentu saja sebuah kemajuan, meskipun kami kecewa terhadap beberapa bahasa finalnya.
Saya menginginkan negara-negara kecil menghadiri negosiasi. Kami bernegosiasi untuk bertahan hidup. Urgensi ini mesti terefleksikan. Harus ada ambisi lebih besar dan target mitigasi yang lebih harus ditetapkan sebelum kita bertemu di COP27. Kita hanya punya 93 bulan untuk menurunkan emisi global dengan target 1,5 derajat.
Negara-negara kaya menjanjikan bantuan dana untuk mengatasi perubahan iklim bagi negara-negara yang kurang mampu. Maladewa turut menerimanya?
Kami sedikit kecewa karena janji pemberian US$ 100 miliar kepada negara-negara rentan guna mengakses pendanaan iklim, terutama untuk isu adaptasi, belum terpenuhi. Dunia ini sanggup mengumpulkan miliaran dolar untuk bahan bakar fosil setiap tahun, juga triliunan dalam waktu singkat untuk merespons pandemi global. Menurut saya, krisis iklim akan lebih besar dari semua isu itu sehingga layak mendapat dana dan urgensi dalam mobilisasi dana.
Apakah ada kerja sama antara Maladewa dan Indonesia dalam isu perubahan iklim?
Saat ini Maladewa dan Indonesia memiliki banyak kerja sama bilateral di sektor kesehatan, tapi tidak spesifik dalam krisis iklim. Menurut saya, dalam isu ini kita mesti bekerja bersama. Ada banyak hal yang bisa kami pelajari dari Indonesia.
Tahun ini Indonesia menduduki Presidensi G20. Apa yang Anda harapkan dari Indonesia dan G20?
Menurut saya, ini kesempatan luar biasa bagi Indonesia dan para pemimpin global untuk menunjukkan bahwa pembangunan ekonomi yang berkelanjutan dan inklusif bisa mencapai negara-negara Asia-Pasifik, terutama yang terkena hantaman keras pandemi dan masih berjuang untuk pulih. Harapannya, presidensi Indonesia dapat mengubah perhatian global ke negara-negara Asia-Pasifik. Kawasan kita ini akan mengalami dampak krisis iklim yang paling hebat. Jadi ini kesempatan untuk menunjukkan bahwa kita mampu memenuhi kebutuhan pembangunan rakyat, dan melakukannya dengan cara yang tidak merusak lingkungan.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo