Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Warga Sayung, Demak, berusaha menyelamatkan kampungnya agar tidak tenggelam dengan menanam mangrove.
Di Donggala, Sulawesi Tengah, warga menanam bakau untuk menghadang abrasi dan memitigasi dampak tsunami.
Warga di Hantakan, Kalimantan Selatan, membudidayakan kopi di lereng Meratus untuk memitigasi banjir.
RUMAH sebagian besar warga Dukuh Timbulsloko, Kecamatan Sayung, Kabupaten Demak, Jawa Tengah, kini sudah berada di atas air. Di dusun yang dihuni 155 kepala keluarga itu, lantai rumah harus ditinggikan hingga mendekati atap agar selamat dari bencana rob. Setidaknya 15 keluarga memilih hengkang dari daerah tersebut. “Saya bertahan karena keluarga saya masih banyak di sini,” kata Sonhaji, Ketua RT 5, Jumat, 4 Maret lalu.
Sayung adalah satu contoh ekstrem daerah pesisir yang terkena abrasi sebagai dampak krisis iklim. Peneliti Universiteit Amsterdam, Bosman Batubara, yang meneliti masalah ini di Sayung pada 2019, menyebutkan sejumlah faktor pemicu bencana hidrometeorologi tersebut. Selain rob, ada faktor kenaikan muka air laut yang mencapai 0,5 sentimeter per tahun, penyusutan garis pantai, dan penurunan tanah sedalam 10 sentimeter per tahun.
Pemerintah daerah dan warga menempuh sejumlah inisiatif untuk memitigasi dampak nyata krisis iklim itu. Untuk membendung abrasi dan gelombang pasang, bakau ditanam. Menurut Sonhaji, inisiatif menanam mangrove ada sejak 2015. Awalnya penanaman dilakukan Komando Distrik Militer, Kepolisian Resor, dan Pemerintah Kabupaten Demak. Upaya ini tak berhasil karena arus laut menyapu 20 ribu bibit yang ditanam.
Penanaman diadakan kembali pada 2017-2019. Sonhaji menyebutkan tak kurang dari sejuta bibit bakau ditanam tiap tahun. Tapi masalahnya sama, tanaman lenyap dihantam ombak dan angin. Tahun lalu, sejuta mangrove kembali ditanam. Masnuah, koordinator Forum Masyarakat Dukuh Timbulsloko, mengatakan pembangunan harus mempertimbangkan masyarakat pesisir. "Menanam mangrove penting, tapi bukan solusi atas kampung yang tenggelam ini," ucapnya.
Inisiatif yang sama diambil warga Kampung Tambakrejo, Kelurahan Tanjungmas, Kecamatan Semarang Utara, Kota Semarang. Menurut Marzuki, warga Tambakrejo, abrasi dirasakan makin parah dalam sepuluh tahun terakhir. Ia mencontohkan, tempat pelelangan ikan (TPI) yang dibangun pada 2007 di utara kampungnya tenggelam karena abrasi tanpa sempat dimanfaatkan. Kini yang tersisa tiang-tiang yang tegak di atas genangan air.
Di antara TPI dan perkampungan Tambakrejo juga terdapat permakaman umum yang kini tak lagi dipakai. Sebagian areanya diterjang abrasi, tersisa nisan yang terlihat menyembul di antara ombak. Kampung Tambakrejo, permakaman, dan TPI tersebut berada sejajar di sebelah barat Sungai Kanal Banjir Barat Kota Semarang, berhadapan langsung dengan Pelabuhan Tanjung Emas. Gelombang laut yang menghantam pemecah ombak mengarah ke kampung itu.
Untuk beradaptasi terhadap abrasi itu, Marzuki menjelaskan, warga mulai menanam bakau pada Desember 2019. Sebanyak 100 bibit ditanam pada penanaman pertama, lalu jumlah itu bertambah pada tahun-tahun berikutnya. "Total sekitar 9.000 bibit mangrove kami tanam," ujarnya saat ditemui di rumahnya, Jumat, 18 Maret lalu. Nahas, tak ada satu pun tanaman yang tumbuh karena diterjang ombak dan dirusak tumpukan sampah.
Masalah itu tak menyurutkan semangat warga. Penanaman kembali dilakukan, tapi lokasi dipindahkan ke dekat perkampungan. Bakau yang ditanam pada Agustus tahun lalu itu kini setinggi pinggang orang dewasa. "Mangrove tanaman kami yang berhasil hidup seluas 50 x 30 meter," kata Marzuki. Dia mengakui hasil penanaman itu belum dirasakan secara langsung oleh warga dan lingkungan Tambakrejo.
Pendekatan serupa dilakukan warga Tosale, Kecamatan Banawa Selatan, Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah. Gempa magnitudo 7,4 pada 28 September 2018 mengakibatkan lebih dari 100 rumah rusak. Gempa itu diikuti tsunami yang tingginya mencapai jendela rumah yang berada 100 meter dari pantai. "Bencana itu mendorong kesadaran warga menanam mangrove," tutur Raziqin, Ketua Kelompok Lande Vaso yang terlibat dalam penanaman mangrove, Sabtu, 26 Maret lalu.
Setelah musibah gempa dan tsunami itu, Raziqin menuturkan, ada kekhawatiran bencana serupa terulang. Mereka juga mendengar ada daerah lain yang selamat dari tsunami karena memiliki mangrove. Warga pun merasakan langsung dampak abrasi yang membuat bibir pantai makin maju ke daratan. Dibandingkan dengan situasi sebelum 1990-an, kini rumah penduduk mundur sekitar 100 meter dari posisi sebelumnya.
Menurut Raziqin, sebelum 2018 pernah diadakan penanaman bakau, tapi yang tersisa kini puluhan pohon saja. Penanaman kembali dilakukan pada 28 Agustus 2021. Penanaman terus berlangsung hingga jumlah pohon kini mencapai sekitar 50 ribu. Selain Lande Vaso, pihak yang melakukan penanaman mangrove secara masif adalah Kelompok Tani Hutan Lestari dengan dukungan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Penanaman bibit mangrove di kawasan pantai Untia, Kecamatan Biringkanaya, Makassar, Sulawesi Selatan, 26 Maret 2022. ANTARA/Abriawan Abhe
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Saat ini tinggi pohon bakau itu sudah berkisar 60-120 sentimeter. Perawatan juga terus dilakukan oleh warga dengan menanam lagi atau mengganti tanaman yang rusak. Raziqin mengatakan saat ini warga mungkin belum merasakan efek langsung penanaman bakau itu karena umurnya baru sekitar enam bulan. "Kami yakin ini bisa mengurangi abrasi," ucapnya.
Untuk memitigasi banjir, warga Kecamatan Hantakan, Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Kalimantan Selatan, menanam pohon di kawasan Pegunungan Meratus. Pemicunya adalah banjir pada 12 Januari 2021 yang merendam 102.340 rumah di 11 kabupaten dan kota di provinsi itu. "Itu karena kerusakan daerah tangkapan air dan daerah aliran sungai," kata Ketua Serikat Petani Indonesia Kalimantan Selatan Dwi Putra Kurniawan, Rabu, 23 Maret lalu.
Menurut Kurniawan, di kawasan Pegunungan Meratus banyak terdapat area konsesi. Area pegunungan itu rusak karena pembalakan ilegal, juga lantaran pemilik konsesi tidak mengelola hutan. Di daerah aliran Sungai (DAS) Barito, situasi juga memprihatinkan karena terdapat hunian. Selain itu, pengelolaan dan perawatan DAS Barito kurang baik sehingga terjadi pendangkalan. "Itu yang terakumulasi menjadi bencana," ujarnya.
Serikat Petani Indonesia awalnya menjadi relawan yang membagikan bahan kebutuhan pokok kepada korban banjir. Setelah melihat pemulihan yang berjalan terlalu lama, mereka memutuskan membuat program mitigasi bencana yang memberdayakan ekonomi dengan mendorong penanaman kopi. Ada empat jenis kopi yang dibudidayakan: arabika, robusta, liberika, dan ekselsa. Mereka melibatkan Universitas Lambung Mangkurat dalam program pemberdayaan warga ini.
Penanaman kopi di lereng Pegunungan Meratus dilakukan sejak akhir 2021. Kurniawan mengatakan kopi memiliki fungsi sama dengan pohon lain. Ia mencontohkan pohon kopi liberika dan ekselsa yang bisa tumbuh sampai 10 meter. Pohon itu bisa menjadi penyerap air dan penahan tanah longsor karena memiliki akar tunjang dan akar serabut. "Itu yang kita dorong ditanam di daerah tangkapan air," tutur Kurniawan.
Kurniawan menambahkan, perbaikan harus dilakukan secara bersamaan di hulu Pegunungan Meratus agar air bisa terserap saat turun hujan lebat dan di DAS supaya air limpahan dari hulu tertampung. "Yang harus diperbaiki dulu adalah daerah tangkapan airnya. Kalau DAS-nya saja yang dipulihkan, bencana banjir bisa juga menghajar tanaman yang baru ditanam di DAS," ucapnya.
ABDUL MANAN, PURWANI DYAH PRABANDARI (DONGGALA), DINI PRAMITA (DEMAK), JAMAL A. NASHR (SEMARANG)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo