Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Memangkas Polusi, Menangguk Laba

Pabrik pemurnian karbon dioksida pertama berdiri di Cilegon. Limbah gas pabrik baja Krakatau Steel diolah menjadi karbon dioksida cair yang dapat menjadi penyegar minuman ringan. Satu solusi mengurangi polusi udara sekaligus kiat menangguk laba.

10 Agustus 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Siang itu 20 wartawan dan tamu undangan berkumpul di depan dua tangki besar penampung karbon dioksida (CO2) cair di sebuah pabrik di Kawasan Industri Krakatau, Cilegon, Banten. Di depan, dua petugas berhelm kuning tampak tengah mengotak-atik selang yang terhubung ke tangki itu.

Selang itu tiba-tiba memuntahkan asap putih yang menghantam tubuh Isnanto, Direktur Teknik PT Resources Jaya Teknik Management Indonesia (RMI). Ajaib. Bukannya kaget, dia malah tertawa. Melihat Isnanto baik-baik saja, para pengunjung, termasuk Tempo, langsung berhamburan masuk ke tengah semprotan asap tersebut.

Asap itu adalah karbon dioksida cair produksi perusahaan patungan PT RMI dan PT Krakatau Steel. Menteri Kehutanan Malem Sambat Kaban meresmikannya pada Mei lalu.

Sebelum menjadi asap, karbon dioksida memang berupa cairan, yakni saat masih tersimpan di dalam tangki pada suhu minus 27 derajat Celsius. Ketika karbon cair tersebut dilepas ke udara bebas, perubahan tekanan dan suhu mendadak itu membuatnya berubah menjadi es kering.

Asap putih itu tidak berbau, tidak terasa basah, dan sangat dingin. Dari semburannya terdapat butiran-butiran lunak seperti jelaga putih. Jika diremas, jelaga itu terasa dingin menggigit kulit, lalu hilang.

Pabrik itu adalah produsen pemurnian emisi CO2 pertama di Indonesia. Bahan bakunya diperoleh dari gas buang pabrik baja Krakatau Steel. Setiap jam pabrik ini menyerap 3 ton dari 40 ton gas yang dilepas ke udara oleh Krakatau dan mengolahnya menjadi CO2 cair dengan jumlah yang hampir sama. ”Kami membuang unsur kimia lain yang jumlahnya cukup sedikit,” kata Isnanto.

Pada prinsipnya, setiap gas buang yang mengandung karbon dioksida, berapa pun kadarnya, bisa diolah menjadi bentuk cair. Hanya, kata Isnanto, untuk menutupi biaya produksi, gas buang itu minimal mengandung 70 persen CO2.

Adapun gas buang Krakatau sangat layak didaur ulang karena mengandung 98,5 persen CO2. ”Jika diolah menjadi CO2 cair, tidak rugi,” ujar Direktur Utama Krakatau Steel Fazwar Bujang.

Menurut Fazwar, gas buang pabriknya merupakan hasil residu dari pengolahan bijih besi. Limbah ini mencapai 120 ton gas per jam jika semua mesinnya berproduksi, tapi rata-rata pabrik baja milik pemerintah itu hanya menghasilkan 40 ton gas per jam. Selama ini, gas buang itu hanya menjadi polusi karena dilepas bebas ke udara.

Daur ulang gas buang itu, kata Fazwar, hanya salah satu langkah dari perusahaannya untuk mulai mengurangi emisi karbonnya. Cara lain, kata dia, melakukan efisiensi pembakaran gas dan minyak serta mencari teknologi baru yang tak menggunakan bahan bakar gas dan minyak.

Kepala Badan Lingkungan Hidup Daerah Banten Karimil Fatah menuturkan polusi di daerah Banten sebenarnya masih di bawah ambang toleransi. Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara menetapkan ambang batas kadar nitrogen dioksida (NO2) sebesar 100 mikrogram per meter kubik dan sulfur dioksida (SO2) sebesar 60 mikrogram per meter kubik.

Badan itu memasang alat pengukur udara di tiga daerah di Banten, yakni Cilegon, Serang, dan Tangerang. Di setiap daerah, alat itu dipasang di tiga titik, yakni di kawasan industri, terminal, dan permukiman. Hasil pengukuran di dekat Krakatau Steel menunjukkan kadar NO2 mencapai 25,50 mikrogram per meter kubik dan SO2 14,28 mikrogram per meter kubik. Pengukuran di permukiman menunjukkan kadar NO2 25,34 mikrogram per meter kubik dan SO2 3,09 mikrogram per meter kubik. ”Maka Banten sebenarnya masih di bawah ambang batas tersebut,” kata Karimil.

Pabrik RMI memakai mesin pemurnian karbon dioksida bikinan Union Engineering, Denmark. Cara kerjanya melalui proses penyerapan, pengeringan, dan pengembunan. Gas buang dari Krakatau Steel dialirkan sepanjang satu setengah kilometer melalui pipa ke pabrik. Penyaring karbon aktif lalu menyerap bahan kimia berbahaya dari limbah gas itu, seperti asam sulfida (H2S), timbel (Pb), dan nitrogen. Karbon aktif ini harus diganti setiap 4.000 jam.

Gas lalu masuk tahap pendinginan awal dengan menghilangkan air sebanyak mungkin. Pada kondisi yang lebih dingin, gas CO2 dipadatkan pada tekanan 18 bar. Proses selanjutnya adalah pengeringan CO2 yang hampir murni supaya uap air berkurang. Proses terakhir adalah pemurnian dengan cara pemisahan (distilasi) yang menggunakan kondensator amoniak (NH3) pada suhu minus 27 derajat Celsius. Pada suhu itu, gas CO2 akan mengembun. Gas lain yang tak mengembun akan dibuang.

Cairan hasil kondensasi ini merupakan CO2 cair yang bening, tak berwarna, dan tak berbau. Cairan ini kemudian diuji kelayakannya untuk memenuhi standar layak makan internasional. Setelah lolos uji, CO2 cair ditampung di dalam dua tangki besar, yang merupakan terminal terakhir. Mesin pabrik ini bekerja nonstop. Pabrik di lahan seluas 1,3 hektare itu bisa menghasilkan 3 ton karbon dioksida cair per jam atau 72 ton per hari.

Pabrik yang mulai beroperasi April lalu itu berdiri berkat bantuan Union Engineering. Delapan puluh persen dari nilai perusahaan sebesar US$ 10,6 juta itu diongkosi Union. ”Saya bayar uang muka hanya 20 persen. Sisanya dibayar kalau sudah beroperasi,” ujar Direktur Utama RMI Rohmad Hadiwijoyo. ”Kami merupakan pabrik yang ke-521 dari 522 perusahaan yang bekerja sama dengan Union di seluruh dunia.”

Ide membangun pabrik ini berasal dari Rohmad kepada Krakatau pada Maret 2005, tapi kedua perusahaan baru meneken kontrak pada November 2007. Krakatau sepakat memasok sembilan ton per jam gas buangnya dengan harga Rp 8.000 per kilogram, tapi sejauh ini baru sepertiganya yang bisa diolah. ”Mesin baru satu dan kapasitasnya hanya tiga ton per jam,” ujar kandidat doktor lingkungan di Universitas Diponegoro, Semarang, ini.

Menurut Rohmad, CO2 cair memiliki beragam manfaat, seperti bahan minuman berkarbonasi, pemutih kertas, pemutih gula, pendingin makanan, untuk pengelasan, serta buat mengembangkan tembakau dan mengurangi kadar nikotin. Saat ini CO2 cair milik RMI dijual dengan harga Rp 2.500-3.000 per kilogram. Harga ini, menurut Rohmad, mengikuti harga minyak dunia. ”Kalau harga minyak naik, ya, ikut naik,” katanya.

RMI menyalurkan produknya ke Samator dan Molindo, yang kemudian mendistribusikannya untuk produksi minuman berkarbonasi. RMI juga mengirimnya ke Iwatani Industries, Jepang, yang menggunakannya untuk pengelasan mobil.

Pabrik pemurnian karbon dioksida ini tak hanya membantu mengurangi emisi karbon dioksida dan menyelamatkan lingkungan, tapi juga menangguk untung tambahan melalui Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Development Mechanism). Mekanisme ini dilahirkan oleh Protokol Kyoto dan Konferensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Perubahan Iklim (UNFCCC), yang memberikan sertifikat kredit karbon kepada proyek pengurangan emisi gas rumah kaca, termasuk karbon dioksida, di negara berkembang.

Perusahaan atau pabrik di negara maju yang menghasilkan emisi gas itu dapat ”mengurangi” kadar emisinya dengan membeli sertifikat tersebut. Protokol Kyoto telah mewajibkan setiap perusahaan di negara peserta UNFCCC mengurangi emisi gasnya. Inilah peluang keuntungan yang dimiliki RMI, karena pertemuan UNFCCC di Bali pada 2007 telah meloloskan perusahaan itu sebagai perusahaan yang berhak memiliki sertifikat kredit karbon.

Dengan produksi 72 ton CO2 cair per hari atau sekitar 24 ribu ton per tahun, kata Rohmad, RMI akan mendapat kredit karbon senilai 288 ribu pound sterling atau sekitar Rp 4,752 miliar. Kompensasi itu akan diberikan pada April tahun depan, setelah RMI genap berproduksi selama setahun.

Karimil Fatah menilai, jika dibandingkan dengan banyaknya industri di Cilegon dan Banten, peran Krakatau Steel dan RMI dalam mengolah limbah CO2 masih terlalu kecil. Namun, ”Itu sudah sangat bagus dan bisa dijadikan contoh oleh industri lain,” katanya.

Masih banyaknya industri yang menggunakan bahan baku batu bara membuat tren pencemaran udara naik. ”Tapi belum kami ketahui persis berapa kenaikannya,” kata Karimil. ”Namun sebenarnya masalah yang terbesar adalah penyumbang C02 terbanyak itu justru kendaraan di jalanan.”

Kurniawan, Akbar Tri Kurniawan, Mabsuti Ibnu Marhas (Banten)

Mengolah Gas Buang Krakatau

Krakatau Steel
Gas buang: 40 ton per jam karbon dioksida Yang dibeli RMI: 3 ton per jam
Dialirkan lewat pipa sepanjang 1,5 km

Pabrik Pengolahan
Penyerapan: Karbon aktif mengikat bahan kimia berbahaya selain CO2, seperti asam sulfida (H2S), timbel (Pb), dan nitrogen. Air dihilangkan.
Pendinginan: Gas didinginkan dan dipadatkan pada tekanan 18 bar.
Pengeringan: Dikeringkan untuk menghilangkan uap air dan disaring lagi dengan karbon aktif untuk menghilangkan bahan kimia lain.
Pengembunan: Pemisahan (distilasi) dengan kondenser CO2, kompresor amoniak (NH3), dan kondenser amoniak bersuhu minus 27 derajat Celsius.
Hasil: 3 ton CO2 cair per jam, dapat ditampung di tangki penyimpanan berpendingin.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus