Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BANK Central Asia dua kali merevisi target penjualan Obligasi Ritel Indonesia alias ORI 006 selama sepekan. Semula, bank yang menjadi agen penjual ORI ini—dari 20 agen yang ditunjuk pemerintah—cuma mematok Rp 300 miliar. Nyatanya, permintaan membeludak. Pada 29 Juli lalu, BCA menambah Rp 150 miliar menjadi Rp 450 miliar.
Eh, pesanan mengalir terus. Target pun dinaikkan lagi hingga Rp 650 miliar Rabu pekan lalu. ”Permintaan banyak sekali,” kata Wakil Direktur Utama BCA Jahja Setiaatmadja pekan lalu. Dagangan pemerintah laris manis. Dua hari menjelang tenggat, permintaan mencapai Rp 5,47 triliun, jauh melebihi target indikatif Rp 4 triliun.
ORI 006 adalah salah satu surat utang negara yang dijajakan tahun ini. Sejak Januari lalu, pemerintah sudah menerbitkan enam seri obliges. Selain ORI, ada global bond dan global sukuk (dipasarkan Amerika Serikat) serta Samurai bond (dijual di Jepang).
Pemerintah memang gencar mengeluarkan surat berharga negara sejak 2004 untuk menambal lubang di anggaran negara. Tahun ini, misalnya, dari total defisit anggaran Rp 129,8 triliun, sepertiganya ditutup melalui penerbitan obligasi. Sebaliknya, porsi pinjaman luar negeri ditekan habis.
Menurut Direktur Jenderal Pengelolaan Utang Departemen Keuangan Rahmat Waluyanto, pemerintah tak ingin bergantung pada luar negeri. ”Bisa menimbulkan persepsi negatif,” katanya. Tahun depan, obligasi negara lebih marak. Pemerintah akan menerbitkan lagi Rp 104 triliun (neto) untuk membiayai defisit anggaran yang dirancang Rp 98 triliun.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, dalam nota keuangan tahun 2010 yang dibacakan di depan Dewan Perwakilan Rakyat, Senin pekan lalu, juga mengatakan pemerintah akan mengutamakan penerbitan obligasi rupiah di pasar domestik. Tujuannya: mengembangkan pasar modal dan pasar uang serta membantu mengelola likuiditas pasar.
Bila pasar berkembang, Rahmat menambahkan, investor makin banyak, perdagangan makin aktif, dan kapasitas pasar membesar, akan semakin efisien. Artinya, imbal hasil akan turun. Sebaliknya, bila investor minim, sementara penawaran obligasi berlimpah, biaya akan mahal. Sebab, pemodal meminta yield tinggi.
Pemerintah juga mengupayakan pinjaman dengan persyaratan lunak (jangka panjang dan biaya murah) dari pasar internasional. Pemerintah juga tidak menutup kemungkinan menarik pinjaman siaga dari Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia, Jepang, dan Australia sebesar US$ 5,5 miliar.
Namun pemerintah masih yakin kekurangan pembiayaan tahun ini bisa dibereskan dengan menerbitkan obligasi. Maka pencairan pinjaman cekak ”cuma” US$ 350 juta. Sisanya menjadi alternatif sumber pendanaan anggaran pada tahun depan.
Kepala Ekonom Danareksa Research Institute Purbaya Yudhi Sadewa menambahkan, memperbesar peran obligasi rupiah di pasar domestik bisa mengurangi tekanan terhadap risiko nilai tukar. Makanya, pasar dalam negeri mesti dikembangkan. Investor asing yang ingin membeli bisa datang kemari. Syaratnya, risiko currency harus ditanggung sendiri.
Persoalannya, kata Yudhi, pembiayaan dengan realisasi belanja mesti nyambung. Selama ini, penyerapan bujet pemerintah selalu lelet. Semester pertama tahun ini, misalnya, belanja kementerian dan lembaga rata-rata kurang dari 40 persen. Lambannya belanja ini tecermin dari duit pemerintah di Bank Indonesia yang masih menggunung.
Belanja yang lamban—sementara obligasi telah diterbitkan—Yudhi menambahkan, berpotensi menyebabkan crowding out. Pasar akan kekeringan likuiditas karena dana masyarakat telah disedot tapi tak segera dialirkan ke publik melalui proyek-proyek pemerintah. ”Bisa rebutan dengan korporasi, termasuk bank.”
Rahmat berpikir sebaliknya. Menurut dia, maraknya obligasi pemerintah di semester pertama—sesuai dengan strategi front loading—justru memarakkan obligasi korporasi. Semester kedua ini diperkirakan obligasi korporasi mencapai Rp 15-20 triliun. Kemampuan pemerintah menutup pembiayaan diyakini memicu kepercayaan pasar. Ini dibuktikan dengan peningkatan jumlah investor asing yang masuk Jakarta.
Toh, banyak pihak tetap ketar-ketir bakal bersaing dengan pemerintah. Apalagi pajak imbal hasil surat berharga negara cuma 15 persen, lebih rendah ketimbang deposito 20 persen. Belum lagi soal tingkat kupon ORI 006 yang mencapai 9,35 persen. Bandingkan dengan bunga deposito yang hanya 6-7 persen. ”Bagaimana kami bisa menurunkan lending rate?” kata seorang bankir.
Rahmat tentu membantah. Menurut dia, bunga pinjaman sticky karena separuh deposito dikuasai beberapa nasabah saja. Dalam situasi seperti ini, posisi tawar mereka tinggi. Bila bank menurunkan suku bunga deposito, mereka akan lari. Lama-kelamaan, persoalan ini seperti telur dengan ayam.
Retno Sulistyowati
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo