PIPA-PIPA besi sekarang malang melintang di sana, berbaur dengan drum air tawar dan minyak solar. Beberapa rumah bedeng telah berdiri. Pulau Hantu Barat, di Kepulauan Seribu, itu kini memang bukan pulau perawan lagi. Munculnya sebuah menara untuk pengeboran sumur artesis menunjukkan, ada yang sedang mencoba menggali air tawar di pulau seluas 10,56 hektar itu. Tujuan PT Pembangunan Nusantara Raya Perkasa yang memerintahkan pengeboran itu: mengembangkan pulau tersebut menjadi obyek wisata. "Tapi sekarang, untuk sementara, kami berhasil menghentikan kegiatan mengebor tersebut," ujar Syamsudin, Kepala Bidang Pengamanan Taman Laut Nasional Kepulauan Seribu, pekan lalu. Penyetopan dilakukan karena Hantu Barat dan pulau-pulau sekelilingnya, jumlahnya 108 buah, masuk dalam kawasan yang dilindungi dan nantinya akan dijadikan Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu (TNLKS) seluas 110 ribu hektar. Sejak 4 tahun lalu, wilayah Kepulauan Seribu, dengan Keputusan nomor 527 dari Menteri Pertanian Soedarsono Hadisapoetro, dijadikan kawasan cagar alam laut. Menurut rencana itu, Hantu Barat dan Hantu Timur termasuk kawasan inti di zone perlindungan. "Artinya, kawasan yang secara geografis harus dilestarikan dan tidak dapat diganggu gugat. Untuk berkunjung pun sangat dibatasi," kata Nurhadi, Kepala Seksi Pengusahaan TNLKS. Meski ketetapan itu diputuskan pada 1982, baru di akhir 1985, keluar surat Menteri Kehutanan Soedjarwo kepada Gubernur DKI Jakarta yang meminta persetujuan prinsip untuk membebaskan 5 buah pulau yang termasuk zone Inti Taman Nasional. Kelima pulau tersebut, termasuk dua pulau Hantu itu, luasnya 43 hektar. Rupanya, surat Menteri Kehutanan ini adalah reaksi dari surat PT Pembangunan Nusantara Raya Perkasa yang 7 bulan sebelumnya telah mengaukan permohonan kepada Gubernur Jakarta untuk mengelola beberapa pulau, antara lain 2 pulau Hantu tersebut untuk kegiatan pariwisata. Kabarnya, perusahaan milik bekas Menteri Keuangan Frans Seda ini merencanakan membangun hotel di kawasan tersebut, bekerja sama dengan perusahaan penerbangan Jepang JAL dalam rangka penanaman modal asing. Konon, Frans Seda membeli pulau-pulau itu tahun lalu, dengan harga Rp 1.900 per m2. Pada tanggal 2 April 1986, keluar izin prinsip Gubernur DKI Jakarta Soeprapto yang menyetujui penggunaan 60 persen luas kedua pulau Hantu dan Pulau Sebaru Kecil itu. Namun, Gubernur DKI juga minta agar PT tersebut membuat proposal rencana pengembangan berdasarkan studi Andal (Analisa Dampak Lingkungan) dengan meminta bahan masukan dari pihak PHPA (Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam), sebelum surat izin penggunaan tanah bisa dikeluarkan. Dari 15 syarat yang harus dipenuhi PT tersebut, ada ketentuan bahwa ketinggian bangunan tak boleh lebih dari 2 lantai. Jarak bebas dari garis pasang naik pantai, 30 meter untuk Hantu Barat dan 50 meter untuk Hantu Timur dan Sebaru Kecil. Izin ini jelas bertabrakan dengan rencana pengembangan kawasan ini menjadi Taman Laut Nasional. Dan tampaknya kedua pihak, pemerintah DKI Jakarta dan Ditjen PHPA, sama-sama tidak mau mundur. Pemda Jakarta agaknya merasa dilewati begitu saja oleh PHPA. "Tanpa ada koordinasi tahu-tahu sudah dipatok per kawasan," kata Herbowo, Ketua Bappeda DKI Jakarta. Yang dimaksudnya adalah keluarnya surat keputusan Direktur Taman Nasional dan Taman Wisata Ditjen PHPA 19 April lalu yang membagi Taman Nasional Kepulauan Seribu dalam beberapa zone inti, pelindung, pemanfaatan, dan penyangga. Pulau Hantu Barat dan Timur, serta Sebaru Kecil, termasuk zone pelindung. Pihak Pemda Jakarta sebenarnya menyetujui Pulau Hantu tetap sebagai daerah konservasi alam, tapi tetap bisa dikelola untuk pariwisata. "Prinsipnya tidak menyalahi ketentuan sebagai daerah yang dilindungi," kata Herbowo. SEBALIKNYA, pihak PPHA menuding pemda Jakarta kurang menyelaraskan rencana pengembangan Kepulauan Seribu dengan konsep pengembangan Taman Nasional Laut. Misalnya dalam kasus pemberian izin pengelolaan Pulau Hantu. "Anehnya, kok pihak DKI tidak berkonsultasi dulu dengan kami," ujar Matheus H. Halim, pimpinan Proyek Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu. PHPA katanya, akan tetap mempertahankan Pulau Hantu dalam zone perlindungan, karena merupakan tempat bertelur dua jenis penyu yang harus diselamatkan. Belum jelas bagaimana penyelesaian sengketa ini. Pemilik PT Pembangunan Nusantara Raya Perkasa, Frans Seda, mengaku telah membicarakan masalah ini dengan Menteri Kehutanan Soedjarwo. "Tidak ada masalah dengan pihak Kehutanan. Dan PHPA itu di bawah Kehutanan," ujarnya Senin lalu. Diungkapkannya, pulau-pulau yang dihebohkan itu sudah menjadi miliknya. "Kami sudah beli, sesuai dengan peraturan," ujarnya dengan nada tinggi. "Yang menguasai wilayah itu siapa? 'Kan pemda DKI. Kalau pemda DKI sudah setuju, .... Saya bilang, itu sekarang urusan pemda DKI dengan pemerintah pusat, bukan urusan saya."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini