JUDUL berita utama koran Sinar Indonesia Baru 9 Mei lalu agak mengagetkan: "Apakah kelak di sorga masih ada harian SIB?" Judul itu ternyata sengaja dipasang koran tersebut untuk menyambut ulang tahunnya yang ke-16. Dan, Abang Jampang, si penjaga pojok Kepiting diBalik Batu koran itu, menjawab pertanyaan itu sendiri: "Hanya penguasa sorgalah yang tahu." Gaya jurnalistik seperti itu memang khas SIB. Harian Medan yang sejak 1978 terbit 12 halaman tiap hari itu hingga kini masih sering dianggap koran lokal. Mungkin menyadari adanya anggapan masyarakat seperti itu, dalam tajuk rencananya, hari itu, SIB antara lain mengakui. "Ada sementara orang menganggap surat kabar ini sebagai kampungan." Namun, kampungan atau tidak, nyatanya SIB di Medan termasuk tiga besar, di samping Analisa dan Waspada. Apa kekhasan koran si Jampang ini hingga mengangkat tinggi posisinya? Sosiolog dan antropolog dari Medan, Dr. Usman Pelly, Ph.D., seperti dikutip harian ini, menyimpulkan "Orang-orang dari subbudaya Batak, khususnya, mendapat makna simbolis dalam keseluruhan pemberitaan SIB." Gerhard Mulia Panggabean, 52, pemimpin umum dan pemimpin redaksi SIB, mengakui, korannya memang getol memunculkan berita-berita dari bona pasogit alias Batak, tanah leluhurnya. "Tapi SIB koran nasional yang terbit di daerah," katanya, berlindung. Dan, Pak GM, begitu panggilan akrab anak buahnya, memberi contoh, di korannya juga ada rubrik berita Aceh dan Riau. Selain memuat laporan korespondennya di Jakarta atau menyajikan berita internasional dari AP dan Reuter, menurut GM yang rajin ke salon kecantikan ini, "Jurnalistik SIB merakyat." Tapi, banyak pembaca SIB acap terkecoh membedakan apakah ini koran atau album. Soalnya, harian ini begitu sering memuat foto acara Pak GM sebagai Ketua Umum Lembaga Sisingamangaraja - yang terasa sering menonjolkan kelompok etnis Batak. Berbeda dengan Analisa dan Waspada yang, biarpun sama-sama koran daerah dan juga membuka halaman Aceh dan Riau, lengkap menyajikan berita bisnis, internasional, dan olah raga. "Kedaerahan" mereka malah tak kelihatan. Tapi SIB membantah. Dalam lima tahun terakhir, gaya "jurnalistik bona pasogit" mulai dipangkas. Tadinya, 60%. Kini diperas, 40% saja. "Pembaca harus dididik dengan berita-berita berkualitas," kata Pendeta Marcus D. Wakkari, wakil pemimpin redaksi SIB. "Untuk menggeser posisi ini kami akan mengadakan angket dan penelitian pembaca," tambahnya. Didukung dua mesin ketik tua, kantor disewa di Jalan Suprapto dan dicetak letter-press di Percetakan Waspada, 1970, pertama kali SIB disebarkan 5.000. "Sedangkan yang terjual cuma 3.500 eksemplar," ujar GM, yang punya delapan anak itu. Sekarang SIB bukan lagi surat kabar kere. Beroplah 50.000 sehari, katanya, harian ini beredar juga di Jakarta dan Bandung. Sejak 1978 memiliki percetakan offset dan gedung sendiri 3 tingkat di Jalan Brigjen Katamso, Medan, SIB kini dilayani 100 wartawan, termasuk di luar Medan, plus 150 karyawan nonredaksi. Kendati sifatnya sebagai sebuah perusahaan keluarga di bawah PT Sinar Indonesia Baru, kata GM alias Abang Jampang, "SIUPP sudah kami amalkan. Pokoknya hak karyawan yang 20% itu kami bagikan." Reporter tingkat pemula bergaji Rp 45.000 sebulan. Jika berprestasi, setelah tiga bulan, mereka memperoleh Rp 75.000 sampai Rp 90.000. Yang sudah lima tahun bekerja mendapat Rp 125.000 sampai Rp 150.000 sebulan. Sedangkan untuk tingkat redaktur mereka berupah Rp 200.000 sampai Rp 400.000 per bulan, berikut jatah mobil minibus Hi-jet 1000. Perobatan ditanggung perusahaan. Mereka tak mendapat uang makan harian, meski SIB terbit 7 x sepekan. Apakah karena itu wartawan SIB dihalalkan menerima amplop dari luar? "Kalau sudah senang sama senang, mau apa lagi?" jawab GM kalem. "Tapi kalau meluruskan berita bengkok, atau memeras, saya pecat dia," tambahnya. Sebenarnya SIB merupakan tambang yang menguntungkan. Penerimaan dari iklan, menurut sebuah sumber, cukup besar: diperkirakan mendekati Rp 200 juta sebulan bila diukur dari ruangan koran yang terjual - yang menempatkannya dalam posisi 10 besar penerima iklan di antara koran-koran Indonesia. GM menolak mengungkapkan angka laba perusahaannya. "Pendeknya, memadailah berkat kerja keras selama ini." Tampaknya dari hasil itu tauke SIB tersebut melangkah ke diversifikasi usahanya. Bekas wartawan Soeara Nasional, 1946, Ipphos Report, dan reporter Waspada yang dulunya jalan kaki di Sibolga ini, pada 1977, membuka biro perjalanan dan pariwisata, Surya. Biro ini sampai sekarang dikelola putri sulungnya, Intan boru Panggabean. Ia juga membeli puncak bukit, di dekat Sibolga, dan diberi nama "Puncak GM", 365 km dari Medan. Di situ dibangunnya rumah peristirahatan yang terbuka untuk umum. Lalu, di Brastagi, 65 km tenggara Medan, didirikannya pula sebuah hotel mewah. Dan sekarang sedang menyusul sebuah hotel lagi di kota turis Parapat, di tepi Danau Toba. SIB, seperti kata GM kepada TEMPO, sudah memberi rahmat kepadanya. Tahun lalu, misalnya, ia menanam investasi Rp 3 milyar. Ia membangun dan melengkapi Universitas Sisingamangaraja dengan berbagai fasilitas, di Medan. Universitas ini menampung 3.000 mahasiswa. Di Siborongborong, Tapanuli Utara, tahun ini GM membebaskan tanah rakyat 15,5 hektar untuk Kampus Sekolah Tinggi Ilmu Keguruan. "Nanti, orang di bona pasogit sana tak perlu lagi kuliah ke Medan," kata Panggabean. Tak selamanya SIB meluncur mulus. Pada 1976, surat kabar berlogo biru ini pernah diberangus Laksusda Sum-Ut. Tak terbit 36 hari. Ini gara-gara di ruangan kebudayaan Wahana dimuat puisi Bulan Anggur yang dianggap menghina bulan suci Ramadan dan mencemooh pastor. Zakaria M. Passe Laporan Bersihar Lubis (Medan)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini